Hati Senang

Pernikahan dengan Zainab Binti Jahsy – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN   Judul Asli: Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek   Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil Penerbit: UMMUL QURA   (Diketik oleh: Zulfa)

Pernikahan dengan Zainab Binti Jaḥsy (941)

Pada tahun (kelima) ini juga, Rasūlullāh s.a.w. menikah dengan Zainab binti Jaḥsy – ibunya bernama Umaimah, bibi dari pihak ayah Rasūlullāh s.a.w. sendiri. – Rasūlullāh s.a.w. menikahinya sesudah ia ditalak oleh Zaid bin Ḥāritsah, maulā Rasūlullāh s.a.w., yang kemudian dijadikan anak angkatnya. Pernikahan antara Zainab dan Zaid terjadi karena Rasūlullāh s.a.w. meminang Zainab untuk Zaid. Namun, keluarga Zainab merasa keberatan dengan lamaran ini mengingat kedudukan Zainab yang mulia di kalangan kaumnya. Perlu diketahui, bangsa ‘Arab itu tidak suka menikahkan anak perempuan mereka dengan mawālī, mantan hamba sahaya. Keluarga Zainab berkeyakinan bahwa dari selain keluarga mereka tidak ada yang sekufu dengan putri-putri mereka.

Sekalipun Zaid diambil sebagai anak angkat oleh Rasūlullāh s.a.w., ini tidak menjadikan sejajar dengan bangsawan. Namun, ketika turun ayat berikut: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasūl-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 36). Maka mereka tidak punya pilihan lain kecuali menerima lamaran Rasūlullāh s.a.w. itu.

Pada saat Zaid menggaulinya, Zainab menampakkan kesombongan dan keangkuhannya, sehingga membuat Zaid tidak tahan untuk hidup bersamanya. Zaid pun mengadukan hal tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w., dan Beliau memerintahkannya agar tetap bersabar dalam menghadapi sikapnya yang demikian itu. Namun, lama-kelamaan Zaid tidak tahan lagi, lalu ia memberitahukan kepada Rasūlullāh s.a.w. tekadnya untuk menceraikan Zainab. Dan Zaid ungkapkan berkali-kali.

Ketika hubungan suami istri seperti ini tidak dapat dipertahankan, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya menikahi Zainab sesudah ia ditalak oleh Zaid. Satu sisi, hal ini untuk mengatasi perselisihan (antara keduanya) dan satu sisi untuk menjaga agar kehormatan (kebangsawanan) Zainab tidak hilang setelah menikah dengan maulā. Namun, Rasūlullāh s.a.w. khawatir akan mendapat celaan dari kaum Yahūdī dan bangsa ‘Arab terhadap dirinya karena menikahi mantan istri anak angkatnya. Maka Nabi s.a.w. berkata kepada Zaid: “Pertahankan istrimu itu, dan bertakwalah kepada Allah.” Sementara itu, Nabi s.a.w. menyembunyikan di dalam hatinya apa yang akan dinyatakan oleh Allah. Maka Allah memastikan hukum-Nya dengan membatalkan tradisi yang mengharamkan seorang menikahi mantan istri anak angkatnya, yaitu melalui firman-Nya:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْ أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَ كَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُوْلًا

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istri-nya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. .” (QS. al-Aḥzāb [33]: 37)

Kemudian Allah s.w.t. membatalkan hukum anak angkat ini mengingat banyak kemudaratannya. Sehubungan dengan masalah ini Allah s.w.t. berfirman:

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَ لكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ وَ خَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَ كَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Muḥammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasūlullāh dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 40)

Sejak saat itu, nama Zaid yang tadinya Zaid bin Muḥammad diganti menjadi Zaid bin Ḥāritsah. Pergantian nama ini disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’ān sehingga namanya dibaca sepanjang masa.

Ada ahli sejarah dan orang-orang yang memiliki tujuan rendah mengatakan yang semestinya tidak diucapkan kecuali oleh orang yang sudah hilang akalnya dan tidak paham hakikat perkataannya. Mereka mengatakan bahwa pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w. berkunjung ke rumah Zaid. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. secara tidak sengaja melihat istri Zaid karena pada saat itu angin bertiup cukup kencang sehingga menyibakkan kain penutup wajahnya. Sejak saat itu, Rasūlullāh s.a.w. jatuh hati dan beliau mengucapkan subḥānallāh (Maha Suci Allah). Ketika suami Zainab datang, ia menceritakan tersebut kepadanya. Lalu Zaid merasa berkewajiban untuk menalaknya. Untuk itu, ia berangkat ke rumah Rasūlullāh s.a.w. dan mengutarakan tekadnya untuk menalak istrinya. Namun, Rasūlullāh s.a.w. mencegahnya, dan seterusnya.

Kisah tersebut jelas dusta karena sesungguhnya wanita ‘Arab pada saat itu masih belum mengenal adanya kain penutup wajah, lagi pula Zainab adalah anak bibi Rasūlullāh s.a.w. sendiri. Selain itu, ia sudah sejak lama masuk Islām ketika masih di Makkah. Maka mana mungkin Rasūlullāh s.a.w. belum pernah melihatnya sebelum itu, sedangkan masa keislamannya telah berlangsung selama sepuluh tahun, lagi pula Zainab adalah anak perempuan bibinya sendiri. Apakah mungkin jika dikatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. baru melihatnya tatkala angin menyibak penutup wajahnya secara kebetulan? Bukankah Rasūlullāh s.a.w. sendiri yang menikahkannya dengan Zaid? Seandainya Rasūlullāh s.a.w. mempunyai minat terhadap diri Zainab, niscaya Beliau sendirilah yang akan menikahinya. Dan untuk itu kami kira tidak ada yang dapat mencegahnya.

Siapakah di antara kita yang terlintas di dalam pikirannya bahwa pemimpin yang mulia ini, yang telah mengatakan kepada kaumnya bahwa dirinya diutus dari Rabb-nya, dan membacakan kepada mereka setiap pagi dan sore perintah Allah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firman-Nya: “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada keni‘matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka.” (QS. al-Ḥijr [15]: 88), juga dalam surat lain Allah s.w.t. berfirman: “Dan janganlah kalian tujukan kedua mata kalian kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia.” (QS. Thāhā [20]: 131), kemudian ia memasuki rumah seorang lelaki dari pengikutnya, dan melihat istrinya secara kebetulan, lalu jatuh hati kepadanya?

Sesungguhnya, hal ini merupakan perkara besar dan dapat dirasakan oleh hati kita sendiri. Sekalipun perkara seperti itu dilakukan oleh orang yang paling rendah derajatnya, tetap saja itu menjadi aib baginya. Lantas, bagaimana hal itu dituduhkan kepada orang yang para ahli sejarah sepakat bahwa ia adalah manusia dengan akhlāq paling baik, paling jauh dari perbuatan-perbuatan tak terpuji, orang yang paling tajam akal dan firasatnya, sehingga Allah s.w.t. memujinya dengan firman-Nya di dalam surah al-Qalam:

وَ إِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4)

Tidak diragukan lagi bahwa kisah tersebut lebih mirip dengan dongeng yang sengaja dibuat-buat oleh musuh agama guna meraih tujuannya. Namun, Alḥamdulillāh, hal tersebut telah diselesaikan oleh dalil naqlī dan dalil aqlī sehingga lenyaplah segala kekaburan dan tampaklah bahwa hakikat yang sebenarnya adalah seperti apa yang telah kami nukilkan tadi. Yaitu faedah yang diambil dari firman Allah dalam Sūrat-ul-Aḥzāb:

Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah, dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Pertahankanlah terus istrimu dan bertaqwālah kepada Allah.’ Sementara kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan Allah, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 37)

Perihal yang akan dinyatakan oleh Allah s.w.t. ialah pernikahan Nabi s.a.w. dengan Zainab, dan Allah tidak menyatakan selain itu. Inilah al-Qur’ān sebagai saksi yang paling agung.

Ḥijāb

Pada tahun ini juga, turun ayat mengenai ḥijāb, dan ini khusus bagi istri-istri Rasūlullāh s.a.w.

Sebelum turunnya ayat hijab ini, shahabat ‘Umar bin Khaththāb selalu berharap agar al-Qur’ān menurunkan penjelasan mengenai hal ini, dan sering sekali ia menyebut-nyebutnya. Ia selalu berkata kepada mereka (istri-istri Nabi s.a.w.), “Andaikata kalian bersikap hati-hati terhadap diri kalian sendiri, niscaya turunlah firman-Nya:

…..وَ إِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَ قُلُوْبِهِنَّ…..

Dan apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan bagi hati mereka.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 53)

Ada sebagian dari para shahabat yang berkata: “Apakah kami dilarang berbicara dengan anak-anak perempuan paman kami sendiri, kecuali dari balik ḥijāb? Seandainya Muḥammad mati, niscaya kami akan mengawini ‘Ā’isyah.” Lalu turunlah ayat:

وَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللهِ وَ لَا أَنْ تَنْكِحُوْا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمًا

Dan tidak boleh kalian menyakiti (hati) Rasūlullāh dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 53)

Selain istri-istri Nabi, kaum Mu’mināt pun diperintahkan untuk menundukkan pandangan mata dan memelihara kehormatan serta diperintahkan pula supaya jangan memperlihatkan perhiasan-perhiasan mereka kepada lelaki lain yang bukan mahram selain yang biasa tampak, seperti cincin pada jari, cat kuku pada ujung jari, dan celak pada mata. Adapun perhiasan yang tersembunyi maka sama sekali tidak boleh diperlihatkan, seperti gelang tangan, gelang lengan, gelang kaki, kalung leher, konde kepala, liontin pada dada, dan anting-anting pada telinga. Yang dimaksud dengan perhiasan yang tampak dan yang tersembunyi adalah tempatnya, atau dengan kata lain yang diharamkan itu menampakkan anggota tubuh tempat perhiasan tersebut.

Kaum wanita diperintahkan pula untuk menutupi dada mereka dengan kerudung supaya dada mereka tidak tampak atau terbuka. Sesungguhnya pakaian kaum wanita pada saat itu terbuka sehingga bagian leher, dada dan sekitarnya tampak. Mereka selalu memakai kerudung hanya dengan menyampirkannya dari arah belakang. Kemudian mereka dilarang pula memukul-mukulkan kaki dengan maksud supaya diketahui bahwa mereka memiliki gelang kaki. Larangan memperdengarkan bunyi perhiasan dinyatakan sesudah larangan menampakkan perhiasan untuk menunjukkan bahwa menampakkan anggota tempat perhiasan itu lebih dilarang lagi. Sehubungan dengan hal ini, Allah s.w.t. berfirman:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. an-Nūr [24]: 31)

Cara berpakaian kaum wanita pada permulaan zaman Islām sama dengan pada zaman jahiliah, yaitu pakaian mereka sederhana sehingga bagian atas dan lengan mereka kelihatan, tidak ada bedanya antara wanita yang merdeka dan hamba sahaya. Para pemuda yang suka iseng sering mengganggu gadis-gadis bilamana pergi pada malam hari untuk keperluan mereka di kebun kurma atau di tempat buang air besar. Terkadang, mereka berani mengganggu wanita merdeka dengan alasan mengira dia hamba sahaya. Akhirnya, mereka diperintahkan supaya berpakaian berbeda dengan hamba sahaya. Untuk itu, mereka diperintahkan supaya menutupi bagian atas tubuh mereka berikut wajah dan lengannya supaya tidak ada orang yang berani mengganggunya lagi. Sehubungan dengan hal itu, Allah s.w.t. berfirman:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Maksudnya supaya mereka lebih mudah dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 59)

Adapun ḥijāb bagi kaum wanita terhadap orang-orang yang hendak melamarnya belum pernah dilakukan pada zaman Rasūlullāh s.a.w., demikian pula pada zaman ‘ulamā’ salaf yang shāliḥ. Dengan kata lain, hal tersebut (berḥijāb) tidak diperintahkan. Hal ini sengaja digalakkan oleh syarī‘at yang bijaksana supaya pihak calon suami mengetahui benar-benar calon istrinya sehingga persesuaian dan keserasian dapat terselenggara di antara kedua calon mempelai dalam hal-hal yang telah disepakati oleh para imam. Sehubungan dengan masalah ini, Ḥujjat-ul-Islām, Imām al-Ghazālī, di dalam kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn mengatakan bahwa syarī‘at menganjurkan agar memperhatikan hal-hal yang menyebabkan keharmonisan. Oleh sebab itu, disunnahkanlah melihat calon istri. Selanjutnya, Imām al-Ghazālī mengatakan: “Apabila Allah telah menggerakkan hati seseorang di antara mereka terhadap seorang wanita maka hendaklah ia melihat kepadanya. Sesungguhnya hal itu akan lebih membuat harmonis keduanya.” Maksudnya, melihat calon istri (ketika khitbah/pinangan) itu lebih dapat menyatukan hati kedua pihak, daripada persentuhan antara al-adamah dan al-adamah (ya‘ni kulit bagian dalam). Sementara al-basyarah adalah kulit bagian luar. Hal ini (melihat calon istri), disebutkan untuk mubālaghah (menyangatkan) dalam menciptakan keharmonisan. Sehubungan dengan hal ini, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Sesungguhnya pada mata (kaum wanita) Anshār itu terdapat sesuatu maka apabila seseorang di antara kalian hendak mengawini seseorang wanita dari kalangan mereka, hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu.” (952)

Menurut suatu riwayat, mata kaum wanita Anshār itu banyak yang terkena penyakit rabun. Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa mata mereka sipit.

Perlu diketahui, sebagian orang-orang shāliḥ tidak menikahkan seorang lelaki baik-baik kecuali setelah melihat (calonnya) untuk mencegah dari ghurūr (tertipu). Sehubungan dengan hal ini, al-A‘masy mengatakan: “Setiap perkawinan yang terjadi tanpa saling mengenal terlebih dahulu maka kesudahannya adalah kesusahan, kesedihan, dan penyesalan.”

Kerusakan zaman (ya‘ni manusianya) dan menjauh dari pendidikan agama yang dapat mendorong pada kemuliaan akhlāq sudah kita rasakan pada kaum Muslimīn secara umum pada masa-masa awal Islām. Oleh sebab itu, perintah supaya kaum wanita memakai ḥijāb adalah untuk mencegah kerusakan dan terjadinya fitnah.

Diwajibkan Ibadah Haji

Tahun ini (tahun kelima hijriah) – menurut pendapat mayoritas ahli tarikh – Allah s.w.t. mewajibkan ibadah haji ke Baitullāh kepada umat Islām bagi yang mampu, supaya kaum Muslimīn dari segala penjuru dunia bisa berkumpul, lalu menghadap kepada Allah dan berdoa sepenuh hati agar Dia berkenan menguatkan kaum Muslimīn dengan pertolongan-Nya dan menolong mereka untuk dapat mengikuti agama-Nya yang lurus.

Ibadah haji dapat memperkuat ikatan dan persatuan kaum Muslimīn, yang di dalamnya terdapat faedah yang sangat besar bagi kaum Muslimīn.

Catatan:

  1. 94). HR. al-Bukhārī (4787, 7420)
  2. 95). HR. Muslim, dalam kitab an-Nikāḥ (1424), dan Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal, lafal hadits ini miliknya.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.