Mengenai hukum kafir yang diberikan oleh sebagian ‘Ulamā’ tersebut terhadap orang-orang yang bertaqlīd dalam hal ‘aqīdah-‘aqīdah yang 50 itu maka artinya adalah: TIDAK SELAMAT DI AKHIRAT.
Maka tidak berarti bahwa mereka itu tidak dipergauli sebagaimana pergaulan terhadap orang-orang muslim di dunia karena tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka digauli sebagaimana pergaulan terhadap orang-orang kafir di dunia. Maka letak perbedaan pendapatnya adalah: “Apakah mereka itu mu’min atau kafir jika dinisbahkan kepada akhirat. Adapun jika dinisbatkan kepada dunia maka secara sepakat dikatakan bahwa atas mereka berlaku hukum-hukum iman sebagaimana telah dinyatakan oleh Syaikh al-Yūsī.
Dan sebagian Muḥaqqiqīn telah mengutip dari Yaḥyā ash-Shāwī bahwa perbedaan pendapat yang ada pada muqallid ini lain dengan perbedaan pendapat yang ada pada Mu‘tazilah karena perbedaan pendapat yang ada pada Mu‘tazilah adalah: apakah mereka itu kafir atau orang-orang mu’min yang durhaka jika di hubungkan dengan keadaan di dunia ya‘ni apakah berlaku atas mereka itu hukum-hukum orang kafir di dunia ini ataukah hukum-hukum orang mu’min. Adapun keadaan mereka di akhirat tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka akan kekal di dalam neraka.
Mengenai Ibn-ul-‘Arabī dan Sanūsī yang sebagaimana dikatakan oleh Mushannif mengikuti juga pendapat perihal tidak cukupnya taqlīd dan bahwa muqallid itu kafir maka ibarat Ibn-ul-‘Arabī tentang yang demikian itu adalah jelas sekali dan beliau menyatakannya sebagai berikut:
وَ لَا يَصِحُّ أَنْ يُقَالَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى يَعْلَمُ بِالتَّقْلِيْدِ كَمَا قَالَتْ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُبْتَدِعَةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ قَوْلٌ وَاحِدٌ مِنَ الْمُقَلَّدِيْنَ أَوْلَى بِالْاِتِّبَاعِ مِنْ قَوْلِ غَيْرِهِ مَعَ كَوْنِ أَقْوَالِهِمْ مُتَضَادَةً وَ مُخْتَلِفَةً….. الخ
“Dan tidak sah (shaḥḥ) bahwa dikatakan: Allah s.w.t. itu bersifat ‘Ilmu (Mengetahui) dengan jalan taqlid sebagaimana dikatakan oleh sekelompok orang dari golongan Mubtadi‘ah karena tidak ada satu perkataan pun dari orang-orang Muqallidīn yang lebih utama untuk diikuti dari perkataan selainnya beserta juga keadaan dari perkataan-perkataan mereka saling bertaqwāan.”
Adapun Sanūsī, beliau mengutarakannya dalam kitab (شَرْحِ الْكُبْرَى) dan menisbatkannya kepada Jumhur ‘Ulamā’, sampai-sampai beliau mengutip satu hikayat perihal telah Ijma‘-nya ‘Ulama’ atas pendapat tersebut. Dan Sanūsī juga mengutarakannya dalam (شَرْحِ الْصُّغْرَى) dan beliau mengutip dari ibarat Ibn-ul-‘Arabī serta beliau memandang bagus terhadap ibarat tersebut.
Mengenai Ibn-ul-‘Arabī maka dia sebenarnya adalah Imām Abū Bakar al-Faqīh, bukan Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī sang tokoh Shūfī.
Terhadap dua ‘Ulamā’ ini terkadang dibedakan penyebutan namanya.
Imām Abū Bakar al-Faqīh dikatakan dengan (ابْنُ الْعَرَبِيّ) (menggunakan alif lām) sedangkan Muḥyiddīn dikatakan dengan (اِبْنُ عَرَبِيٍّ) (tanpa menggunakan alif lām).
Perkataan Mushannif (penyusun) dengan: Akan tetapi diriwayatkan bahwa Sanūsī mencabut pendapat yang demikian itu dan beliau berkata dengan kecukupan taqlid, merupakan satu istidrāk ya‘ni menghilangkan kesamaran atas pernyataan sebelumnya bahwa Sanūsī berpegang teguh dengan pendapat tidak cukupnya taqlid itu.
Adanya riwayat sebagaimana dikatakan oleh Mushannif itu dikuatkan oleh perkataan sebagian Muḥaqqiqīn di mana Sanūsī menjelaskan dalam sebagian kitab-kitabnya perihal cukupnya taqlīd itu dan beliau membantah atas orang yang berkata dengan tiada cukupnya taqlīd. Dan dalam pembicaraan al-Yūsī disebutkan bahwa masalah Sanūsī mencabut pendapatnya itu atau tidak terdapat dua kemungkinan. Yang demikian itu adalah karena Sanūsī menasabkan tiada cukupnya taqlīd itu dalam kitab Syarḥ-ul-Kubrā dan Shughrā kepada Jumhur ‘Ulamā’ dan beliaupun menasabkan kecukupan taqlīd itu di dalam kitab Syarḥ-ul-Muqaddimah juga kepada Jumhur ‘Ulamā’. Al-Yūsī menambahkan bahwa kemungkinan yang dimaksud oleh Sanūsī dengan Jumhur ‘Ulamā’ pada yang pertama adalah Jumhur ‘Ulamā’ Mutakallimīn sedangkan pada yang kedua adalah Jumhur ‘Ulamā’ selain Mutakallimīn.
Perkataan Mushannif dengan: “Akan tetapi kami tidak pernah melihat di dalam kitab-kitabnya (Sanūsī) kecuali perkataan dengan tidak cukupnya taqlīd” adalah tidak berarti menghapus riwayat terdahulu yang juga telah dikuatkan oleh sebagian Muḥaqqiqīn karena maksudnya adalah bahwa Mushannif tidak melihat perkataan Sanūsī dengan kecukupan taqlīd di dalam kitab-kitabnya yang sempat beliau tela‘ah dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa Sanūsī menyatakan pendapatnya tersebut di dalam kitab-kitab yang tidak sempat ditela‘ah oleh beliau.