Renovasi Ka‘bah dan Penyelesaian Pertikaian – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Rangkaian Pos: Kelahiran Dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian

Renovasi Ka‘bah dan Penyelesaian Pertikaian.

 

Pada usia 35 tahun, orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka‘bah, karena Ka‘bah itu berupa susunan batu-batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Ismā‘īl, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang sering mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya.

Lima tahun sebelum kenabian, kota Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Bait-ul-Ḥaram, sehingga sewaktu-waktu bisa membuat Ka‘bah menjadi runtuh. Kondisi seperti itu membuat bangunan Ka‘bah semakin rapuh dan dinding-dindingnya pun sudah pecah-pecah. Sementara itu, orang-orang Quraisy dihinggap rasa bimbang antara merenovasi dan membiarkannya apa adanya. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk hanya memasukkan bahan-bahan bangunan yang baik-baik. Mereka tidak menerima dana dari penghasilan para pelacur, jual beli dengan sistem riba, dan perampasan terhadap harta orang lain. Meski sudah demikian, mereka tetap merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya al-Walīd bin Mughīrah al-Makhzūmī mengawali perobohan bangunan Ka‘bah, lalu diikuti oleh semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa al-Walīd. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka‘bah, hingga sampai rukun Ibrāhīm. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.

Mereka membagi sudut-sudut Ka‘bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Ka‘bah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum – nama aslinya adalah Pachomius.

Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Ḥajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan Ḥajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama 4 atau 5 hari, tanpa ada keputusan. Bahkan, perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah di Tanah Suci.

Akhirnya, Abū Umayyah bin al-Mughīrah al-Makhzūmī tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapapun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasūlullāh s.a.w. Tatkala mengetahui hal ini, mereka berbisik-bisik: “Inilah al-Amīn. Kami rela kepadanya. Inilah dia Muḥammad.”

Setelah mereka semua berkumpul di sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang, lalu beliau meletakkan Ḥajar Aswad tepat di tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu memerintahkan mereka secara bersama-sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Ḥajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan memuaskan hati semua orang.

Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisakan di bagian utara, kira-kira 6 hasta, yang kemudian disebut al-Ḥijr atau al-Ḥāthim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah agar tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang-orang yang sangat menginginkannya. Setelah bangunan Ka‘bah mencapai ketinggian 15 hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam tiang.

Setelah selesai, Ka‘bah itu berbentuk segi empat yang ketinggiannya kira-kira mencapai 15 meter, panjang sisinya di tempat Ḥajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 x 10 meter. Ḥajar Aswad itu sendiri diletakkan dengan ketinggian 1.5, meter dari permukaan pelataran untuk tawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 meter. Adapun pintunya setinggi 2 meter dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Ka‘bah ada pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketinggian 0,25 meter dan lebarnya kira-kira 0,33 meter. Pagar ini dinamakan asy-Syadzarawan. Namun, kemudian orang-orang Quraisy meninggalkannya. (331)

Catatan:

  1. 33). Lihat rincian pembangunan Ka‘bah dalam Ibnu Hisyam, XII/192-197; Fiqh-us-Sīrah, Muḥammad al-Ghazālī, hal. 62-63; Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, bab Keutamaan Makkah dan Bangunannya, I/215; dan Muḥādharatu Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, hal. I/64-65.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *