Qalb (Hati yang Menghadap Khaliq) – Biarkan Hatimu Bicara! (1/2)

Biarkan Hatimu Bicara!
MENCERDASKAN DADA, HATI, FU’AD, DAN LUBB

Oleh: Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn ‘Alī al-Ḥakīm at-Tirmidzī
 
Judul Asli:
بيان الفرق بين الصدر و القلب و الفؤاد و اللب
للحاكم التلمذي

 
Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
Penerbit: PT SERAMBI ILMU SEMESTA

Rangkaian Pos: Qalb (Hati yang Menghadap Khaliq) - Biarkan Hatimu Bicara!

3

QALB
(Hati yang Menghadap Khaliq).

 

Buta dan melihat terkait dengan hati, bukan dengan shadr. Allah s.w.t. berfirman:

فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى الأَبْصَارُ وَ لكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ

Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, adalah hati yang di dalam shadr.” (341)

Demikianlah pengertiannya secara lahiriah. Adapun secara kiasan dan seperti yang dikenal oleh manusia, kadang kala istilah hati diganti dengan shadr. Allah s.w.t. berfirman:

قُلْ إِن تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ

Katakan, Jika kalian menyembunyikan atau menampakkan apa yang terdapat dalam shadr (hati) kalian, niscaya Allah mengetahuinya.” (352)

وَ مَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

Apa yang disembunyikan oleh shadr (hati) mereka jauh lebih besar.” (363)

وَ رَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُوْرُهُمْ وَ مَا يُعْلِنُوْنَ

Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dan ditampakkan oleh shadr (hati) mereka.” (374)

Yang dimaksud dengan shadr pada ayat di atas adalah hati (yang menghadap makhlūq). Akan tetapi, semuanya mengacu kepada hati orang kafir. Sebab, shadr dan hati mereka terhalang dan terkunci karena jauh dari cahaya petunjuk.

Pengetahuan semacam ini tidak bersemayam dan tidak menetap di shadr kecuali setelah terus-menerus diulang dan ditekuni. Sebab, ia seperti jalan. Terutama ketika masuk ke dalamnya dari luar seperti sesuatu yang didengar. Adapun berbagai rahasia hikmah dan aneka macam anugerah yang keluar menuju shadr dari dalam hati bisa menetap di dalam shadr. Hanya saja, ia tidak tetap berada di shadr karena shadr merupakan tempat masuknya berbagai hal dan kehendak. Posisinya sama seperti teras di rumah. Bisa saja pada waktu-waktu tertentu pelayan, pembantu, tetangga, orang asing, dan yang lainnya masuk ke dalam rumah. Tetapi, ia tidak bisa masuk ke dalam ruangan-dalam yang biasa dimasuki oleh pemiliknya kecuali keluarga dekat, mahram, kerabat, dan teman.

Kadang kala istilah hati secara kiasan juga disebut dengan nafs (jiwa). Dalam kisah Nabi ‘Īsā a.s. disebutkan:

تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي

Engkau mengetahui apa yang terdapat dalam jiwaku.” (385)

Maksudnya, Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku. Dia juga berfirman:

وَ اعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam jiwa kalian, maka takutlah pada-Nya.” (396)

Maksudnya adalah hati. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. mengampuni dari umatku apa yang dibisikkan oleh jiwanya.” (407) Jelaslah bahwa yang dimaksud oleh hadits di atas adalah bisikan shadr yang tidak menetap. Adapun yang menetap di dalam hati, maka ia akan ditanya dan dihisab. Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan fu’ād semuanya akan ditanya.” (418)

Setiap pengetahuan yang diterima oleh nafs dan diserap oleh shadr, maka nafs ini akan bertambah sombong dan menolak untuk menerima kebenaran. Setiap kali bertambah pengetahuan, pada waktu yang sama ia bertambah dengki terhadap saudara-saudaranya serta terus berada dalam kebatilan dan kesewenang-wenangan. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Pengetahuan ini berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sebagaimana kesewenang-wenangan terhadap harta.” Perlu diketahui bahwa manakala sebuah pengetahuan memberikan manfaat yang sedikit, maka ia akan dijual oleh pemiliknya dengan harga yang murah, lalu ia berpaling, dan tidak taat kepada Allah. ‘Ilmu pengetahuan, seperti yang kauketahui, sebenarnya dipelajari untuk menegakkan syariat, mendidik jiwa, memperbaikinya, mencegahnya dari kebodohan, serta untuk mengenali batasan hukum dan tegaknya agama. Manfaatnya menjadi banyak, bertambah, dan membesar ketika Allah menyingkap untuknya pengetahuan batin atau pengetahuan hati. Yaitu, pengetahuan yang bermanfaat. Bukankah Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Pengetahuan itu ada dua: (1) pengetahuan yang hanya ada di lisan. Itulah argumen (hujjah, bukti) Allah atas makhlūq-Nya; (2) pengetahuan di hati. Itulah pengetahuan yang bermanfaat.” (429) Rasūlullāh s.a.w. pernah meminta perlindungan dengan berkata: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pengetahuan yang tidak bermanfaat.” (4310) Beliau juga berdu‘ā: “Kami berlindung kepada Allah dari orang munāfiq yang lisannya pandai tetapi hatinya bodoh.” (4411) Semua ini merupakan bukti bahwa pengetahuan yang didengar menjadi bukti Allah atas diri manusia saat ia menjualnya dengan dunia tanpa merasa butuh kepada agama padahal ia lebih bermanfaat baginya. Ia baru mengamalkannya ketika Allah menyingkap untuknya pengetahuan yang bermanfaat. Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, akan Allah wariskan untuknya pengetahuan yang belum ia ketahui.”

Perlu diketahui, dalamnya lautan hati tidak terhingga dan jumlah sungainya tidak terhitung. Perumpamaan ahli hikmah yang ada di lautan tersebut seperti para penyelam, sementara perumpamaan mereka yang berada di sungai seperti orang yang mengambil air dan memancing. Masing-masing mendapat sesuai dengan rezeki yang Allah berikan darinya. Ada yang Allah singkapkan untuknya permata pengetahuan tentang aib dunia, bahwa ia cepat lenyap, banyak menipu, tidak kekal, dan segera sirna. Juga Allah singkap untuknya pengetahuan tentang segala macam tipu daya syaithan, serta berbagai jenis bisikannya. Ada pula yang Allah singkap untuknya jalan untuk mengenal berbagai tingkatan orang bertakwa, berbagai derajat orang ‘ālim, kemuliaan akhlāq, bergaul secara baik dengan makhlūq saat mereka berbuat jahat, bersabar, menderma dengan harta dunia, mendahulukan orang lain atas dirinya, takut kepada neraka, menjauhi syaithan, berjuang menundukkan nafsu, menentang hasratnya, mengikuti Rasūl dan para sahabatnya, serta berpegang pada Sunnah. Selain itu, ada yang Allah singkap untuknya jalan untuk menceritakan nikmat-nikmat Allah, menyebutkan semua karunia-Nya, menolak ujian-Nya, banyaknya pemberian-Nya, keindahan tutup-Nya, panjangnya kesabaran-Nya, besar maaf-Nya, keluasan rahmat-Nya, dan seterusnya. Selanjutnya ada yang Allah singkap untuknya jalan untuk menyaksikan segala yang berasal dari Allah dalam bentuk keabadian dan keazalian-Nya, bagaimana Dia mengingatnya, menatapnya secara baik, memilihnya, dan memuliakannya. Lalu ada yang Allah singkap untuknya jalan untuk mengenal berbagai hakikat dari beragam perbuatan Rubūbiyyah-Nya sehingga ia bisa menyaksikan jejak-jejak kekuasaan-Nya dalam segala hal, keindahan ciptaan-Nya, dan seterusnya. Selanjutnya ada yang disingkapkan untuknya jalan untuk menyaksikan kebesaran, kemuliaan, keagungan kekuasaan-Nya, dan hinanya kemampuan makhlūq diukur dengan keagungan-Nya. Juga jalan untuk melihat kelemahan makhluk, ketidakberdayaan mereka, butuhnya mereka kepada Allah, tidak butuhnya Dia kepada mereka, luasnya kekayaan-Nya, kecukupan-Nya, dan bagusnya perhatian Allah pada mereka. Kemudian ada yang disingkapkan untuknya kemampuan melihat taufīq, manisnya makrifat, cinta, serta perlindungan-Nya pada manusia dari kesesatan, kekufuran, dan hawa nafsu. Juga ada yang ia lihat dalam ketersembunyian selain Dia. Sehingga, sirnalah kekuatan selain-Nya saat menyaksikan Allah s.w.t. Ia melihat sifat-Nya yang tak bermula, sempurna, dan abadi. Ia juga melihat sifat makhlūq yang bermula dan fanā’.

Semua aspek ini, lautannya tidak bertepi dan permatanya tidak terhingga. Allah s.w.t. berfirman:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاء وَ مَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرا وَ مَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا الأَلْبَابِ

Dia menganugerahkan al-ḥikmah (kefahaman yang dalam tentang al Qur’ān dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (mempunyai lubb, inti hati) yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (4512)

Semua aspek di atas, yang diungkapkan oleh lisan yang bijak, adalah seperti laut yang ditutupi oleh buih. Laut tersebut akan menyingkirkannya sehingga ia berguna bagi manusia. Demikian pula dengan orang yang bijak berikut hikmah yang diungkapkan lewat lisan dan dijelaskan kepada makhlūq lewat lisan penjelasan. Ia seperti lautan tersebut berguna bagi orang yang mempunyai penyakit mata. Juga berguna bagi orang yang hatinya pedih oleh ucapan orang bijak. Allah s.w.t. menyembuhkan shadr-nya dari penyakit cinta dunia dan berbagai penyakit lain yang ada berbagai penyakit lain yang ada di hati tersebut.

Ini adalah jalan ‘ilmu bāthin dan lahir. Keduanya saling melengkapi. Sebab, ‘ilmu lahir merupakan penjelasan syariat yang menjadi argumen (ḥujjah) Allah atas makhlūq-Nya, sementara ‘ilmu bāthin merupakan penjelasan hakikat yang sebagiannya telah kujelaskan. Hati dan nafs menjadi hidup dengan keduanya. Baik dan tegaknya lahiriah agama adalah dengan ‘ilmu syariat. Sementara baik dan tegaknya bāthiniah agama adalah dengan ‘ilmu yang lain, yakni ‘ilmu hakikat. Dalilnya adalah bahwa kebaikan agama bergantung pada benarnya ketaqwāan. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Taqwā itu ada di sini.” Beliau mengucapkan hal itu seraya menunjuk ke hati. Siapa yang memerhatikan ‘ilmu lahir dan mengingkari ‘ilmu bāthin, berarti ia munāfiq. Dan siapa yang memerhatikan ‘ilmu bāthin dan tidak mau mempelajari ‘ilmu lahir guna menegakkan syarī‘at, maka ia zindiq (orang yang tersesat imannya). ‘Ilmunya di bāthin sebenarnya bukan ‘ilmu hakikat, namun ia tidak lain merupakan bisikan-bisikan syaithan kepadanya. Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلى أَوْلِيَآئِهِمْ

Syaitan membisikkan kepada kawan-kawannya.”(4613)

Sementara siapa yang muslim, mu’min, shāliḥ dan ‘ārif (mengenal Allah), niscaya ia percaya kepada kitab Allah dan sunnah Rasūl-Nya, lalu ia berpegang pada syariat, mengamalkannya, meneladani Rasūlullāh s.a.w. mengikuti para sahabat, dan menyaksikan lewat hatinya bersama Allah dalam kondisi merasa papa sekaligus bangga, serta merasa tak berdaya, tidak kuasa untuk memilih, dan selalu menyertai Tuhan Yang Maha Berkuasa dan Mengampuni. Allah telah memberikan anugerah-Nya kepadaku sehingga aku bisa menguraikan secara panjang lebar perbedaan antara shadr dan hati.

Hati merupakan sumber cahaya īmān. Allah s.w.t. berfirman:

أُولئِكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الإِيْمَانَ

Mereka adalah orang-orang yang Allah tuliskan keimanan dalam hati mereka.” (4714)

وَ لكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإِيْمَانَ وَ زَيَّنَهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ

Akan tetapi Allah membuat kalian menyenangi keimanan dan menghiasinya di hati kalian.” (4815)

وَ قَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ

Hatinya merasa tenteram dengan keīmānan.” (4916)

Catatan:

  1. 34). QS. al-Ḥajj 22: 46.
  2. 35). QS. Āli ‘Imrān 3: 29.
  3. 36). QS. Āli ‘Imrān 3: 118.
  4. 37). QS. al-Qashash 28: 69.
  5. 38). QS. al-Mā’idah 5: 116.
  6. 39). QS. al-Baqarah 2: 235.
  7. 40). Al-Mu‘jam-ul-Mufahras, juz 1, hal. 104.
  8. 41). QS. al-Isrā’ 17: 36.
  9. 42). Kanz-ul-‘Ummāl, juz 1, no. 4050, 4338-4339 dan Kitāb-ul-Arba‘īna fit-Tashawwuf karya Abū ‘Abd-ir-Raḥmān as-Sulamī. Hedarabat, 1950, hal. 5.
  10. 43). Kanz-ul-‘Ummāl, juz 1, no. 3623.
  11. 44). Bandingkan dengan Kanz-ul-‘Ummāl, juz 5, no. 4440, 4441, 4793, 4801.
  12. 45). QS. al-Baqarah 2: 269.
  13. 46). QS. al-An‘ām 6: 121.
  14. 47). QS. al-Mujādilah 58: 22.
  15. 48). QS. al-Ḥujurāt 49: 7.
  16. 49). QS. an-Naḥl 16: 106.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *