Keutamaan dan faedah puasa sebagaimana sudah dijelaskan sangat banyak sekali. Ibadah di bulan ini menghidupkan hati, jiwa, masyarakat, dan perabadan itu sendiri. Intinya, Ramadhān adalah saat bahagia karena di manusia intensif berdekat-dekatan dengan Allah s.w.t., Sang Pencipta Yang Pengasih. Kita dapat mengelaborasikan hal ini dalam 2 sisi kebahagiaan, yaitu kebahagiaan spiritual dan kebahagiaan kultural.
Kebahagiaan Spiritual.
Posisi puasa Ramadhān secara spiritual berada pada level utama. Sebab ibadah inilah yang membangun agama tauhid ini, salah satu rukun Islam. Selain syahadat, shalat, zakat, dan haji, Islam tegak karena puasa Ramadhān. Bulan ini sendiri adalah bulan yang dipuji Allah s.w.t. sebab Dia memilih bulan ini untuk menurunkan al-Qur’ān.
Jika direnungkan, kelima pilar Islam ini saling terkait. Esensinya dapat bertemu satu sama lain. Kita meluruskan niat dalam puasa itu sama dengan menegakkan syahadat dalam hati. Ibadah kita bukan untuk yang lain, tapi semata untuk Allah s.w.t. Puasa juga adalah sujud dan tunduk seperti shalat, yakni menundukkan hawa-nafsu dalam diri. Puasa juga bertemu dengan zakat karena ia membersihkan jiwa dengan memberi. Objek pemberian dalam konteks puasa adalah diri sendiri yakni memberi asupan rohani dengan menahan diri dan banyak beribadah. Puasa juga sama seperti safar dalam haji. Satu bulan itu adalah perjalanan untuk sampai ke fitrah diri.
Ibnu Qayyim dalam Ighātsat-ul-Laḥfān menyebut setiap orang yang menahan nafsunya berarti sampai pada manisnya iman. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya.” (HR. Aḥmad).
Puasa Ramadhān juga mendedahkan kesabaran dalam tiap detik waktu-waktunya. Allah s.w.t. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 200).
Kebahagiaan spiritual tertinggi dalam puasa Ramadhān tak lain adalah belajar ikhlas. Cak Nūr pernah menulis bahwa puasa adalah berharap kebaikan penuh kepada Allah s.w.t. dan pengharapan akan mustahil didapat jika kita tidak ikhlas dalam ber‘amal.
Ikhlas adalah muara dari penempaan diri dengan berpuasa. Ibnu ‘Athā’illāh dalam al-Ḥikam menyebutkan bahwa semua ‘amal seperti gambar mati, dan Ikhlas adalah ruh bagi gambar tersebut. Ikhlas memang sangat akrab dengan lisan manusia namun paling sulit meresap ikhlas namun sangat sedikit yang benar-benar mengetahuinya dengan utuh. Keikhlasan adalah hal yang melampaui kata-kata, melampaui sekian banyak teori dan logika manusia. Keikhlasan adalah fakta jiwa yang sangat halus, sangat rahasia, dan karenanya sangat berharga.
Pengembaraan keikhlasan sejatinya adalah pengembaraan hati. Jika ada sekian penjelasan mengenai keikhlasan itu tak lain hanyalah semacam teori mengenai cara berenang di tengah laut. Tapi ilmu sebenarnya didapat ketika orang itu melangkah maju, merasakan deburan ombak hingga benar-benar berenang ke tengah lautan. Hanya keteguhan yang dapat membuat seorang yang beriman mampu menyelami keikhlasan sejauh batas kemanusiaannya, seperti seorang perenang menjelajahi lautan tak berhingga. Pada setiap penjelasan mengenai keikhlasan selalu hanya menjadi permulaan dan pemaknaan sebenarnya terjadi saat paparan itu dikembalikan ke diri kita sendiri.
Keikhlasan sebagai karakter orang-orang beriman, orang-orang yang berpuasa, hanya bisa didapat dengan usaha besar. Badī‘-uz-Zamān Sa‘īd Nursī berkata: “Wahai saudara-saudaraku! Keikhlasan adalah prinsip yang paling penting dalam perbuatan-perbuatan yang berkaitan khususnya dengan hari akhir; keikhlasan merupakan kekuatan terbesar, perantara yang paling bisa diterima, dukungan yang paling kokoh, cara yang paling dekat menuju kesungguhan, dan yang paling diterima. Keikhlasan adalah alat yang paling menakjubkan untuk meraih tujuan, keikhlasan adalah kualitas tertinggi dan ibadah yang paling murni.” Allah s.w.t. berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab al-Qur’ān dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya, Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. az-Zumar [39]: 2-3).
Maka, hanya di hati mereka yang ikhlas dalam puasanya, rindu selalu hadir. Hati bergembira bertemu Ramadhān dan sedih saat Ramadhān berlalu.
Kebahagiaan Kultural.
Untuk melihat kebahagiaan kultural Ramadhān kita dapat melihat ke kedudayaan kita sendiri. Di bebarapa daerah, kebahagiaan itu bahkan sudah terlihat di hari-hari menjelang Ramadhān. Orang-orang akan saling mengunjungi dan mengirim makanan seperti yang tampak dalam tradisi Nyorog pada masyarakat Betawi. Setiap orang akan mengirim makanan ke kerabat yang lebih tua, apakah itu kakak, paman, bibi, orang tua, dan lain sebagainya. Di Aceh juga ada tradisi Meugang yang rutin berlangsung sebelum Ramadhān. ‘Īd-ul-Fitri, dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Di hari Meugang, masyarakat memotong kerbau dan kambing untuk dimasak dan dibagikan. Kalau tak memotong hewan, warga Aceh akan memenuhi pasar dan pusat perbelanjaan untuk membeli daging. Kebutuhan yang tinggi ini kemudian memicu hadirnya pedagang daging musiman di Aceh. Panjangnya usia tradisi ini bahkan menciptakan kemampuan unik masyarakat Aceh dalam mengawetkan daging dengan cara direbus atau dikeringkan. Konon karena teknik mengawetkan daging inilah Cut Nyak Dien, pahlawan Aceh, dapat lama bertahan dalam gerilya melawan Belanda.
Selain itu, ada juga tradisi Padusa (Jawa) dan Balimau (Minang) untuk mandi dan membersihkan diri menyambut Ramadhān, tradisi berbuka puasa bersama, tadarrusan, sahur keliling, dan lain sebagainya. Hal sama juga terjadi di negara-negara lainnya. Di beberapa negara terdapat tradisi dan kebiasaan unik masyarakat yang menjadi kekayaan kultural tersendiri setiap bulan Ramadhān tiba.
Di Mesir, Ramadhān dirayakan dengan banyak kemeriahan. Selama bulan suci, jalan-jalan menjadi sangat sibuk dengan orang-orang yang bergegas untuk membeli penganan spesial Ramadhān. Kue-kue seperti Konafah, Basbousah, dan Katayef, ramai diserbu. Qamar Eldin (Jus Aprikot) adalah penghias utama meja makan di setiap rumah, selain Medamis (biji Fava), Zabadi (yoghurt), dan Torshi Baladi (sejenis acar).
Selama Ramadhān, masjid-masjid kuno di Kairo yang merupakan peninggalan abad pertengahan dihias dengan fanous (lentara) Ramadhān. Setiap masjid, bangunan, jalan, jalur dan gang menyala dengan lentera ini. Fanous tradisional berbentuk dari timah, cincin kawat, dan kaca berwarna, dan diterangi lilin. Tradisi lentera ini diyakini berakar dari sejak zaman Mesir kuno yang memiliki tradisi menyalakan obor saat merayakan hari besar atau sejenisnya.
Di Maroko, Ramadhān membuat jam kantor lebih pendek dari biasanya. Kantor, bank, dan toko tutup lebih awal agar para karyawan bisa segera pulang, berkumpul bersama keluarga dan berbuka bersama. Di Maroko, orang biasa berbuka dengan Harira, sup tradisional Maroko. Perempuan Maroko juga menghabiskan banyak waktu untuk menyiapkan permen tradisional seperti Sellou dan Chebekia yang diolah sebelum Ramadhān. Penganan (sweets) ini juga banyak dijual di toko-toko seluruh Maroko.
Budaya di India lain lagi, setiap Ramadhān orang akan memasak Ghangui, sejenis sup yang terbuat dari tepung, nasi dan irisan daging. Sup ini menyegarkan tubuh setelah berpuasa dan menjadi menu wajib di rumah-rumah dan masjid-masjid. Sementara di Albania. Ramadhān akan dipenuhi suara Lodra sejenis beduk yang dipukul guna membangunkan orang untuk makan Sahur. Saat Ifthār adalah saat yang indah di Albania karena warga Kristiani Albania terkadang mengundang warga Muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka. Hal ini sudah menjadi tradisi tersendiri.
Di Ghana orang juga membangunkan Sahur dengan beduk yang ditabuh keras. Menu berbuka favorit adalah Zafi Tuo, sup dari tepung dan jagung. Jika Ramadhān berakhir, suku Muslim Ghana akan menari dan bermain drum lalu mereka akan berkunjung ke rumah imam yang dihormati untuk makan bersama.
Hal-hal ini hanya contoh betapa Ramadhān telah lama menjadi sumber kebahagiaan masyarakat Muslim di mana pun.
Perkara hilāl (bulan sabit pertama) tak lain merupakan perkara terkait penentuan awal dan akhir Ramadhān. Di Indonesia, beberapa kali penetapan awal Ramadhān ini berlainan antara beberapa Ormas Islam. Hal ini terkait perbedaan metode penentuannya. Ormas Islam Nahdhat-ul-‘Ulamā’ (NU) memakai metode ru’yat-ul-hilāl yaitu melihat hilal langsung di ufuk langit. Dalil untuk ini adalah hadits shaḥīḥ yang berbunyi: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilāl) dan berbuka karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya‘bān menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhārī dam Muslim).
Sedangkan metode kedua dilaksanakan oleh Muḥammadiyyah. Ormas Islam yang didirikan KH. Aḥmad Dahlān ini menganggap hisab dapat lebih memiliki kepastian dan dapat dihitung untuk hari-hari ke depan. Menurut Muḥammadiyyah, jika dalam hisab, hilāl sudah wujud maka itu berarti sudah masuk bulan baru, tak peduli apakah hilāl itu dapat dilihat atau tidak. Muḥammadiyyah mengambil dalil dari al-Qur’ān: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yūnus [10]: 5).
NU juga memakai hisab, tapi jika hisab dan ru’yat bertentangan, maka ru’yat yang dimenangkan. Jadi, jika dalam perhitungan, bulan sudah dapat dilihat di ufuk langit tapi dalam ru’yat bulan tak tampak maka ru’yat dimenangkan. Ilustrasinya: jika hilāl 1 Ramadhān diru’yat di sore hari tanggal 29 Sya‘bān dan gagal dilihat maka bulan Sya‘bān digenapkan menjadi 30 hari. Pun begitu untuk mengakhiri Ramadhān. Jika tidak dapat dilihat, maka bulan Ramadhān digenapkan 30 hari.
Di masa Rasūlullāh s.a.w., metode ru’yat memang dipakai. Beliau mempraktikkan dengan sederhana dan ringan. ‘Umur bulan hanya dua yakni 29 dan 30 hari. Jadi, hanya ada dua kemungkinan. Di zaman Rasūlullāh s.a.w. puasa ada yang dijalankan 29 hari dan ada yang 30 hari. Pernah suatu ketika orang berdebat mengenai puasa apakah dijalankan hari ini atau besok. Lalu ada orang ‘Arab Badui mengaku melihat hilāl. Rasūlullāh s.a.w. lalu menanyainya apakah beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya. Si Badui membenarkan. Maka Rasūlullāh s.a.w. langsung memerintahkan Bilāl mengumumkan umat Islam berpuasa. Begitu sederhana.
Lalu apakah kemudian metode hisab tak memiliki kebenaran? Hisab merupakan satu ilmu yang berdasarkan observasi. Jadi patokan hisab adalah ru’yat pula. Bahkan ratusan dan ribuan ru’yat. Dari situ ilmu falak (astronomi) lahir. Hisab berdasarkan pada hitungan ilmiah dan teruji. Bagi kalangan yang mempercayai metode ini, hisab meminimalisasi kesalahan yang terjadi karena keterbatasan indra serta objek yang dilihat. Hilāl sangat kecil hingga kadang saat langit berpolusi akan sulit dilihat. Pun begitu hilāl kadang tersamar dengan benda-benda langit lain yang mengeluarkan sinar seperti planet Venus.
Di beberapa negara, jika ada perbedaan maka negara akan memutuskan dan keputusan itu akan ditaati semua pihak. Di Indonesia, pemerintah juga mengeluarkan keputusan. Tapi, entah kenapa, tetap tak semua mentaatinya. Barangkali hal ini terkait dengan kredibilitas pemerintah kita yang masih dianggap tidak amanah karena banyaknya korupsi. Maka ikutilah apa yang menurut anda benar. Dua metode ini memiliki argumentasi dan kebenarannya sendiri-sendiri.
Niat puasa Ramadhān adalah sebagai berikut:
Untuk satu bulan:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ (هذِهِ السَّنَةِ) كُلِّهِ للهِ تَعَالَى.
Nawaitu shauma syahri ramadhāna (hādzih-is-sanati) kullihi lillāhi ta‘ālā.
“Sengaja aku berpuasa sebulan pada bulan Ramadhān tahun ini karena Allah ta‘ālā.”
Untuk harian (dibaca setelah shalat Tarāwīḥ).
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ للهِ تَعَالَى.
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri ramadhāna hādzih-is-sanati lillāhi ta‘ālā.
“Aku berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhān tahun ini karena Allah ta‘ālā.”