Posisi Imam dan Ma’mum – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 002 Bab Shalat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Posisi Imām dan Ma’mūm (5351).

 

354. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat bila Ma’mūm berdiri di depan Imām dengan tetap mengikutinya.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Jadīd-nya dan Aḥmad berkata: “Shalatnya tidak sah.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Shalatnya sah.” (5362).

 

355. Mereka sepakat bahwa Ma’mūm harus berniat mengikuti Imām. (5373, 5384).

 

356. Mereka berbeda pendapat tentang hak Imām, apakah dia wajib berniat menjadi Imām?

Aḥmad berkata: “Dia wajib berniat menjadi Imām.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak wajib berniat menjadi Imām kecuali dalam shalat Jum‘at.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila di belakangnya perempuan maka dia wajib berniat menjadi Imām (seperti pendapt Aḥmad). Sedangkan bila di belakangnya laki-laki maka dia tidak wajib berniat menjadi Imām (seperti pendapat Mālik dan asy-Syāfi‘ī).”

Dia mengecualikan shalat Jum‘at, shalat dua Hari Raya dan ketika di ‘Arafah: “Imām harus berniat menjadi Imām pada empat tempat tersebut secara mutlak.” (5395).

 

357. Mereka sepakat bahwa apabila shaf-shaf bersambung sementara antara shaf-shaf tersebut tidak ada jalan atau sungai maka sah ber-Ma’mūm kepada Imām. (5406).

 

358. Mereka berbeda pendapat apabila antara Imām dan Ma’mūm terhalang oleh sungai atau jalan, atau Ma’mūm berada di perahu sementara Imām berada di perahu lain.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Hal tersebut menghalangi sahnya menjadi Imām.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Hal tersebut tidak menghalangi sahnya menjadi Imām.” (5417).

 

359. Mereka berbeda pendapat apabila seseorang shalat di rumahnya tapi Ma’mūm kepada Imām yang ada di masjid sementara ada tirai yang menghalangi terlihatnya shaf.

Mālik – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – , asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Shalatnya tidak sah.”

Abū Ḥanīfah dan Mālik dalam riwayat lain berkata: “Shalatnya sah tapi makruh.”

Ada pula riwayat dari Abū Ḥanīfah bahwa shalatnya sah secara mutlak. (5428).

 

360. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang berdiri sendirian di belakang shaf dan mengikuti Imām-nya maka shalatnya sah, hanya saja makruh melakukan hal tersebut (berdiri sendirian di belakang shaf). Kecuali Aḥmad yang mengatakan: “Shalat orang yang sendirian di belakang shaf batal”, karena berpedoman dengan hadits Wābishah Ibnu Ma‘bad. (5439).

Adapun riwayat dari Mālik adalah seperti madzhab Aḥmad yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb darinya. (54410).

 

361. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang shalat dengan berdiri di sebelah kiri Imām sementara di sebelah kanan Imām tidak ada seorang pun, shalatnya tetap sah. Kecuali Aḥmad yang mengatakan: “Shalatnya batal.” (54511).

 

362. Mereka berbeda pendapat apabila orang kafir menunaikan shalat, apakah dia dihukumi sebagai muslim?

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila orang kafir shalat berjamā‘ah atau sendirian di masjid maka dia dihukumi sebagai muslim.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak dihukumi sebagai muslim.” Hanya saja asy-Syāfi‘ī mengecualikan negeri musuh (negara kafir). Dia berkata: “Apabila dia shalat di negeri musuh maka dia dihukumi sebagai muslim.”

Mālik berkata: “Apabila orang kafir shalat dalam perjalanan karena khawatir atas keselamatan dirinya maka Islamnya tidak sah. Sedangkan bila dia shalat dalam kondisi tenang maka dia dihukumi sebagai muslim.”

Aḥmad berkata: “Apabila orang kafir shalat maka dia dihukumi sebagai muslim, baik dia shalat secara ber-jamā‘ah atau sendirian, baik di masjid maupun di tempat lain, baik di negeri perang (negara kafir) atau di negeri lain.” (54612).

 

363. Mereka berbeda pendapat tentang bagian shalat Imām yang dianggap berlaku bagi Ma’mūm Masbūq (yang dianggap bahwa si Masbūq mendapat shalat jamā‘ah bersama Imām).

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila Ma’mūm Masbūq mendapati Imām sedang Tasyahhud atau sedang membaca terakhir maka dia dianggap mendapati jamā‘ah bersama Imām.”

Mālik berkata dalam riwayat al-Qāsim: “Apabila Ma’mūm Masbūq mendapati bagian akhir shalat Imām maka dia dianggap mendapati Jamā‘ah bersama Imām.”

Pendapat inilah yang masyhur darinya. Sedangkan menurut riwayat Ibnu Wahb dan Asyhab (54713): “Apabila Ma’mūm Masbūq mendapati bagian awal shalatnya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang dianggap berlaku adalah bila Ma’mūm Masbūq mendapati awal shalat, baik secara hukumnya maupun dengan menyaksikan.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya seperti dua madzhab di atas. (54814).

Faidah dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa bagi yang berpendapat bahwa Ma’mūm Masbūq mendapati bagian akhirnya maka dia (Ma’mūm Masbūq) harus mengqadha’nya dengan Istiftah dan membaca surah setelah al-Fātiḥah, sedangkan bagi yang berpendapat bahwa dia mendapati bagian awalnya maka dia harus mengqadha’ yang tertinggal tanpa membaca doa Istiftāḥ dan tanpa membaca surah setelah al-Fātiḥah. (54915).

Catatan:

  1. 535). Judul ini ada dalam naskah yang dicetak, tapi ia tidak ada dalam manuskrip “Z” dan “C”.
  2. 536). Lih. al-Mughnī (2/44), al-Majmū‘ (4/191), Raḥmat-ul-Ummah (54), dan al-Isyrāf (1/377).
  3. 537). Masalah ini dan masalah-masalah berikutnya ada dalam naskah yang dicetak dalam pembahasan Bab Shalat JamĀ‘ah.
  4. 538), Lih. Raḥmat-ul-Ummah (51).
  5. 539). Lih. al-Majmū‘ (4/98), al-Mughnī (2/60), dan Raḥmat-ul-Ummah (51).
  6. 540). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (54) dan al-Majmū‘ (4/194).
  7. 541). Lih. al-Isyrāf (1/380) dan Raḥmat-ul-Ummah (54).
  8. 542). Lih. al-Mudawwanah (1/205), al-Mughnī (2/41), al-Majmū‘ (4/195),

    dan Raḥmat-ul-Ummah (52).

  9. 543). Hadits Wābishah Ibnu Ma‘bad diriwayatkan oleh Abū Dāūd (678), at-Tirmidzī (231), Ibnu Mājah (1004) dengan redaksi:

    “Rasūlullāh s.a.w. melihat orang yang shalat sendirian di belakang shaf. Maka beliau menyuruhnya mengulangi shalatnya.”

  10. 544). Lih. al-Majmū‘ (4/189), al-Mudawwanah (1/229), al-Mughnī (2/42), dan al-Isyrāf (1/276).
  11. 545). Lih. al-Mudawwanah (1/209), Raḥmat-ul-Ummah (54), al-Mughnī (2/44), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/276).
  12. 546). Lih. al-Majmū‘ (3/5) dan Ḥāsyiyatu Ibni ‘Ābidīn (1/381).
  13. 547). Dia adalah Abū ‘Amru Asyhab bin ‘Abd-il-‘Azīz bin Dāūd bin Ibrāhīm, seorang Mufti Mesir.

    Sahnūn berkata: “Semoga Allah merahmati Asyhab. Dia tidak menambah satu huruf pun apa yang didengarnya.”

    Asy-Syāfi‘ī berkata: “Mesir tidak melahirkan ulama yang lebih hebat dari Asyhab seandainya dia tidak gegabah.”

    Dia wafat pada tahun 204 Hijriyah. Lih. as-Siyar (8/323).

  14. 548). Lih. al-Mudawwanah (1/220), Raḥmat-ul-Ummah (51), at-Taḥqīq (4/68).
  15. 549). Dua masalah ini ada dalam naskah yang dicetak di akhir Bab Shalat Jamā‘ah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *