2-4
Para ilmuwan di muka bumi ini tidak dapat mengetahui ruh dan hakikatnya. Ketidaktahuan itu telah membuat banyak orang di antara mereka menentang Allah tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan atau hanya berdasarkan ilmu yang sangat terbatas. Mereka hanya melihat yang tampak dengan alasan bahwa yang tampak itulah yang menjadi alasan ilmu mereka. Yang demikian itu sebenarnya merupakan upaya untuk mengingkari keberadaan Allah, menyatakan kekufuran dan penentangan, padahal ruh berada di dalam jasad mereka dan ruh itu selalu bersama mereka selama perjalanan hidup mereka di dunia.
Seandainya kita lontarkan pertanyaan kepada mereka: “Apakah ruh itu ada atau tidak ada?” Tentu jawaban mereka adalah bahwa ruh itu ada, sebab secara logika ruh itulah yang dapat menghidupkan jasad. Maka kita katakan dengan tegas kepada mereka: “Jika ruh – yang merupakan ciptaan Allah s.w.t. – itu ada, dengan keberadaan yang pasti di dalam jasad serta tidak ada seorang pun yang dapat memungkiri keberadaannya, dan ada dalam setiap yang hidup, walau tidak dapat dilihat dan tidak dapat diketahui bentuknya, namun manusia dapat merasakan kehadirannya di dalam jasad, maka terbuktilah bahwa manusia tidak akan mengetahuinya namun meyakini keberadaannya.”
Jika kita memang lemah, tidak dapat mengetahui ruh, bagaimana mungkin kita dapat melihat wujud Allah s.w.t. Namun mengapa (anda yang menyatakan bahwa Allah tidak ada) membesar-besarkan pernyataan bahwa Allah tidak ada karena anda tidak dapat melihat-Nya? Tidak cukupkah bukti yang ada dalam jasad anda? Itu adalah bukti yang selalu menyertai anda selama perjalanan hidup anda, untuk meyakinkan anda bahwa sebenarnya anda telah mendustakan Allah dengan pernyataan anda. Seandainya anda menggunakan akal anda dengan normal tentu anda akan bersujud karena kekuasaan Allah s.w.t. yang telah menunjukkan bukti tersebut untuk menuntun anda kepada keimanan dan kekuasaan Allah serta keluasan ilmu-Nya.
Mengapa Allah merahasiakan ruh dari ilmu manusia? Dan mengapa tidak seorang pun diberi pengetahuan tentang ruh walaupun sedikit? Sebenarnya hal itu karena sebab-sebab tertentu.
Pertama, agar ktia mengetahui besarnya kekuasaan Allah; agar kita dapat melihat kekuasaan Allah yang telah diletakkan di dalam jasad manusia yang dapat memberikan hidup, namun bersamaan dengan itu tak seorang pun dapat mengetahuinya, bagaimana ruh dapat menjadikan jasad manusia hidup. Ketika kita melihat kekuasaan tersebut, maka kita merasakan kebesaran Yang Maha Pencipta yang telah menciptakan suatu rahasia dalam jasad kita tanpa dapat kita ketahui sedikit pun.
Kedua, bahwa hal itu menjadi suatu bukti tentang “keberadaan” yang tidak dapat dilihat, bukti “ada” tapi gaib bagi kita. Kita tahu dengan yakin bahwa ruh-ruh di dalam jasad menjadikan adanya kehidupan, dan jika ruh itu keluar maka berhentilah kehidupan. Karena itu kita tahu dengan yakin bahwa yang gaib itu ada, dan bahwa ketidaktahuan kita bukanlah bukti untuk menyatakan ketidakadaannya. Tidak tahunya kita adalah karena kita tidak dapat melihatnya, tapi bukan berarti hal itu menunjukkan ketidakadaannya, dan itulah bukti yang kita yakini bahwa ruh memang ada. Begitulah sebenarnya Allah, bukti adanya Allah adalah dengan adanya apa yang kita rasakan sebagaimana kita merasakan keberadaan ruh dalam jasad kita. Firman Allah menyatakan:
وَ فِيْ أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. adz-Dzāriyāt: 21).
Sebenarnya, jika manusia memperhatikan dirinya sendiri dengan saksama, sudah cukup bukti untuk menimbulkan keimanan, bahwa yang gaib, yang tidak dapat dilihat dan diketahui, sebenarnya adalah ada karena kita melihat bukti yang ditimbulkannya. Tidak cukuplah alam dengan segala ketidakberdayaan dan kelemahannya serta adanya kekuatan yang melebihi kemampuan semua manusia sebagai bukti adanya Allah s.w.t.?
Ketiga, bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini, yang menjalankan fungsinya sesuai norma-normanya sejak sebelum diketahui oleh manusia adalah hakikat-hakikat yang sejak dahulu memang sudah ada; dan bukan berarti manusia yang menciptakannya tatkala ia mengetahuinya, tetapi Allah-lah yang telah menciptakannya, lalu Allah menghendaki untuk diketahui oleh manusia. Sejak sebelum diketahui oleh manusia alam ini telah menjalankan fungsinya sesuai dengan norma yang telah ditentukan Allah. Jika hal ini sudah cukup untuk menjadi bukti keimanan, lalu mengapa Allah merahasiakan ruh kepada manusia?
Penemuan-penemuan ilmiah menuntut manusia untuk belajar, mempelajari dan mengkaji berbagai bidang (yang berkaitan dengan bahan yang akan diteliti) hingga mencapai titik tertentu. Lalu bagaimana dengan seorang yang buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis? Apakah dibiarkan begitu saja?
Allah s.w.t. telah memandang sama hamba-hambaNya. Keberadaan ruh di dalam jasad adalah sesuatu yang tidak membutuhkan ilmu. Manusia akan mengetahui keberadaannya karena merasakannya. Jika ada yang meragukan keberadaan Allah, maka berikan saja sebagai contohnya adalah ruh. Contoh ini dapat dipahami baik oleh yang pintar maupun yang bodoh, dapat dimengerti oleh orang yang dapat membaca dan oleh orang tidak dapat membaca. Hakikat ruh – tahu ataupun tidak tahu – tidak lebih dari “bahwa kita memanfaatkannya”, sebab memanfaatkan ruh tidak membutuhkan ilmu. Ruh dapat memberikan kekuatan dan kemampuan walaupun kita tidak mengetahuinya sedikit pun.
Harus kita camkan dengan baik firman Allah:
الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ
…. Katakanlah: “Ruh adalah termasuk urusan Tuhanku.”.… (QS. al-Isrā’: 85).
Apa yang dimaksudkan dengan “Urusan Tuhanku”, atau bagaimana proses urusan tersebut, Allah menegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya urusan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (QS. Yāsīn: 82).
Jadi urusan Allah adalah yang dikehendaki-Nya, dan yang dimaksudkan “termasuk urusan Tuhanku” pada ayat sebelumnya adalah pindahnya kehendak Allah dari ilmu ladunni-Nya kepada kehidupan manusia dengan perintah “Jadilah!” Karena itu harus kita perhatikan kalimat Allah “Berkata (Allah) kepadanya.” Setiap kali Allah berkata kepada yang dikehendaki-Nya, maka yang dikehendaki-Nya itu ada dalam pengetahuan Allah. Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, dan itu memang ada karena keberadaannya itu diketahui Allah. Segala sesuatu di alam ini, baik yang berupa benda (nyata dan gaib) maupun peristiwa-peristiwa sejak pertama diciptakannya alam hingga hari kiamat, bahkan setelah hari kiamat, ada dalam pengetahuan Allah.
Ada permulaan untuk segala sesuatu (selain Allah) dan kesemuanya diketahui oleh Allah s.w.t. Dari itu, jika kita tanya seorang peramal tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kehidupan dan pada manusia, maka ia akan mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu ada yang nyata dan ada yang tidak nyata. Semua kehidupan dunia dengan berbagai peristiwanya ada dalam pengetahuan Allah, bahkan termasuk juga surga, neraka dan hisab, semuanya ada dalam ilmu Allah. Jika Allah menghendaki untuk membukakannya kepada yang dikehendaki-Nya, maka akan dibukakan baginya. Firman Allah menyatakan:
مَا أَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَ لَا فِيْ أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِيْ كِتَابٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitāb (Lauḥ Maḥfūzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. al-Ḥadīd: 22).
Sesungguhnya semua peristiwa di dunia dan semua yang akan terjadi di akhirat sudah diketahui Allah. Hal itu dapat dikeluarkan dari pengetahuan Allah untuk diketahui manusia dengan perintah-Nya Kun (“Jadilah!”). Akan tetapi manusia – sebagaimana disebutkan oleh Allah – adalah makhluk yang zalim lagi bodoh. Manusia disebut sebagai “sangat zalim” karena ia terpedaya, yakni beranggapan bahwa dirinya yang telah menciptakan segala sesuatu yang ditemukannya, termasuk peradaban yang dilaluinya. Padahal sebenarnya ia tidak dapat memantapkan sesuatu pun kecuali dengan menggunakan akal yang telah diberikan Allah kepadanya dan disiapkan untuknya segala sesuatu untuk dikajinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan Allah pada semua ciptaan-Nya. Dari situ mereka (manusia) bergerak untuk meningkatkan kehidupannya, yang mana peningkatan kehidupannya terlihat dari efisiensi dan efektivitas segala sesuatu.
Dulu, menaiki tangga untuk mencapai lantai yang tinggi dari suatu bangunan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Tetapi sekarang, untuk mencapai lantai yang paling tinggi dari suatu bangunan mereka tidak memerlukan tenaga dan waktu yang banyak. Dengan waktu yang singkat dan tenaga yang sedikit mereka sudah bisa mencapainya, sangat efisien dan cukup efektif.
Dulu, jika manusia hendak bepergian dari suatu tempat ke tempat lain, ia harus berjalan. Sekarang kita dapat menggunakan mobil, pesawat dan jenis-jenis kendaraan lainnya yang cukup efektif dan efisien.
Sayangnya, tatkala manusia menyaksikan kemajuan teknologi ini, mereka malah mengabdi pada dunia. Karena itulah manusia disebut bodoh, bahkan sangat bodoh. Faktornya, ada dua hal:
Pertama, bahwa sebenarnya manusia hidup di dunia ini hanya untuk waktu yang terbatas kemudian meninggalkannya, padahal yang namanya pencipta tidak akan meninggalkan ciptaannya begitu saja.
Kebodohan yang kedua, bahwa ia melakukan sesuatu dengan tersembunyi dan berusaha untuk menyembunyikannya dari pandangan manusia agar tidak diketahui oleh siapa pun, dan dengan begitu ia menganggap bahwa dirinya telah mengerjakan sesuatu dan tidak ada yang mengetahui. Ia lupa bahwa sesungguhnya Allah melihatnya setiap detik, bahkan Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam dada. Dalam sebuah hadits qudsī, Allah berfirman:
“Wahai hamba-hambaKu, jika kamu mengira bahwa Aku tidak melihat kamu, maka berarti ada noda dalam keimananmu. Dan jika kamu mengetahui bahwa Aku melihat kamu mengapa kamu menjadikan Aku yang paling enteng di antara yang melihat kamu.”
Itulah hakikat yang diketahui oleh manusia, yang terlupakan atau sengaja dilupakan, hanya untuk memperturutkan nafsu. Allah s.w.t. berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَ الْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَ هُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk: 2)
Allah menyebutkan tentang hikmah penciptaan alam, dan menyebutkan bahwa dunia ini merupakan tempat ujian bagi kita, agar kita memperbaiki ketaatan, memperbaiki ibadah dan memperbaiki pengamalan kita akan manhāj Allah. Allah pun telah menyebutkan tentang kematian sebelum kehidupan untuk menghilangkan fatamorgana dalam jiwa kita. Maka ketika manusia menganggap keberhasilan hidup sebagai hasil usahanya, Allah mengingatkannya dengan kematian, agar kita tahu bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan kita berupa kerajaan, pemilikan atau kenikmatan akan ada akhirnya, dan sebenarnya dari kehidupan di alam ini tidak ada yang kekal. Dengan demikian diharapkan manusia dapat mengingat bahwa dirinya akan meninggalkan dunia dengan penuh keyakinan. Hanya saja – karena manusia memiliki kebebasan memilih – banyak yang menyebarkan kepalsuan dan tipu daya yang menggiurkan sehingga dapat mengelabui dan melupakan manusia dari hakikat kehidupan. Hal itu bahkan melanda mereka yang sudah lanjut usia, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa kehidupannya masih panjang.