Perihal ‘Abdullah ats-Tsamir – Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam

SIRAH NABAWIYYAH IBNU HISYĀM
(Judul Asli: As-Sīrah an-Nabawiyyah li ibni Hisyām)
Penulis: Abū Muḥammad ‘Abd-ul-Mālik bin Hisyām al-Mu‘āfirī.

Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.
Penerbit: Darul Fikr.

BAB 5

PERIHAL ‘ABDULLĀH ATS-TSĀMIR

 

Ibnu Isḥāq berkata: “Ini adalah hadits Wahb bin Munabbih tentang orang-orang Najran.”

Ibnu Isḥāq berkata: “Yazīd bin Zayyād berkata kepadaku dari Muḥammad bin Ka‘b al-Qurazhī, dan juga sebagian orang-orang Najrān berkata kepadaku tentang orang-orang Najrān, bahwa tadinya orang-orang Najrān adalah orang-orang musyrikin yang menyembah patung-patung. Di salah satu desa Najrān – Najrān adalah desa besar tempat berkumpulnya penduduk Najrān – terdapat penyihir yang mengajarkan ilmu sihir kepada remaja-remaja Najrān. Ketika Faimiyūn tiba di desa tersebut–orang-orang tidak menamakannya sesuai dengan nama yang diberikan Wahb bin Munabbih–, orang-orang desa tersebut berkata: “Seseorang telah singgah di sini.” Faimiyūn membangun kemah antara Najrān dengan desa tempat penyihir berada. Orang-orang Najrān mengirimkan anak-anak remajanya kepada penyihir tersebut guna belajar sihir. Ats-Tsāmir juga mengirimkan anak remajanya, ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir bersama anak-anak remaja yang lain kepada penyihir tersebut. Setiapkali ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir melewati penghuni kemah (Faimiyūn), ia tertarik kepada shalat dan ibadah Faimiyūn yang dilihatnya. Ia duduk dan mendengar segala ucapan Faimiyūn hingga memutuskan masuk Islam, mentauhidkan Allah, dan beribadah kepada-Nya. Ia bertanya tentang syariat-syariat Islam kepada Faimiyūn. Ketika ia memahami syariat-syariat islam, ia bertanya tentang nama terbesar. Faimiyūn mengetahuinya, namun ia sengaja merahasiakannya. Ia berkata kepada ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir: “Wahai anak saudaraku, engkau tidak akan sanggup memikulnya, dan aku khawatir nama terbesar membuatmu lemah tidak berdaya.” Ats-Tsāmir, ayah ‘Abdullāh hanya mengetahui kalau anaknya, ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir pergi kepada penyihir sebagaimana remaja-remaja lainnya. Ketika ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir mengetahui bahwa Faimiyūn tidak menjelaskan nama terbesar kepadanya, dan mengkhawatirkan dirinya tidak sanggup memikulnya, ia segera mengumpulkan kotak dadu. Semua nama-nama Allah yang ia ketahui, ia tulis di atas dadu tersebut. Usai menulisnya, ia menyalakan api di kotak dadu, kemudian ia memasukkan setiap dadu yang bertuliskan nama Allah ke dalamnya. Ketika sampai pada dadu yang bertuliskan nama Allah yang terbesar, ia melemparkannya ke dalam kotak dadu yang sedang menyala tersebut. Dadu tersebut masuk ke dalam kotak, dan keluar lagi tanpa membahayakannya sedikit pun. ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir segera mengambilnya lalu membawanya kepada Faimiyūn. Ia jelaskan kepadanya, bahwa ia telah mengetahui nama yang dirahasiakan Faimiyūn. Faimiyūn berkata kepadanya: “Apa nama terbesar tersebut?” ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir berkata: “Yaitu ini dan itu.” Faimiyūn berkata: “Bagaimana engaku bisa mengetahuinya?” ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir menjelaskan apa yang barusan ia kerjakan. Faimiyūn berkata: “Wahai anak saudaraku, engkau benar. Jagalah dirimu. Aku tidak pernah menduga engkau sanggup melakukannya.” Setelah itu, jika ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir masuk ke Najrān, dan bertemu dengan orang sakit, pasti ia berkata: “Hai hamba Allah, maukah engkau mentauhidkan Allah, dan masuk kepada agamaku, kemudian aku berdoa kepada Allah mudah-mudahan Dia menyembuhkanmu dari penyakit yang menimpamu ini?” Orang tersebut berkata: “Ya, aku mau.” Orang tersebut bersedia mentauhidkan Allah dan masuk Islam, kemudian ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir mendoakannya lalu ia sembuh dari penyakitnya. Inilah yang selalu dikerjakan ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir hingga semua orang yang sakit dikunjunginya, bersedia mengikuti tawarannya dan ia mendoakan kesembuhan untuknya. Itulah hingga akhirnya informasi tentang dirinya didengar raja Najrān yang kemudian memanggilnya. Raja Najrān berkata: “Apakah engkau mau merusak agama warga desaku, bertentangan dengan agamaku dan agama nenek moyangku? Engkau pasti aku cincang-cincang.” ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir berkata: “Engkau tidak akan sanggup melakukannya.” Raja Najrān menyuruh pengawalnya membawa ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir ke gunung yang tinggi kemudian melemparkannya dari puncak gunung tersebut. ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir pun jatuh ke tanah tanpa luka sedikit pun. Setelah itu, ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir dibawa ke laut di Najrān di mana tidak bisa selamat daripadanya jika telah dilemparkan, namun ia keluar daripadanya tanpa luka sedikit pun. ketika raja Najrān mengaku kalah, ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir berkata kepada raja Najrān tersebut: “Demi Allah, sungguh engkau tidak akan mampu membunuhku, hingga engkau mentauhidkan Allah dan beriman kepada-Nya sebagaimana aku beriman kepada-Nya. Jika engkau melakukannya, engkau mampu mengalahkanku dan membunuhku.” Kemudian raja Najrān mentauhidkan Allah ta‘ālā dengan disaksikan ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir dengan tongkatnya dan melukainya dengan luka yang tidak terlalu besar, namun membuat ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir meninggal dunia, dan pemimpin Najrān bersatu untuk memeluk agama ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir yang sesuai dengan Injīl dan hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi ‘Īsā bin Maryam. Dalam perjalanan waktu, terjadilah ajaran Trinitas pada mereka seperti yang terjadi pada orang-orang Kristen di tempat lain. Jadi dari sanalah, asal-usul agama Kristen di Najrān. Wallāhu a‘lam.”

Ibnu Isḥāq menambahkan: “Itulah hadits Muḥammad bin Ka‘b al-Qurazhī dan sebagian orang-orang Najrān tentang ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir, Wallāhu a‘lam.”

 

Dzū Nuwās Mengajak Rakyat Najrān Masuk Agama Yahudi

Kemudian Dzū Nuwās pergi ke Najrān dengan membawa pasukannya dan mengajak mereka masuk ke dalam agama Yahudi, serta menyuruh mereka memilih salah satu dari dua hal; masuk ke dalam agama Yahudi atau dibunuh? Mereka memilih lebih baik dibunuh daripada masuk ke dalam agama Yahudi. Dzū Nuwās menggali parit untuk mereka, kemudian ia membakar sebagian dari rakyat Najrān, membunuh mereka dengan pedang, dan mencincang-cincang mereka. Jumlah orang-orang Najrān yang ia bunuh kira-kira dua puluh ribu jiwa. Tentang Dzū Nuwās dan pasukannya, Allah ta‘ālā menurunkan ayat-Nya kepada Rasūl-Nya shallallāhu ‘alaihi wa sallam:

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. Yang berapi-api (dinyalakan dengan) kayu bakar. ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mu’min tersebut melainkan karena orang-orang Mu’min tersebut beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Burūj: 4-8)

Penafsiran tentang al-Ukhdūd

Ibnu Hisyām berkata: “Yang dimaksud dengan al-ukhdūd ialah lubang yang memanjang di tanah seperti parit, aliran air, dan lain sebagainya. Jamaknya ialah akhādīd.”

Dzur-Rammah yang nama aslinya ialah Ghailān bin ‘Uqbah, salah seorang dari Bani ‘Adī bin ‘Abdu Manāf bin Ud bin Thānijah bin Ilyās bin Mudhar berkata:

Dari ‘Irāq yang ditempati

Antara tanah kosong dan pohon kurma terdapat ukhdūd

Yang dimaksud dengan ukhdūd pada syair di atas ialah aliran air. Bekas sabetan pedang, dan pisau di kulit, serta bekas cambuk dinamakan ukhdūd dan jamaknya ialah akhādīd.

Ibnu Isḥāq berkata: “Di antara orang-orang yang dibunuh Dzū Nuwās ialah pemimpin dan tokoh-tokoh rakyat Najrān.”

Ibnu Isḥāq berkata kepadaku, ia diberitahu bahwa seseorang dari Najrān pada zaman pemerintahan ‘Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu menggali salah satu bekas rumah di Najrān untuk memenuhi salah satu kebutuhannya, ia mendapati ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir berada di bawahnya dalam keadaan duduk sambil meletakkan tangannya di atas bekas pukulan di kepalanya, serta memegang lukanya. Jika tangannya dilepaskan dari lukanya tersebut darah mengucur. Jika tangannya diletakkan di atasnya, darah pun berhenti. Di tangan ‘Abdullāh bin ats-Tsāmir terdapat cincin yang ada tulisannya Tuhanku adalah Allah. Kemudian orang dari Najrān tersebut menulis surat kepada ‘Umar bin Khaththāb dan menceritakan kejadian yang dilihatnya. ‘Umar bin Khaththāb berkata kepada mereka: “Biarkan ‘Abdulllāh bin Tsāmir dalam posisinya semula, dan kembalikan pemakamannya seperti semula.” Orang-orang Najrān pun mematuhi perintah ‘Umar bin Khathtāb.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *