Perkawinan ‘Abdullah dengan Aminah – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص)
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
Oleh: Muhammad Husain Haekal

 
Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

Perkawinan ‘Abdullāh dengan Āminah

 

Usia ‘Abd-ul-Muththalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Makkah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur ‘Abdullāh anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan ‘Abd-ul-Muththalib jatuh kepada Āminah bint Wahb bin ‘Abdu Manāf bin Zuhrah, – pemimpin suku Zuhrah ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhrah. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar putrinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Āminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan ‘Abdullāh dengan Āminah itu, ‘Abd-ul-Muththalib juga kawin dengan Ḥālah, putri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Ḥamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

‘Abdullāh dengan Āminah tinggal selama tiga hari di rumah Āminah, sesuai dengan adat kebiasaan ‘Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga ‘Abd-ul-Muththalib. Tak seberapa lama kemudian ‘Abdullāh pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah ‘Abdullāh kawin lagi selain dengan Āminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah ‘Abdullāh adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi istrinya selain Āminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Āminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syām untuk menjadi istrinya di samping Āminah.

Dalam perjalanannya itu ‘Abdullāh tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Madīnah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Makkah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Makkah.

‘Abdullāh Wafat

Begitu berita sampai kepada ‘Abd-ul-Muththalib ia mengutus Ḥārith – anaknya yang sulung – ke Madīnah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Madīnah ia mengetahui bahwa ‘Abdullāh sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Makkah. Kembalilah Ḥārith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati ‘Abd-ul-Muththalib, menimpa hati Āminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga ‘Abd-ul-Muththalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat ‘Arab sebelum itu.

Peninggalan ‘Abdullāh sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur ‘Abdullāh yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

Muḥammad Lahir

Āminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada ‘Abd-ul-Muththalib di Ka‘bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada ‘Abdullāh anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka‘bah. Ia diberi nama Muḥammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang ‘Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa‘d (Banu Sa‘d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan ‘Arab di Makkah.

Mengenai tahun ketika Muḥammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn ‘Abbās mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabī‘-ul-Awwal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muḥarram, yang lain berpendapat dalam bulan Shafar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadhān.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabī‘-ul-Awwal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabī‘-ul-Awwal. Ini adalah pendapat Ibn Isḥāq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Makkah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muḥammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Makkah di rumah kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu ‘Abd-ul-Muththalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muḥammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji (11) bagi Tuhan di langit dan bagi makhluq-Nya di bumi,” jawab ‘Abd-ul-Muththalib.

Disusukan Oleh Keluarga Sa‘d

Āminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa‘d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan ‘Arab di Makkah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Makkah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa‘d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Āminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaibah, budak perempuan pamannya, Abū Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Ḥamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.

Sekalipun Thuwaibah hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Madīnah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa‘d yang akan menyusukan itu ke Makkah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muḥammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

Akan tetapi Ḥalīmah bint Abī-Dhua‘ib yang pada mulanya menolak Muḥammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah. Ḥalīmah berkata kepada Ḥārith bin ‘Abd-ul-‘Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”

“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”

Ḥalīmah kemudian mengambil Muḥammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muḥammad tinggal di sahara, disusukan oleh Ḥalīmah dan diasuh oleh Syaima’, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Ḥalīmah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Ḥalīmah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Makkah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Catatan:

  1. [1] Muḥammad atau Maḥmūd artinya yang terpuji (A).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *