Rasulullah s.a.w. Hijrah ke Madinah – Nurul Yaqin (2/2)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Hijrah-hijrah - Nurul Yaqin

Singgah di Qubā’

Namun, Rasūlullāh s.a.w. membelok ke arah kanan – tidak langsung ke Madīnah – lalu singgah di tempat Bani ‘Amru bin ‘Auf di Qubā’.

Peristiwa ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maḥmūd Bāsyā, ahli falak, terjadi pada tanggal 2 Rabī‘-ul-Awwal, bertepatan dengan tanggal 20 September tahun 622 M. hari tersebut merupakan permulaan penanggalan baru (81) sebagai peringatan munculnya Islām setelah sekian lama, yaitu tiga belas tahun mengalami tekanan berat dari kaum musyrikīn Quraisy. Dalam kurun tiga belas tahun itu Rasūlullāh s.a.w. dilarang melakukan ibadah kepada Rabb-nya secara terang-terangan, tetapi sekarang Allah s.w.t. telah menempatkan Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabatnya di tempat yang aman setelah beberapa waktu diganggu oleh kaum musyirikīn.

Hijrahnya Para Nabi

Dengan peristiwa hijrah ini berarti Rasūlullāh s.a.w. telah memenuhi sunnah (perjalanan) saudara-saudaranya, yaitu para nabi sebelumnya. Tiada seorang pun dari para nabi yang tidak dikeluarkan dari tempat kelahirannya, kemudian hijrah meninggalkannya. Hal ini telah dilakukan sejak Nabi Ibrāhīm a.s. sampai Nabi ‘Īsā a.s. Meskipun mereka semua memiliki derajat yang tinggi, mereka dihina oleh kaumnya sendiri. Namun, mereka bersabar dalam menghadapi ujian ini, supaya mereka menjadi teladan yang baik bagi para pengikutnya di kemudian hari dalam hal keteguhan dan kesabaran menghadapi hal-hal yang tidak disukai selagi hal tersebut dalam rangka taat kepada Allah s.w.t.

Lihatlah negeri Mesir dan sejarahnya. Kita pasti akan mendengar tentang Nabi Ya‘qūb dan anak-anaknya. Mereka hijrah ke Mesir tatkala penduduk Mesir menyambut dengan baik kehadiran mereka di negerinya, dan membiarkan mereka menunaikan ibadahnya sebagai penghormatan mereka kepada Nabi Yūsuf a.s. dan kebijaksanaannya. Hanya saja, setelah bertahun-tahun, orang Mesir lupa akan jasa Nabi Yūsuf terhadap mereka. Akhirnya, mereka mulai menekan dan menyiksa Bani Isrā’īl. Lalu kaum Bani Isrā’īl di bawah pimpinan Nabi Mūsā dan Nabi Hārūn keluar dari negeri tersebut supaya mereka dapat menunaikan kewajiban mereka kepada Allah, yaitu beribadah kepada-Nya.

Nabi ‘Īsā a.s. juga lari dari kaum Yahūdī ketika mereka mendustakannya dan bermaksud membunuhnya sehingga di antara ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Nabi ‘Īsā a.s. kepada murid-muridnya ialah: “Berbahagialah orang-orang yang diusir demi kebajikan karena sesungguhnya mereka memperoleh kerajaan langit (surga).” Selanjutnya, Nabi ‘Īsā a.s. pun pernah mengatakan kepada murid-muridnya: “Bergembiralah dan beribadahlah kalian karena sesungguhnya pahala kalian besar, dan itu tidak aneh karena mereka telah mengusir nabi-nabi sebelum kalian.”

Lihatlah negeri-negeri yang telah ditimpa ‘adzāb Allah s.w.t. karena kekufuran penduduknya seperti negeri kaum Nabi Lūth, kaum ‘Ād, dan kaum Tsamūd. Mereka akan menceritakan kepada kita tentang hijrahnya para nabi dari negeri-negeri tersebut sebelum ditimpa ‘adzāb Allah s.w.t. Tidak aneh Rasūlullāh s.a.w. hijrah meninggalkan negeri yang penduduknya menghalangi penyampaian risalah yang telah dikehendaki oleh Allah s.w.t. Sehubungan dengan hal ini Allah s.w.t. telah berfirman:

سُنَّةَ اللهِ فِي الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلًا

Sebagai sunnah Allah yang telah berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum kamu, dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 62)

Hasil-Hasil di Makkah

Dalam pembahasan ini kami akan mengemukakan hal-hal yang telah ditanamkan oleh Rasūlullāh s.a.w. sewaktu di Makkah, berupa pokok-pokok agama (ushūl-ud-dīn). Ada dua perkara:

Pertama: meyakini keesaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dalam ibadah. Apakah sesuatu itu berupa berhala seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang musyrik Makkah, atau berupa bapak, istri, dan anak seperti yang dilakukan agama-agama lain, misalnya seperti agama Nashrānī. Seandainya tidak ada keyakinan bahwa Allah itu Maha-Esa, pasti orang tidak akan membebani diri mereka dengan kewajiban melaksanakan norma-norma kehidupan berupa akhlāq dan adab, bahkan ia pasti akan hidup sekehendak hawa nafsunya demi mencapai kepuasannya selagi apa yang dilakukannya itu tidak dilihat oleh orang lain.

Kedua: percaya akan adanya hari kebangkitan dan bahwa di sana terdapat alam lain bagi manusia. Di alam lain tersebut setiap orang akan menerima pembalasan atas amal perbuatannya sewaktu ia hidup di dunia. Apabila ‘amal perbuatannya itu baik maka balasannya juga baik. Apabila ‘amal perbuatannya buruk, niscaya balasannya akan buruk pula.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan kedua masalah ini sebagian besar adalah ayat – ayat Makkiyyah. Jarang sekali surat Makkiyyah yang tidak membahas kedua masalah tersebut, tetapi pasti dipenuhi dengan dalil-dalil yang menunjukkan kedua masalah itu, dan pasti mengandung celaan terhadap orang-orang yang meninggalkannya. Semuanya itu disuguhkan oleh al-Qur’ān dengan metode yang memikat akal dan penuh bukti-bukti yang terang. Di dalamnya terkandung semua manfaat dunia dan akhirat bagi umat manusia.

Telah diturunkan kepada Rasūlullāh s.a.w. sebagian besar al-Qur’ān di Makkah, sedangkan sebagian lainnya terdiri dari 23 surah, tidak diturunkan di Makkah. Surah-surah yang tidak diturunkan di Makkah antara lain: Al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-Anfāl, at-Taubah, al-Ḥajj, an-Nūr, al-Aḥzāb, al-Qitāl (Muḥammad), al-Fatḥ, al-Ḥujurāt, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, ash-Shaf, al-Jumu‘ah, al-Munāfiqūn, ath-Thaghābūn, at-Thalaq, at-Taḥrīm dan an-Nashr. Semua surah tersebut diturunkan setelah hijrah ke Madīnah, sedangkan yang lainnya diturunkan di Makkah sebelum hijrah.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. singgah di Qubā’, beliau tinggal di rumah Syaikh dari Bani ‘Amr, yaitu Kultsūm bin al-Hadm. Namun, untuk menerima orang-orang dan berbincang-bincang, Rasūlullāh s.a.w. melakukannya di rumah Sa‘ad bin Khutsaimah karena ia adalah seorang duda. Sementara itu Abū Bakar r.a. tinggal di as-Sunḥ (salah satu daerah di kota Madīnah), yaitu rumah Khārijah bin Zaid dari Bani al-Ḥārits, dari kabilah Khazraj.

Pembangunan Masjid Qubā’

Rasūlullāh s.a.w. singgah di Qubā’ selama beberapa hari. Di sana Beliau membangun masjid yang dikemudian hari disifati oleh Allah s.w.t. sebagai masjid yang dibangun di atas landasan taqwā. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mendirikan shalat bersama para shahabatnya dari kalangan Muhājirīn dan Anshār, sedangkan mereka merasa aman dan tenang.

Bentuk masjid-masjid pada zaman Rasūlullāh s.a.w. sangatlah sederhana, tidak ada hiasan-hiasan seperti lazimnya yang dibuat oleh para arsitek masjid-masjid pada kurun akhir. Kita dapat memaklumi bahwa yang menjadi pusat perhatian Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabatnya saat itu hanyalah menghiasi hati dan membersihkannya dari godaan syaithān sehingga tembok masjid saat itu hanya setinggi orang berdiri dan tidak lebih dari itu, kemudian di atasnya dipasang atap untuk melindungi dari teriknya sinar matahari.

Catatan:

  1. 8). Pada Masa Kekhilafahan ‘Umar bin Khaththāb, ketika kaum Muslimīn ingin mencanangkan penganggalan kalender mereka, mereka menjadikan hijrah yang agung ini sebagai awal mula penanggalan. Yaitu penanggalan hijrah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *