Perang Uhud – Nurul Yaqin (3/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Perang Ḥamrā’-ul-Asad

Saat kembali ke Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. tetap dalam keadaan waspada terhadap kembalinya kaum musyrikīn, yang barangkali bermaksud menyempurnakan kemenangan mereka dengan melakukan penyerangan ke Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. menyerukan kepada para shahabat supaya keluar untuk membuntuti musuh, dan yang boleh keluar hanya orang-orang yang sebelumnya bersama Beliau di Uhud. Para shahabat pun memenuhi seruan Allah dan Rasūl-Nya itu, sekalipun mereka baru saja mengalami luka-luka. Mereka membalut luka-lukanya lantas keluar, sementara panji peperangan masih terpasang dan belum dilepaskan. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memberikan panji peperangan itu kepada shahabat ‘Alī bin Abī Thālib, dan mengangkat ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm untuk memimpin di Madīnah.

Kemudian berangkatlah pasukan itu hingga sampai di Ḥamrā’-ul-Asad. (67) Ternyata, dugaan Rasūlullāh s.a.w. memang benar. Kaum musyrikīn saling mencela di antara sesama mereka karena membiarkan kaum Muslimīn, tanpa melakukan pengejaran dan penyerangan ke Madīnah untuk menyempurnakan kemenangan mereka. Setelah itu, mereka semua bertekad kembali mengadakan penyerangan. Namun, ketika ada berita yang sampai kepada mereka bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah keluar dari Madīnah membuntuti mereka, mereka menduga Rasūlullāh s.a.w. datang bersama orang-orang yang tidak hadir dalam Perang Uhud. Kemudian Allah s.w.t. menjadikan hati mereka takut menghadapi kaum Muslimīn. Akhirnya, mereka meneruskan perjalanannya ke Makkah.

Di Ḥamrā’-ul-Asad, Rasūlullāh s.a.w. berhasil menangkap Abū ‘Azzah, si penyair yang dahulu pernah ditawan dalam Perang Badar, yang kemudian dibebaskan oleh Rasūlullāh s.a.w. tanpa tebusan dengan syarat bahwa dia tidak akan lagi memerangi kaum Muslimīn. Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar ia dihukum mati.

Namun, sebelum itu Abū ‘Azzah berkata: “Hai Muḥammad! Bebaskanlah aku dan berikanlah ampunan kepadaku, untuk mengurusi anak-anak perempuanku, dan aku berjanji tidak akan lagi melakukan hal yang pernah aku kerjakan ini.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkan mulutmu yang besar itu berkoar lagi lalu mengatakan bahwa kamu telah menipu Muḥammad. Tidak, sesungguhnya orang mu’min tidak akan dipatuk dua kali dari satu liang. Hai Zubair! Penggallah kepalanya!” Kemudian Zubair melaksanakan perintah Rasūlullāh s.a.w. dan langsung memenggal kepalanya. (68)

Peristiwa ini merupakan pendidikan yang agung dari Rasūlullāh s.a.w. Sesungguhnya seorang lelaki yang tidak bertindak hati-hati terhadap suatu hal yang pernah menimpanya bukanlah termasuk orang yang berakal waras. Seorang pemimpin harus bersikap tegas demi menegakkan pilar-pilar kekuasaannya.

Beberapa Peristiwa Penting pada Tahun Ini

Pada tahun itu juga, Rasūlullāh s.a.w. menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsūm dengan shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān setelah Ruqayyah, istri pertamanya, meninggal dunia. Oleh sebab itu, shahabat ‘Utsmān sejak saat itu diberikan julukan Dzū-n-Nūraini (Pemilik Dua Cahaya). Pada tahun itu juga, Rasūlullāh s.a.w. menikah dengan Ḥafshah binti ‘Umar bin Khaththāb. Ibu Ḥafshah adalah saudara perempuan shahabat ‘Utsmān bin Mazh‘ūn. Sebelum itu, Ḥafshah menjadi istri Khunais bin Ḥudzafah as-Sahmī r.a. yang meninggal dunia akibat luka-luka yang dideritanya dalam Perang Badar.

Pada tahun itu, Rasūlullāh s.a.w. juga menikah dengan Zainab binti Khuzaimah al-Hilāliyyah dari Bani Hilāl bin ‘Āmir. Pada zaman jahiliahnya, ia terkenal dengan julukan Umm-ul-Masākīn (Ibunda kaum miskin) karena ia sangat sayang dan gemar berbuat kebajikan terhadap mereka. Sebelumnya, ia menjadi istri ‘Abdullāh bin Jaḥsy yang gugur dalam Perang Uhud. Ia adalah saudara perempuan seibu dari Maimūnah binti al-Ḥārits. Dan pada tahun itu, lahirlah al-Ḥusain bin ‘Alī r.a.

Pada tahun itu pula, khamar diharamkan. Pengharaman khamar berlangsung secara bertahap, mengingat bangsa ‘Arab pada zaman jahiliah sangat menyukainya. Sehingga sangat sulit apabila diharamkan dalam sekali waktu. Pengharaman khamar berjalan seiring dengan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan khamar harus dijauhi. Sebab, sesuatu yang mungkar bila pengharamannya dikaitkan dengan suatu peristiwa maka semua orang akan mengakui akan keburukannya, dan pengaruhnya akan lebih mendalam di dalam jiwa. Penjelasan pertama tentang pengharaman khamar terdapat dalam firman Allah s.w.t. surah al-Baqarah:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’.” (QS. al-Baqarah [2]: 219)

Manfaat yang terdapat di dalam judi ialah mendermakan keuntungan kepada orang-orang miskin seperti apa yang telah dilakukan orang-orang ‘Arab pada zaman jahiliah. Manfaat khamar ialah dapat menguatkan badan. Namun, ketika ada sebagian kaum Muslimīn yang meminumnya, kemudian ternyata bacaan al-Qur’ānnya bercampur-aduk maka shalat diharamkan bagi seorang yang sedang dalam keadaan mabuk. Untuk itu. Allah s.w.t. berfirman dalam surah an-Nisā’:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. an-Nisā’ [4]: 43)

Setelah ada sebagian dari kaum Muslimīn yang meminumnya, kemudian ia melakukan penganiayaan terhadap teman-temannya maka khamar diharamkan secara tuntas, yaitu melalui firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaithān. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithān itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Mā’idah [5]: 90-91)

Kaum Muslimīn menyambut pengharaman tersebut dengan perkataan mereka: “Sekarang kami telah berhenti (meminumnya).” Maka, kaum Muslimīn pada masa sekarang ini wajib mematuhi larangan itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *