Rezeki – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 004 Persoalan Aqidah yang Bersumber dari Dalil Naqli (Sam'iyyah) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Rezeki

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan masalah rezeki:

وَ الرِّزْقُ عِنْدَ الْقَوْمِ مَا بِهِ انْتُفِعْ وَ قِيْلَ لَا بَلْ مَا مُلِكْ وَ مَا اتُّبِعْ.

Rezeki menurut kaum (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) adalah sesuatu yang telah diambil manfaatnya. Satu pendapat mengatakan tidak seperti itu, melainkan segala sesuatu yang dimiliki, pendapat ini tidak diikuti.”

Rezeki menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah adalah sesuatu yang telah diambil manfaatnya, walaupun sesuatu itu sudah tidak ada, seperti makanan yang telah dimakan dan pakaian yang sudah dikenakan. Sedangkan menurut kaum Mu‘tazilah, rezeki adalah segala sesuatu yang sudah dimiliki walaupun belum dimanfaatkan. Pendapat kaum Mu‘tazilah ini tidak boleh diikuti dan dan diyakini.

Penjelasan:

Rezeki menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah adalah sesuatu yang telah diambil manfaatnya dengan perbuatan. Semisal jika berupa makanan berarti sudah dimakan, jika berupa pakaian berarti sudah dipakai. Jika ada seseorang memiliki padi, tetapi belum dimanfaatkan maka belum bisa disebut rezeki, karena baru berupa sesuatu yang ia miliki.

Kaum Mu‘tazilah mengatakan bahwa rezeki bukanlah sesuatu yang sudah dimanfaatkan, tapi rezeki adalah sesatu yang suda dimiliki. Dengan demikian, orang yang memiliki padi sudah disebut orang yang diberi rezeki. Pendapat ini tidak boleh diikuti juga tidak boleh diyakini karena Allah s.w.t. adalah Mālik-us-samāwāti wal-ardh, “raja tujuh langit dan tujuh bumi”, sehingga tidak boleh disebut rezeki. Pendapat kaum Mu‘tazilah ini menetapkan bahwa seseorang mungkin saja memakan rezeki orang lain. Padahal seharusnya tidak seperti itu, seseorang tidak mungkin memakan rezeki orang lain, sebagaimana seorang tahu, dia memakan rezekinya sendiri, bukan rezeki pemilik rumah.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَيَرْزُقُ اللهُ الْحَلَالَ فَاعْلَمَا وَ يَرْزُقُ الْمَكْرُوْهَ وَ الْمُحَرَّمَا.

Maka ketahuilah! Allah memberi rezeki perkara yang halal dan memberi rezeki pula perkara yang makruh dan haram.”

Ketahuilah, selain memberikan rezeki yang halal, Allah juga memberikan rezeki yang makruh dan haram.

Penjelasan:

Allah memberikan rezeki kepada para hamba-Nya adakalanya berupa rezeki yang halal dan adakalanya rezeki yang makruh atau haram. Rezeki yang halal yaitu perkara yang diperbolehkan menurut syara‘, ijma‘, dan qiyas.

Saat ini, tidak diperkenankan bertanya-tanya tentang asal-muasal dari rezeki yang didapat dan terbuat dari apa. Sebab, perkara halal tidak diketahui asal-muasalnya, sedangkan pada zaman ini asal segala sesuatu sudah rusak, maka melihat zhāhir sesuatu dari sudut pandang syara‘ lebih utama. (2211).

Dalam sebuah hadits disebutkan: seseorang tidak akan meninggal dunia selama rezekinya belum habis. Maka, bersikap baiklah kepada Allah, bertaqwalah kepada-Nya, dan jemputlah rezekimu dengan cara yang baik. Jangan menjemput rezekimu dengan jalan kemaksiatan. Sebab, Allah tidak akan memberikan rezeki kecuali dengan cara yang diridhāi. (2222).

Ketika sesuatu itu telah jelas keharamannya menurut syara‘, seperti uang wanita tuna susila, pembuat gong, penjual khamr, dan gadai dengan cara rentenir, maka sudah jelas harta tersebut haram dan wajib dijauhi.

Rezeki itu ada yang hukumnya makruh, ada pula yang hukumnya haram. Allah memberi rezeki yang makruh seperti barang-barang yang syubhat dan barang-barang yang makruh menurut syara‘. Allah memberikan rezeki yang haram kepada orang-orang yang dihinakan, seperti harta wanita tuna susila dan lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.

Menurut kaum Mu‘tazilah, rezeki yang haram itu tidak ada karena Allah tidak mungkin berbuat buruk kepada hamba-Nya.

Catatan:

  1. 221). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 313.
  2. 222). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 312.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *