Pernikahan dan Kehidupan Beliau s.a.w. Sebelum Bi’tsah – Nurul Yaqin (2/2)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Ketika sudah tumbuh menjadi seorang pemuda, Muḥammad s.a.w. mulai berdagang. Ia ditemani oleh as-Sā’ib. Ia pernah membawa dagangan milik Khadījah r.a. ke negeri Syām dengan upah yang diambil dari keuntungannya. Setelah Khadījah r.a. menyatakan kesediaan untuk menikah dengannya, sedangkan ia adalah saudagar kaya, lalu Muḥammad s.a.w. bekerja mengembangkan hartanya. Beliau selalu memakan dari hasil keringatnya sendiri. Allah s.w.t. pun menyebut hal ini sebagai anugerah dari-Nya. Dia berfirman dalam Sūrat-udh-Dhuḥā [93]: 6-8:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Allah telah memberinya perlindungan dan membuatnya berkecukupan sebelum masa kenabiannya. Lalu Allah memberinya petunjuk al-Kitāb, iman, dan agama Nabi Ibrāhīm a.s., padahal sebelumnya ia tidak mengetahui tentang hal-hal tersebut. Allah s.w.t. berfirman dalam Sūrat-usy-Syūrā [42]: 52:

وَ كَذلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتَابُ وَ لاَ الْإِيْمَانُ وَ لكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهِ مَنْ نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَ إِنَّكَ لَتَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Dan demikian Kami wahyukan kepadamu waḥyu (al-Qur’ān) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitāb (al-Qur’ān) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’ān itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Perilaku Muḥammad s.a.w. di Tengah Kaumnya sebelum Diutus

Beliau s.a.w. adalah orang yang paling baik di antara kaumnya dalam hal akhlāq, paling jujur perkataannya, paling dipercaya, dan paling jauh dari perbuatan keji dan perilaku yang memperburuk wibawa seorang lelaki. Beliau bahkan juga orang yang paling baik dalam bertetangga, paling mudah memaafkan, paling jujur dalam berbicara sehingga kaumnya menjulukinya dengan al-Amīn. Allah s.w.t. menganugerahkan kepada Beliau hal-hal yang baik dan terpuji, serta watak-watak terpuji seperti penyantun, penyabar, bersyukur, adil, rendah hati, menjaga kehormatan, dermawan, pemberani, juga pemalu, sampai hal itu diakui oleh musuh besarnya sendiri, yaitu an-Nadhr bin al-Ḥārits dari Bani ‘Abd-ud-Dār.

An-Nadhr pernah mengatakan kepada kaumnya: “Dahulu ketika Muḥammad masih remaja, kalian telah rela dengan keputusannya, dan dia adalah orang yang paling dipercaya di antara kalian. Ketika dewasa ia datang membawa berita kepada kalian, tetapi kalian menjulukinya sebagai tukang sihir. Tidak, demi Allah, dia bukan seorang tukang sihir.”

An-Nadhr mengatakan hal ini dalam sanggahannya terhadap apa yang dikatakan oleh orang ‘Arab mengenai Nabi s.a.w. yang pada waktu itu sedang dikatakan oleh orang ‘Arab mengenai Nabi s.a.w. yang pada waktu itu sedang musim haji sehingga mereka pun mengakui apa yang dikatakannya.

Ketika kaisar Romawi, Heraklius, bertanya kepada Abū Sufyān: “Apakah kalian menuduhnya pernah melakukan kedustaan sebelum ia (Rasūlullāh s.a.w.) mengatakan apa yang telah dikatakannya itu?” Abū Sufyān menjawab: “Tidak.” Lalu Kaisar Heraklius berkata: “Sungguh, bila ia tidak membiarkan dirinya untuk berbuat dusta kepada manusia, pasti ia lebih tidak membiarkan dirinya untuk berbuat dusta kepada Allah.” Demikianlah menurut hadits yang diwirayatkan oleh Imām al-Bukhārī di bagian awal kitab Shaḥīḥ-nya.

Allah s.w.t. telah memelihara Beliau sejak masih kecil dari semua perbuatan jahiliyah yang bertentangan dengan syarī‘at (31) yang dibawanya kemudian. Selaian itu, Beliau sangat membenci berhala sehingga tidak pernah menghadiri pesta atau perayaan yang biasa diselenggarakan oleh para penyembahnya. Beliau s.a.w. pernah bercerita: “Ketika masih kecil, aku mulai membenci berhala-berhala. Aku juga benci dengan nyanyian (yang biasa didendangkan oleh orang-orang jahiliah), dan aku belum pernah mempunyai maksud untuk melakukan suatu perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah kecuali hanya dua kali, tetapi sebelum kedua hal itu terjadi, Allah menghalangi diriku melakukan perbuatan tersebut. Kemudian setelah peristiwa itu aku sama sekali tidak mempunyai maksud lagi untuk melakukan perbuatan jelek sehingga Allah memuliakan diriku dengan risalah-Nya.
Pada suatu malam aku berkata kepada seorang teman yang sama-sama menggembalakan ternak denganku: “Tolong perhatikan domba gembalaanku ini dan jaga mereka, aku ingin memasuki kota Makkah dan ikut menonton pertunjukan sebagaimana layaknya pemuda-pemuda lainnya”. Lalu aku keluar dari daerah penggembalaan tersebut sehingga aku sampai di sebuah rumah yang terletak paling pinggir di kota Makkah. Ketika itu aku mulai mendengar suara musik rebana dan seruling untuk pesta perkawinan salah seorang dari mereka. Kemudian di tempat itu aku duduk beristirahat sambil mendengarkan suara musik tersebut, tapi tiba-tiba Allah mendatangkan rasa kantuk yang sangat hingga aku tertidur pulas, dan baru keesokannya harinya aku terbangun setelah merasakan sengatan matahari pagi. Aku tidak sempat menyaksikan pertunjukan tersebut sama sekali. Hal serupa pernah pula menimpa diriku pada kesempatan lain.”

Rasūlullāh s.a.w. tidak makan daging sembelihan yang disembelih untuk nushub (32). Beliau juga mengharamkan khamar bagi dirinya, padahal minuman khamar telah membudaya di kalangan kaumnya. Semuanya itu merupakan sifat-sifat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada para nabi-nya, supaya mereka memiliki kesiapan yang matang untuk menerima waḥyu dari-Nya. Para nabi adalah orang-orang yang maksum (terpelihara) dari perbuatan-perbuatan kotor dan buruk, baik sebelum mereka diangkat menjadi nabi ataupun sesudahnya. Sebelum masa kenabian, hal tersebut dimaksudkan agar mereka menjadi teladan yang paling utama bagi umatnya. Semoga Allah s.w.t. melimpahkan shalawat dan salam-Nya yang paling utama dan paling sempurna kepada mereka. (33)

Kemuliaan yang Allah Anugerahkan kepada Muḥammad s.a.w. sebelum Diangkat Menjadi Nabi

Anugerah pertama yang dikaruniakan Allah s.w.t. ialah keberkahan-keberkahan yang dilimpahkan kepada keluarga Ḥalīmah, tempat Muḥammad s.a.w. disusukan. Sebelum Beliau s.a.w. tinggal di tengah keluarga mereka, daerah tempat mereka itu tandus dan kering. Namun, setelah kedatangan Muḥammad s.a.w. di tengah mereka, maka kawanan kambing mereka kembali dari tempat penggembalaan dan puting-putingnya penuh mengalirkan susu. Semoga Allah merahmati al-Bushairī yang mengatakan dalam qashīdah Hamziyyah-nya:

Bilamana Tuhan menundukkan orang-orang kepada orang yang berbahagia sesungguhnya mereka orang-orang yang berbahagia

Kemudian setelah semua itu, disusul peristiwa pembelahan dada Beliau s.a.w. guna mengeluarkan bagian syaithān dari dalam dadanya. Hal ini bukan perkara yang aneh bila dikaitkan dengan kekuasaan Allah s.w.t. Barang siapa yang menganggap mustahil hal tersebut berarti pandangan akalnya sangat pendek, dan tidak mengetahui tentang kekuasaan Allah s.w.t. sama sekali. Pada hakikatnya, peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam yang timbul dari diri para nabi bukanlah perkara yang baru atau aneh.

Di antara mukjizat ilāhī yang Allah anugerahkan kepada Muḥammad s.a.w. ialah ditundukkannya awan untuk Muḥammad s.a.w. ketika mengadakan perjalanan niaga ke Syām. Awan tersebut menaungi Beliau (dari terik matahari) pada musim panas, tapi tidak ada seorang pun dalam kafilah itu yang ikut ternaungi bersama Beliau. Hal ini seperti yang diceritakan Maisarah, pembantu Khadījah, yang menemaninya dalam perjalanan tersebut. Peristiwa inilah yang membuat Khadījah menyukai Beliau lalu melamarnya untuk dirinya. Khadījah r.a. Yakin bahwa Muḥammad s.a.w. akan memiliki perkara yang agung di masa mendatang. Oleh karena itu, ketika kenabian turun kepada Beliau maka Khadījah adalah orang yang paling cepat beriman kepadanya, tanpa melihat pertanda lainnya di samping apa yang telah ia ketahui seperti kemuliaan akhlāq dan peristiwa-peristiwa luar biasa yang pernah ia dengar.

Di antara anugerah-anugerah yang Allah berikan kepada Rasūlullāh s.a.w. ialah ucapan yang dapat Beliau dengar dari bebatuan dan pepohonan. Biasanya, apabila hendak buang hajat, Beliau akan pergi menjauh sampai tidak melihat bangunan dan bersembunyi di semak di tengah lembah. Pada saat itu tidak ada batu dan pohon pun yang Beliau lewati kecuali mengucapkan “Ash-Shalātu was-salāmu ‘alaika yā Rasūlallāh (semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepadamu, wahai Rasūlullāh).” Ketika menengok ke kanan dan ke kiri serta ke belakang, Beliau tidak melihat siapa-siapa. Hal ini telah Beliau ceritakan sendiri. Dalam hal ini tidak ada masalah karena Allah memang telah menundukkan benda-benda mati untuk para nabi sebelumnya. Misalnya, tongkat Nabi Mūsā dapat menelan apa yang dibuat oleh tukang sihir Fir‘aun setelah tongkat tersebut berubah menjadi ular besar. Setelah itu, ular besar tersebut kembali menjadi tongkat seperti semula. Kemudiaan tatkala Nabi Mūsā memukulkan tongkat tersebut ke sebuah batu besar maka memancarlah dari batu tersebut dua belas mata air sehingga setiap kabilah Bani Isrā’īl mendapat bagian satu mata air untuk minum mereka. Demikian pula terhadap para nabi lainnya, Allah telah menundukkan bagi mereka berbagai macam benda mati sesuai dengan kehendak-Nya. Hal itu untuk menunjukkan besarnya kedudukan mereka dan pentingnya fungsi mereka kepada orang-orang yang berakal.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *