KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini
Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN
[Fasal]
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(فَضْلٌ: وَ شَرَائِطُ التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: وُجُوْدُ الْعُذْرِ بِسَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ.)
[Syarat-syarat tayammum ada lima. Adanya udzur sebab bepergian atau sakit].
Artinya tayammum menurut lughat ialah kehendak atau maksud. Dikatakan: Yammamaka fulānun bil-khairi, artinya Fulan bermaksud baik terhadapmu. Tayammum menurut istilah syara‘ ialah merupakan istilah untuk menyatakan suatu pekerjaan mendatangkan debu pada wajah (muka) dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu.
Dalil diperbolehkannya tayammum ialah al-Qur’ān dan Hadits. Nanti di belakang akan saya kemukakan di tempatnya masing-masing.
Kemudian, patokan atau dasar bagi diperbolehkannya bertayammum ialah apabila tidak dapat menggunakan air. Mungkin karena ada halangan menggunakan air atau karena kesulitan air atau karena adanya bahaya yang nyata apabila menggunakan air.
Tidak dapat menggunakan air itu disebabkan adanya beberapa sebab. Di antaranya ialah sebab bepergian dan sakit. Yang menjadi dalil wenangnya tayammum ialah firman Allah di dalam al-Qur’ān::
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci.” (al-Mā’idah: 6)
Ibnu ‘Abbās berkata: Makna ayat ini, jika kamu sakit, bertayammumlah, dan jika kamu bepergian kemudian tidak menemukan air, bertayammumlah!
Kemudian, keadaan air bagi orang yang bepergian itu ada empat keadaan:
Pertama, orangnya berkeyakinan tidak ada air di sekitar tempatnya. Misalnya dia sedang berada di suatu perkampungan berpasir. Orang seperti ini menurut qaul yang rājiḥ boleh bertayammum dan tidak perlu mencari air. Sebab dalam keadaan yang demikian, tidak ada gunanya dia mencari air.
Keadaan yang kedua, orangnya optimis (berpengharapan) adanya air di sekitar tempat itu. Baik harapannya itu dekat dengan kenyataan ataupun jauh dari kenyataan. Orang yang demikian harus mencari air tanpa khilāf. Sebab tayammum itu bersuci yang dharurat. Sedangkan dharurat tidak mungkin terjadi bila kemungkinan untuk bersuci dengan air masih ada.
Keadaan yang ketiga, orang itu yakin bahwa di sekitarnya ada air. Keadaan seperti ini mempunyai tiga tingkatan:
Muḥammad bin Yaḥyā berkata: Mungkin saja, ukuran jarak ini mendekati setengah farsakh. Jarak ini ditafsirkan di atas jarak ketika ada orang berprasangka adanya air.
Kemudian, jarak tersebut di atas harus dihitung dengan memperkirakan waktu shalat yang telah datang secara keseluruhan. Sehingga, walaupun diperkirakan setibanya ia di tempat berhentinya itu waktu shalat sudah akhir, tetap dia wajib menuju ke tempat air itu dan berwudhu’, meskipun nantinya kehabisan waktu. Atau dihitung dengan berdasarkan pada waktu mencari tanpa memandang awal waktu shalat.
Yang rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī ialah qaul yang pertama, yaitu perhitungannya dengan keseluruhan waktu shalat fardhu. Imām Nawawī men-tarjīḥ-kan qaul yang kedua, yaitu menghitungnya dengan waktu mencari.
Sakit yang boleh dianggap udzur itu ada tiga macam:
Dalam semua masalah ini ada khilāf yang banyak di kalangan para Ulama. Qaul yang rājiḥ, membolehkan tayammum. Yang dibuat alasan untuk cacat yang buruk, yaitu dapat membuat kelainan pada bentuk anggota badan dan cacatnya (membekas) seumur hidup. Jadi sama dengan kerusakan pada anggota badan.