Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 013 Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum - Kifayat-ul-Akhyar

[Fasal]

Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَضْلٌ: وَ الَّذِيْ يُبْطِلُ التَّيَمُّمَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: مَا يُبْطُلُ الْوُضُوْءَ، وَ رُؤْيَةُ الْمَاءِ فِيْ غَيْرِ الصَّلَاةِ، وَ الرِّدَّةُ.)

[Perkara yang membatalkan tayammum ada tiga. Yaitu (pertama:) perkara-perkara yang dapat membatalkan wudhu’, (kedua:) melihat air pada selain waktu mengerjakan shalat, dan (ketiga:) riddah (murtad)].

Jika tayammum sudah dianggap sah karena telah memenuhi syarat-syaratnya, lalu orangnya berhadats, maka batal tayammumnya. Sebab tayammum itu bersuci yang dapat membuat wenangnya melakukan shalat, jadi ia boleh batal dengan sebab berhadats sebagaimana yang berlaku pada wudhu’.

Mengenai batalnya tayammum sebab hadats ini, tidak dibedakan antara tayammum dengan sebab ketiadaan air dan tayammum ketika ada air, seperti tayammum orang sakit. Jadi andaikata orang itu bertayammum sebab tidak ada air, lalu dia melihat air sebelum masuk waktu shalat, maka batal tayammumnya. Sebab sabda Nabi s.a.w.:

الصَّعِيْدُ الطَّيِّبُ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ، وَ لَوْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ. فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَمِسَّهُ بَشَرَتَهُ.

Tanah yang suci itu boleh dibuat bersuci oleh orang Islam, meskipun tidak pernah menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila telah menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan air itu pada kulitnya.”

At-Tirmidzī berkata: Hadits ini Hadits Ḥasan lagi Shaḥīḥ.

Lain daripada itu, air itu asalnya untuk bersuci, sedangkan tayammum merupakan penggantinya. Jadi sama dengan melihat air di tengah-tengah tayammumnya. Sebab melihat air pada pertengahan melakukan tayammum itu boleh membatalkan tayammum. Demikian kata Imām Ibnu Ri‘fah. Batalnya tayammum ini sudah menjadi ijma‘ Ulama.

Ketahuilah, bahwa menduga adanya air itu sama dengan melihat air. Misalnya ada orang melihat bayangan air waktu hari panas terik, lalu menyangkanya air; atau di dekatnya ada mendung tebal; atau datang satu rombongan dan orang itu mempunyai dugaan kuat bahwa rombongan itu membawa air. Demikian itu apabila adanya air itu tidak dibarengi dengan adanya hal-hal yang dapat mencegah orang tersebut dari menggunakan air. Jika terhadap hal-hal yang dapat mencegah orang tersebut dari menggunakan air, misalnya dia melihat air tetapi dia sendiri membutuhkan air itu untuk diminum karena dahaga seperti yang diterangkan di muka; ataupun di dekat tempat air itu ada sesuatu yang boleh mengganggu, seperti adanya binatang buas atau ada musuhnya; ataupun dia melihat air itu berada di dalam sumur tetapi sulit untuk mengambilnya waktu itu, maka dalam keadaan yang demikian ini tayammumnya tidak batal. Karena sebab-sebab tersebut di atas, tidak dapat menolak sahnya tayammum pada permulaan. Jadi lebih utama dianggap tidak membatalkan (pada pertengahan tayammum).

Apabila pada pertengahan shalat orang itu melihat air, maka dilihat dulu; jika shalatnya itu berupa shalat yang tidak wajib diqadha’, seperti shalatnya musafir, menurut zhahirnya madzhab dan telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī, tidak batal shalatnya dan tidak batal pula tayammumnya. Sebab dia termasuk orang yang bertayammum yang berada dalam keadaan shalat yang tidak wajib mengulangi. Jadi sama dengan ketika orang itu melihat air sesudah shalat. Lain daripada itu, membatalkan shalat dan tayammum berarti membatalkan ibadah yang telah dianggap cukup. Dengan mengerjakan shalat, berarti dia telah melakukan sesuatu yang diniati. Dan mendapat asal (yakni air) sesudah mengerjakan penggantinya (yakni tayammum) itu tidak boleh membatalkan hukumnya pengganti. Seperti ada orang membayar kaffārah, dia sudah melakukan puasa lalu menemukan budak (hamba), orang tersebut tidak wajib mengeluarkan kaffārah budak.

Jika shalatnya tidak dapat membebaskan kewajiban qadha’, seperti shalatnya orang yang muqim di rumah dengan tayammum, maka batal shalatnya menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab andaikata shalatnya telah sempurna sekalipun, tetap tidak dianggap sah dan dia wajib mengqadha’. Jadi tidak perlu disempurnakan dan diulangi. Ada yang mengatakan wajib menyempurnakan shalatnya dan wajib mengulangi. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *