Rabithah (Merabit) – Unsur-unsur Tarekat – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: Unsur-unsur Thariqah - Sabil-us-Salikin

Rābithah (Merabit)

 

Dari segi bahasa makna rābithah adalah hubungan atau ikatan; terambil dari kata rabth yang berarti mengikat atau menghubungkan, (al-Munawwir Qamus ‘Arabi-Indunisia, halaman: 501). Ungkapan rābithat-ul-mursyid, dengan demikian, menunjukan kepada makna menghubungkan diri dengan mursyid atau merabit dengan mursyid.

Pada hakikatnya perintah rābithah itu mengikuti dan mempunyai landasan dari ayat al-Qur’ān, Hadits dan pendapatnya para ‘ulamā’, Di dalam al-Qur’ān perintah melakukan rābithah diungkapkan melalui firman Allāh s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اصْبِرُوْا وَ صَابِرُوْا وَ رَابِطُوْا وَ اتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿٢٠٠﴾

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Āli ‘Imrān [3]: 200).

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَ جَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿٣٥﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mā’idah: 35)

Sedangkan dari Hadits sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī:

أَنَّ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ شَكَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَدَمَ انْفِكَاكِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْهُ حَتَّى فِي الْخَلَاءِ، أَيْ بِحَسْبِ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَ كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَجْهَهُ يَأْخُذُهُ الْحَيَاءَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ). (البهجة السنية، ص: 71)

Sesungguhnya Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. mengeluh kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Tidak dapat berpisah dengan Nabi hingga di dalam tempat mandi sekalipun (secara ruhani atau terbayang-bayang), sehingga Abū Bakar r.a. merasa malu terhadap Nabi s.a.w.” (al-Bahjat-us-Saniyyah, halaman: 71).

وعن أَبي موسى الأشعري رضي الله عنه: أن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 237)

Dan dari Abū Mūsā al-Asy‘arī r.a., bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Seseorang itu bersama orang yang dicintainya.” (Muttafaqun ‘Alaih), (Riyādh-ush-Shāliḥīn, Juz 1, halaman: 237).

Kata rābithū dalam ayat tersebut menurut Ibn Manzhūr dalam Lisān-ul-‘Arab-nya bermakna ḥāfizhū atau lazimū berkekalan atau terus-menerus, yaitu al-Muwāzhabatu ‘alal-Amr berkekalan atau terus-menerus melakukan sesuatu. Asal makna rabithu (ribāth atau murābathah) adalah al-Iqāmatu ‘alā jihād-il-‘aduw (melakukan perang terhadap musuh), (Lisān-ul-‘Arab, juz 7, halaman: 303).

Pemahaman ideal mengenai maksud kata rābithū (ribāth atau murābathah) dalam firman Allāh tersebut, dengan menyimak makna-makna yang terkait dengan kata itu sendiri, muncul dalam tharīqah, yaitu berkekalan atau terus-menerus menghubungkan diri secara rohani dengan mursyid dalam rangka memerangi Iblīs sebagai musuh manusia yang paling nyata. Tidak ada musuh yang paling layak untuk selalu diwaspadai dan diperangi kecuali Iblīs la‘natullāh yang memang berusaha terus menghancurkan manusia.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa rābithat-ul-mursyid (merabit mursyid) pada dasarnya adalah berjamā‘ah secara rohani dengan mursyid, yaitu imam-berimam dalam kafilah rohani Rasūlullāh s.a.w. Menunjuk kepada pengertian inilah Imām Ja‘far ash-Shādiq, tokoh sufi dari kalangan ahli bait Nabi s.a.w., yang dikutip oleh Abū Nu‘aim al-Ishfahānī dalam ensiklopedia orang-orang sucinya yang berjudul Ḥilyat-ul-Auliyā’i wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’ mengatakan: “Barang siapa menjalani hidup dengan bergabung dalam bathin (rohani) Rasūl, maka dialah yang disebut orang sufi.” (Ḥilyat-ul-Auliyā’i wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’, juz 1, halaman: 20).

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa rābithat-ul-mursyid (merabit mursyid) menunjuk kepada makna melibatkan Rasūl s.a.w. dalam setiap munajat dan ibadah agar munajat dan ibadah itu dapat langsung mendapat sambutan dari Allāh sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allāh s.w.t.:

وَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَآؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا ﴿٦٤﴾

Dan kami tidak mengutus seseorang rasūl, melainkan untuk dita‘ati dengan seidzin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasūlpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisā’ [4]: 64).

Melibatkan Rasūl s.a.w. atau merabit mursyid dalam ibadah dapat disimak pula dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dan imam-imam Hadits lainnya disebutkan bahwa ketika ‘Umar meminta idzin kepada Nabi s.a.w., untuk menunaikan ibadah ‘umrah, Nabi s.a.w. bersabda:

فَقَالَ يَا أَخِيْ لَا تَنْسَنَا مِنْ دُعَائِكَ، (مسند أحمد، ج 1، ص: 326)

Wahai saudara mudaku, serikatkan (libatkan) kami dalam doamu dan jangan lupakan kami.” (Musnadu Aḥmad, juz 1, halaman: 326).

Dalam kasus yang berbeda, melibatkan Rasūl s.a.w. atau merabit mursyid dapat disimak dari kisah ‘Umar ibn Khaththāb r.a. yang melibatkan Paman Nabi s.a.w. yang bernama ‘Abbās r.a. ketika ia berdo’a memohon hujan:

فَقَدْ ذَكَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَوَسَّلُوْنَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ فِي الْاِسْتِسْقَاءِ ثُمَّ تَوَسَّلَ بِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَ تَوَسَّلَهُمْ هُوَ اِسْتِسْقَاؤُهُمْ، (تحفة الأحوذي، ج 10، ص: 26)

Sayyidinā ‘Umar r.a. Telah menyebutkan sesungguhnya para sahabat bertawassul kepada Nabi di waktu masih hidup untuk meminta hujan kepada Allah s.w.t. kemudian para sahabat bertawassul kepada paman Nabi (‘Abbās) setelah wafat beliau.” (Tuḥfat-ul-Aḥwadzī, juz 10, halaman: 26).

Artinya, ‘Umar melibatkan ‘Abbās r.a. sebagai pengganti Rasūl s.a.w. untuk mendapatkan karunia Allāh s.w.t. berupa hujan. Dengan melibatkan ‘Abbās r.a. sesungguhnya ‘Umar r.a. hendak bergabung dalam kafilah rohani Rasūl s.a.w. melalui orang yang masih hidup dan yang dicintai Rasūl s.a.w. meskipun ‘Umar r.a. sendiri memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasūl s.a.w.

Berdasarkan hal ini, maka orang-orang mu’min lainnya, apalagi yang hidup pada masa sekarang, sudah seyogianya mencari seorang hamba Allāh s.w.t. yang karena kecintaan dan ketaatannya kepada Allāh s.w.t. dan Rasūl-Nya s.a.w. layak dicintai oleh Allāh s.w.t. dan Rasūl-Nya s.a.w. dan layak pula menduduki posisi sebagai khalīfah pengganti Rasūl s.a.w.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *