Perihal Tayammum – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 012 Perihal Tayammum - Kifayat-ul-Akhyar

[Fasal]

Perihal Tayammum

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَضْلٌ: وَ شَرَائِطُ التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: وُجُوْدُ الْعُذْرِ بِسَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ.)

[Syarat-syarat tayammum ada lima. Adanya udzur sebab bepergian atau sakit].

Artinya tayammum menurut lughat ialah kehendak atau maksud. Dikatakan: Yammamaka fulānun bil-khairi, artinya Fulan bermaksud baik terhadapmu. Tayammum menurut istilah syara‘ ialah merupakan istilah untuk menyatakan suatu pekerjaan mendatangkan debu pada wajah (muka) dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu.

Dalil diperbolehkannya tayammum ialah al-Qur’ān dan Hadits. Nanti di belakang akan saya kemukakan di tempatnya masing-masing.

Kemudian, patokan atau dasar bagi diperbolehkannya bertayammum ialah apabila tidak dapat menggunakan air. Mungkin karena ada halangan menggunakan air atau karena kesulitan air atau karena adanya bahaya yang nyata apabila menggunakan air.

Tidak dapat menggunakan air itu disebabkan adanya beberapa sebab. Di antaranya ialah sebab bepergian dan sakit. Yang menjadi dalil wenangnya tayammum ialah firman Allah di dalam al-Qur’ān::

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci.” (al-Mā’idah: 6)

Ibnu ‘Abbās berkata: Makna ayat ini, jika kamu sakit, bertayammumlah, dan jika kamu bepergian kemudian tidak menemukan air, bertayammumlah!

Kemudian, keadaan air bagi orang yang bepergian itu ada empat keadaan:

Pertama, orangnya berkeyakinan tidak ada air di sekitar tempatnya. Misalnya dia sedang berada di suatu perkampungan berpasir. Orang seperti ini menurut qaul yang rājiḥ boleh bertayammum dan tidak perlu mencari air. Sebab dalam keadaan yang demikian, tidak ada gunanya dia mencari air.

Keadaan yang kedua, orangnya optimis (berpengharapan) adanya air di sekitar tempat itu. Baik harapannya itu dekat dengan kenyataan ataupun jauh dari kenyataan. Orang yang demikian harus mencari air tanpa khilāf. Sebab tayammum itu bersuci yang dharurat. Sedangkan dharurat tidak mungkin terjadi bila kemungkinan untuk bersuci dengan air masih ada.

Keadaan yang ketiga, orang itu yakin bahwa di sekitarnya ada air. Keadaan seperti ini mempunyai tiga tingkatan:

  1. Airnya berada pada jarak, yang mana orang-orang yang berhenti untuk istirahat biasanya menyebar ke tempat air itu untuk mencari kayu-kayuan dan rumput, dan untuk menggembalakan hewannya. Orang yang dalam keadaan demikian wajib berjalan menuju ke tempat air itu dan tidak diperbolehkan bertayammum.

Muḥammad bin Yaḥyā berkata: Mungkin saja, ukuran jarak ini mendekati setengah farsakh. Jarak ini ditafsirkan di atas jarak ketika ada orang berprasangka adanya air.

  1. Airnya berada di suatu tempat yang jauh, sekira kalau salah seorang berjalan menuju ke sana, akan kehabisan waktu shalat. Orang yang demikian boleh bertayammum menurut madzhab yang kuat, sebab dianggap tidak menemukan air pada saat itu. Andaikata dihukumkan wajib menunggu air dan membiarkan waktunya habis, tentu malah tidak boleh bertayammum sama sekali. Lain halnya kalau air itu berada di sekitar tempat itu dan orangnya khawatir tertinggal waktu jika berwudhu’ dengan air itu. Maka dalam hal ini orang tersebut tidak boleh bertayammum menurut madzhab yang kuat, sebab tidak dianggap “tidak menemukan air” pada saat itu.

Kemudian, jarak tersebut di atas harus dihitung dengan memperkirakan waktu shalat yang telah datang secara keseluruhan. Sehingga, walaupun diperkirakan setibanya ia di tempat berhentinya itu waktu shalat sudah akhir, tetap dia wajib menuju ke tempat air itu dan berwudhu’, meskipun nantinya kehabisan waktu. Atau dihitung dengan berdasarkan pada waktu mencari tanpa memandang awal waktu shalat.

Yang rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī ialah qaul yang pertama, yaitu perhitungannya dengan keseluruhan waktu shalat fardhu. Imām Nawawī men-tarjīḥ-kan qaul yang kedua, yaitu menghitungnya dengan waktu mencari.

  1. Air tersebut berada di antara kedua tingkatan tersebut di atas. Misalnya air itu berada pada jarak yang melebihi jarak yang menurut kebiasaannya, para kafilah yang berhenti di situ pada menyebar untuk mencari rumput atau kayu, dan seumpama seseorang menuju ke tempat air itu, belum ketinggalan waktunya. Dalam masalah ini terdapat khilaf yang banyak di kalangan para Ulama. Menurut madzhab yang kuat, boleh bertayammum. Sebab orang tersebut tidak menemukan air, dan kalaupun harus menuju ke tempat air itu, sangat payah sekali.
  2. Airnya ada, tetapi banyak orang yang berdesakan. Misalnya air itu berada dalam sumur yang tidak dapat diambil kecuali dengan menggunakan alat (timba dan sebagainya). Sedangkan di situ tidak ada alat kecuali hanya satu. Dalam keadaan begini para Ulama berbeda pendapat. Menurut qaul yang rajīḥ, orang tersebut boleh bertayammum. Karena ada kelemahan yang dapat dilihat dengan mata. Dan lagi, orang shalat dengan menggunakan tayammum dalam keadaan yang begini ini tidak wajib mengulangi shalatnya menurut madzhab yang kuat. Wallāhu a‘lam.

Sakit yang boleh dianggap udzur itu ada tiga macam:

  1. Seandainya dia berwudhu’ dalam keadaan sakit seperti itu, khawatir akan kehilangan nyawanya atau anggota tubuhnya atau kehilangan manfaat dari bagian anggota tubuhnya. Boleh disamakan dengan hal tersebut, yaitu manakala ia mempunyai penyakit yang tidak mengkhawatirkan. Hanya saja dia takut menggunakan air yang boleh membahayakan penyakitnya. Orang semacam ini juga diperbolehkan bertayammum menurut madzhab yang kuat.
  2. Khawatir sakitnya akan bertambah, meskipun tidak mempengaruhi masa sembuhnya. Atau khawatir lambat sembuhnya, meskipun sakitnya tidak bertambah. Atau khawatir sakitnya semakin parah, yaitu sakit yang terus-menerus hingga membuat badannya kurus. Atau khawatir akan menimbulkan cacat yang buruk, seperti kulit badan menjadi hitam, seperti anggota bagian wajah dan lain-lain yang kelihatan waktu jadi pelayan (bekerja).

Dalam semua masalah ini ada khilāf yang banyak di kalangan para Ulama. Qaul yang rājiḥ, membolehkan tayammum. Yang dibuat alasan untuk cacat yang buruk, yaitu dapat membuat kelainan pada bentuk anggota badan dan cacatnya (membekas) seumur hidup. Jadi sama dengan kerusakan pada anggota badan.

  1. Orangnya khawatir mendapat cacat sedikit, seperti ada bekas bintik-bintik atau ada sedikit warna hitam, atau khawatir mendapat cacat yang buruk pada selain anggota yang kelihatan (ketika bekerja); atau orang itu mempunyai penyakit yang dia sendiri tidak takut akan mendapatkan sesuatu yang dikhawatirkan di belakang hari jika menggunakan air, walaupun ketika itu ia merasa kesakitan, seperti ada lukanya atau kedinginan atau kepanasan. Tidak boleh bertayammum karena sakit-sakit yang semacam ini tanpa ada khilāf. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *