4.
Kewajiban puasa termaktub lugas dalam al-Qur’ān surah al-Baqarah [2]: ayat 183. Menurut Ibnu Katsīr, di ayat ini Allah s.w.t. dengan jelas memerintahkan setiap orang yang beriman (Mu’min) untuk berpuasa, yakni menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah s.w.t. Perintah ini diturunkan karena terdapat hikmah besar untuk manusia yakni membersihkan diri, menyucikan, dan membebaskan manusia dari endapan buruk dalam dirinya. Endapan buruk ini secara lahir adalah endapan racun di tubuh yang timbul karena makanan dan aktivitas keseharian, sedangkan endapan bathinnya adalah akhlak-akhlak yang rendah dan hina.
Menurut Ibnu Katsīr, penyebutan “puasa sudah diwajibkan atas umat sebelum kamu”, menyiratkan besarnya keteladanan dalam puasa. Ibadah ini sudah lama dijadikan sarana pembersihan jiwa dan badan. Karena umat Nabi Muḥammad s.a.w. adalah umat terakhir dan termulia sudah selayaknya kita menjalankan puasa lebih baik dari umat-umat terdahulu. Allah s.w.t. berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kalian dijadikan satu umat saja. Tapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya pada kalian maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…..” (QS. al-Mā’idah [5]: 48).
Kewajiban puasa hanya pada bulan Ramadhān menyimpan hikmah agar manusia tak berat melakukannya. Artinya, puasa waktunya terbatas dan manusia tak perlu menjadi lemah dan bersusah hati karenanya.
Sebagaimana shalat, puasa diwajibkan bertahap. Hal ini dijelasan oleh Imām Aḥmad berdasarkan riwayat dari Abū Nadr. Awalnya Rasūlullāh s.a.w. menjalankan puasa tiga hari dalam sebulan dan juga puasa ‘Āsyūrā’. Lalu hal ini dinasakh dengan turunnya ayat puasa di surah al-Baqarah. Tapi, setelah ayat itu turun, umat Muslim juga tak langsung berpuasa. Mereka boleh memilih mau berpuasa atau memberi makan orang miskin. Kewajiban ini kemudian menjadi lebih terang dengan firman Allah s.w.t. lainnya yang menyatakan bahwa orang sehat wajib berpuasa dan yang sakit boleh tidak berpuasa dengan syarat membayar di lain waktu. Hal ini juga berlaku pada musāfir, wanita haidh dan nifas. Khusus untuk orang lanjut usia, atau orang yang tak kuat menjalankan puasa karena sebab yang syar‘i, semisal orang yang perkerjaannya sangat berat, maka boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin dari setiap hari Ramadhān yang ia tinggalkan.
Mufassir Quraish Shihāb di dalam Tafsīr al-Mishbāḥ mengkaji syariat puasa dengan lebih luas. Ia menyebut dalam susunan ayat-ayat surah al-Baqarah, syariat berpuasa termaktub dalam kelompok ayat yang didahului dengan kelompok ayat yang merinci kewajiban manusia terkait pemeliharaan jiwanya. Di dalam surah al-Baqarah ayat 168-177 dipaparkan mengenai ajakan kepada seluruh manusia untuk memakan makanan yang tak (missing ???) bagi jasmaninya dan jangan mengikuti langkah syaithan.
“Hai sekalian manusia makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah syaithan…..” (QS. al-Baqarah: 168); “Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. al-Baqarah [2]: 172).
Lalu ada kelompok ayat berikutnya yakni surah al-Baqarah ayat 178-182 yang mengisahkan lebih rinci mengenai pemeliharaan jiwa serta beberapa kewajiban lain. Di kelompok ayat ini ada pemaparan mengenai kisas (qishāsh) sebagai syariat untuk memperlakukan hal sama dalam menjatuhkan sanksi juga mengenai wasiat.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishāsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita….” (QS. al-Baqarah: 178); “Dan dalam qishāsh itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 179); “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu didatangi tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak, dan karib kerabatnya secara ma‘rūf, (ini adalah) hak (yang harus dilaksanakannya, yakni kewajiban) atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 180).
Quraish menyebut hal ini adalah keserasian al-Qur’ān terkait perintah menjaga kesehatan jiwa. Dengan makan yang cukup dan tak berlebihan, jasmani terpelihara dari sakit, pun begitu jiwa manusia. Setelah itu ada anjuran kisas (qishāsh) dan berwasiat secara ma‘ruf, tidak zhalim, dan pilih kasih, yang terkait dengan hubungan sesama manusia dan dalam keluarga.
“(Setelah itu) ayat-ayat surah ini kembali berbicara tentang pemeliharaan jiwa manusia melalui ajakan mesra untuk berpuasa,” ujar Quraish dalam tafsirnya.
Menurut Quraish, dalam ayat 183 surah al-Baqarah, Allah s.w.t. “mengajak” siapa pun yang memiliki iman untuk berpuasa, tak perduli seberapa besar dan kecilnya iman itu. “Wahai orang-orang yang beriman” adalah panggilan “mesra” Allah s.w.t. yang ditujukan untuk menggugah kesadaran agar mau berpuasa. Kata “Diwajibkan atas kamu” menjadi isyarat, kewajiban itu demikian penting dan bermanfaat. Seandainya Allah s.w.t. tak mewajibkan, maka manusia sendiri akan mewajibkan itu atas dirinya. Hal ini terbukti dalam dunia kedokteran yang menganjurkan orang berpuasa. Kewajiban itu tak lain adalah menahan diri, ash-Shiyām. Menahan diri ini dibutuhkan untuk siapa saja. Kaya atau miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, orang yang hidup modern atau primitif.
Taqwa adalah tujuan puasa, bukan yang lain. Quraish menyebut dalam konteks ini puasa berarti menghindarkan diri dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi dan akhirat. Puasa sendiri berada dalam sistem yang utuh. Jelas keistimewaan, manfaat, masa dan bilangannya, jelas pula siapa yang wajib melaksanakannya, dan siapa pula yang diidzinkan untuk menunda, tidak melaksanakan dan bagaimana menggantinya. Puasa adalah sistem yang utuh untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Karenanya, di bulan puasa kita dianjurkan sebanyak-banyaknya mengajukan permohonan dan harapan kepada-Nya.
Puasa adalah keteladan Rasūlullāh s.a.w. yang disaksikan shahabat-shahabatnya. Dikisahkan dalam beragam hadits, ‘Ā’isyah yang menemani keseharian beliau mengisahkan dalam hadits riwayat Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. demikian bersungguh-sungguh beribadah pada bulan Ramadhān di mana hal itu tak ia temui dalam bulan-bulan lain. Kesungguh-sungguhan ini juga bertambah frekuensinya di sepuluh hari terakhir Ramadhān.
Ibnu Qayyim menyebut dalam “Zād-ul-Ma‘ād” tentang beberapa sifat puasa Rasūlullāh s.a.w. Beliau senantiasa menyegerakan puasa dan mengakhirkan Sahur serta sangat menganjurkannya hal itu dilakukan di setiap hari Ramadhān. Beliau menganjurkan berbuka dengan kurma dan jika tak ada maka dengan air. Kebiasaan ini adalah bagian dari kesempurnaan syafaat beliau. Kurma mudah dicerna tubuh yang lapar karena manis dan mengandung kalori juga menambah tenaga dan kekuatan. Sedangkan air akan membasahi organ tubuh yang kering. Setelah dibasahi maka tubuh akan mudah menerima makanan setelahnya. Karena itu siapa yang lapar, ada baiknya meneguk sedikit air putih dahulu sebelum makan.
Rasūlullāh s.a.w. berbuka sebelum shalat. Jadi berbuka dilakukan terlebih dahulu. Beliau setiap berbuka akan melantunkan doa:
“Dzahab-azh-zhamā’u wabtallat-il-‘uruqu wa tsabat-al-ajru in syā’ Allāh.” Hilang rasa dahaga, kerongkongan menjadi basah dan pahala tetap, In syā’ Allāh.” (HR. Abū Dāūd, ad-Dāruquthnī dan al-Ḥākim).
Jika beliau bepergian saat puasa ada kalanya beliau berpuasa dan ada kalanya tidak. Dua opsi ini juga beliau berikan kepada shahabat-shahabatnya. Saat berperang dan musuh sudah dekat beliau menganjurkan tidak berpuasa agar badan kuat. Saat perang Badar dan Fatḥ-ul-Makkah, ‘Umar bin Khaththāb berkata: “Kami pernah berperang bersama Rasūlullāh s.a.w. pada bulan Ramadhān sebanyak dua kali, yakni saat Badar dan Fatḥ. Kami tidak berpuasa pada dua kali peperangan itu.”
Terkait junub, beliau memberi tuntunan jika waktu fajar tiba dan orang tersebut dalam keadaan junub, maka silahkan mandi tapi tetap melanjutkan puasa. Beliau juga pernah memeluk istrinya di siang hari puasa dan itu tak membatalkan puasa. Rasūlullāh s.a.w. juga menggugurkan qadhā’ (ganti) terhadap orang yang makan atau minum karena lupa. Makan-minum itu bukan kehendak si orang yang berpuasa tapi kehendak Allah s.w.t. Rasūlullāh s.a.w. bersiwak (sikat gigi dengan siwak) saat puasa dan tidak membatalkan puasa. Beliau juga mengguyurkan air ke kepala dan tetap memasukkan air ke hidung (istinsyāq) saat berwudhu’. Tapi beliau melarang itu dilakukan berlebihan.
Rasūlullāh s.a.w. juga melaksanakan i‘tikāf. Ibadah ini seperti bergandengan dengan puasa. Hadits dari ‘Ā’isyah menyebut: “Tak ada i‘tikāf tanpa puasa.” (HR. Abū Dāūd dan ad-Dāruquthnī).
Rasūlullāh s.a.w. senantiasa beri‘tikāf di sepuluh hari terakhir Ramadhān. Hal ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya. Sesekali, pernah beliau i‘tikāf di sepuluh hari pertama dan pertengahan untuk mencari Lailat-ul-Qadar. Rasūlullāh s.a.w. juga mendirikan tenda di masjid. Beliau tak masuk rumah kecuali untuk keperluan-keperluan manusiawi (rumah beliau berdekatan dengan masjid). Beliau pernah menengok ke kamar ‘Ā’isyah saat i‘tikāf dan ‘Ā’isyah lalu menghampiri beliau dan membasuh kepalanya. Jika ada istri yang mengunjunginya saat beliau i‘tikāf maka beliau akan mengantarkannya pulang dan kembali lagi ke masjid.
Sifat puasa Rasūlullāh s.a.w. yang menonjol pula adalah kedermawanan. Ibnu ‘Abbās menuturkan dalam hadits riwayat Bukhārī dan Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. adalah orang paling dermawan, dan saat bulan Ramadhān kedermawanannya bahkan lebih bertambah. Rasūlullāh s.a.w. lebih dermawan dibanding angin yang bertiup.