Perang Uhud – Nurul Yaqin (2/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Sementara itu, Abū ‘Āmir ar-Rāhib telah membuat lubang-lubang dan menutupinya supaya pasukan Muslimīn terjatuh ke dalamnya. Ternyata Rasūlullāh s.a.w. jatuh terperosok ke dalam perangkap tersebut hingga pingsan dan kedua lututnya terluka. Lalu shahabat ‘Alī menarik tangannya, sedangkan shahabat Thalḥah bin ‘Ubaidillāh mengangkatnya dari dalam lubang. Shahabat ‘Alī dan shahabat Thalḥah termasuk orang yang bertahan bersama Rasūlullāh s.a.w. Baru saja Rasūlullāh s.a.w. berdiri setelah diangkat dari lubang perangkat itu, tiba-tiba Beliau dilempar dengan batu oleh ‘Utbah bin Abī Waqqāsh, sehingga menanggalkan gigi seri Beliau. Lalu ‘Utbah dikejar oleh Ḥāthib bin Abī Balta‘ah dan langsung dibunuhnya. Wajah Rasūlullāh s.a.w. terkena luka oleh sebetan pedang ‘Abdullāh bin Syihāb az-Zuhrī. Kedua pelipisnya terluka oleh pukulan Ibnu Qamī’ah; semoga Allah melaknatnya. Pukulan Ibnu Qamī’ah mengenai helm besi Rasūlullāh s.a.w. sedingga kedua bagian helm besi yang runcing itu melukai kedua pelipisnya. Kemudian datanglah shahabat Abū ‘Ubaidah untuk mencabut bagian helm besi yang runcing yang menancap pada kedua pelipis Rasūlullāh s.a.w. Pada saat itu, gigi seri Rasūlullāh s.a.w. ada yang rontok, lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Mana mungkin suatu kaum akan mendapat kebahagiaan bila mereka berani melukai wajah nabinya.”

Pada saat itu, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذَّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ

Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau meng‘adzāb mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhālim.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 128) (641)

Setelah musibah besar itu, orang pertama yang mengetahui Rasūlullāh s.a.w. masih hidup adalah Ka‘ab bin Mālik al-Anshārī. Oleh karena itu, ia berseru dengan sekencang-kencangnya: “Hai kaum Muslimīn! Bergembiralah kalian!” Namun, seruannya itu keburu dipotong oleh isyarat dari Rasūlullāh s.a.w. yang menyuruhnya diam. Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berjalan dan diapit oleh Sa‘ad bin Abī Waqqāsh dan Sa‘ad bin ‘Ubādah untuk menaiki lereng bukit, ditemani oleh beberapa orang shahabat, yaitu Abū Bakar, ‘Umar, ‘Alī, Thalḥah, az-Zubair, dan al-Ḥārits bin ash-Shamt. Namun, tiba-tiba datanglah ‘Utsmān bin ‘Abdullāh bin al-Mughīrah seraya sesumbar (brag = membual, berlagak, meraga, menyombong): “Di manakah Muḥammad? Celaka aku bila ia masih selamat.” Namun, tiba-tiba kudanya terperosok sehingga ia masuk ke dalam lubang perangkap itu. Lalu al-Ḥārits bin ash-Shamt langsung membunuhnya.

Setelah Rasūlullāh s.a.w. sampai di lereng bukit, Fāthimah mencuci darah dan luka-lukanya, sedangkan ‘Alī menuangkan air. Selanjutnya, Fāthimah mengambil secarik kain tikar, lalu ia membakarnya dan abunya diletakkan di atas luka-luka Rasūlullāh s.a.w. sehingga darah pun tidak mengalir lagi. Selesai diobati, Rasūlullāh s.a.w. hendak menaiki sebuah batu besar yang terletak di lereng bukit, tetapi tenaganya sudah tidak mampu lagi karena terlalu banyak keluar darah dari tubuhnya sehingga untuk berdiri saja tidak kuat.

Lalu shahabat Thalḥah bin ‘Ubaidillāh menggendongnya hingga sampai ke atas batu besar itu. Rasūlullāh s.a.w. melihat segolongan pasukan musyrikīn berada di kaki bukit, lalu beliau bersabda: “Jangan biarkan mereka berada di atas kita. Ya Allah, tiada kekuatan bagi kami selain hanya bersama-Mu.” Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. menyuruh shahabat ‘Umar untuk memimpin sekelompok pasukan Muslim guna mengusir pasukan musyrikīn dari kaki bukit.

Kaum Muslimīn yang pada saat itu melindungi Rasūlullāh s.a.w. banyak menderita luka karena mereka menghadang anak panah agar tidak mengenai tubuh Beliau s.a.w. Ternyata, pada tubuh shahabat Thalḥah terdapat tujuh puluh lebih luka sehingga salah satu tangannya menjadi lumpuh. Ka‘ab bin Mālik mendapat sebanyak tujuh belas luka. Adapun jumlah kaum Muslimīn yang gugur di dalam perang tersebut, diperkirakan tujuh puluh orang lebih. Enam orang dari Muhājirīn dan sisanya dari Anshār.

Di antara kaum Muhājirīn yang gugur di medan Uhud ialah shahabat Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib dan Mush‘ab bin ‘Umair. Dari kalangan shahabat Anshār di antaranya Ḥanzhalah bin Abī ‘Āmir, ‘Amr bin al-Jamūḥ dan anaknya yang bernama Khallād bin ‘Amr serta saudara laki-laki istrinya, yaitu orang tua Jābir bin ‘Abdillāh. Kemudian datanglah istri ‘Amr yaitu Hindun binti ‘Amr bin Ḥarām. Selanjutnya, ia membawa jenazah suami, anak, dan saudara lelakinya ke atas unta untuk dikebumikan di Madīnah. Namun, Rasūlullāh s.a.w. melarang mengebumikan mereka di luar daerah Uhud. Akhirnya, jenazah mereka dikembalikan ke Uhud.

Sa‘ad bin Rabī‘ juga gugur dalam peperangan ini. Rasūlullāh s.a.w. mengutus orang yang menyampaikan kabar tersebut. Utusan itu menemukan Sa‘ad bin Rabī‘ di antara orang-orang yang gugur, ketika itu ia masih bernafas lalu berkata kepadanya: “Rasūlullāh s.a.w. menanyakan keadaanmu.” Sa‘ad berkata kepada utusan itu: “Katakan kepada kaumku bahwa Sa‘ad bin Rabī‘ berpesan kepada kalian: ‘(Ingatlah) Allah, (Ingatlah) Allah, dan apa yang telah kalian bai‘atkan untuk Rasūlullāh s.a.w. pada malam ‘Aqabah. Demi Allah, kalian tidak punya ‘udzur di sisi Allah’.”

Anas bin an-Nadhr juga gugur dalam perang ini. Ia adalah paman dari shahabat Anas bin Mālik. Ketika Anas bin an-Nadhr mendengar kabar terbunuhnya Rasūlullāh s.a.w. di medan perang, ia berkata: “Hai kaum, apakah yang akan kalian perbuat bila kalian masih tetap hidup, sedangkan dia (Rasūlullāh s.a.w.) telah tiada? Matilah dalam perjuangan seperti saudara kalian.” Lalu ia terus melanjutkan berperang sampai terbunuh. (652)

Kaum musyrikīn mencincang jenazah kaum Muslimīn yang gugur dalam Perang Uhud itu. Hindun, istri Abū Sufyān bahkan membelah perut jenazah Ḥamzah lalu mengambil hatinya untuk ia makan, tetapi ia hanya mengunyah lalu meludahnya. Begitu juga orang-orang Quraisy lainnya, mereka melakukan hal yang hampir sama terhadap kawan-kawan Ḥamzah yang gugur sebagai syuhadā’.

Abū Sufyān naik ke bukit lalu berseru sekeras-kerasnya: “Sesungguhnya perang itu silih berganti; hari ini adalah pembalasan dari Perang Badar, dan kita akan bertemu lagi tahun depan di Badar.” Kemudian ia melanjutkan perkataannya: “Kalian akan menjumpai di antara orang-orang kalian yang telah mati, dalam keadaan tercincang. Namun, aku tidak memerintahkan hal tersebut. Maka, janganlah berprasangka buruk terhadap diriku.” Setelah itu, pasukan kaum musyrikīn pulang ke Makkah dan tidak mengejar ke Madīnah. Hal itu merupakan pertanda bahwa kaum Muslimīn dalam peperangan tersebut tidak mengalami kekalahan. Sebab, andai kaum Muslimīn kalah, niscaya kaum musyrikīn akan melakukan pengejaran hingga sampai ke Madīnah, lalu menyerang Madīnah.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memeriksa siapa-siapa yang gugur. Beliau sangat sedih ketika melihat keadaan pamannya, Ḥamzah. Semua syuhadā’ dimakamkan di Uhud lengkap dengan pakaian yang mereka kenakan ketika gugur. Pada saat itu, dua atau tiga orang dikuburkan menjadi satu dalam satu liang. Sebab, kaum Muslimīn terlalu lelah sehingga akan berat jika harus menggali satu lubang untuk satu jenazah syahid.

Ketika kaum Muslimīn kembali ke Madīnah, orang Yahūdī dan orang-orang munāfiq mengejek. Sekarang mereka mulai berani menampakkan kebencian terpendam di dalam hati mereka. Mereka berkata kepada teman-temannya, sebagaimana disebutkan dalam firman- Nya:

Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 156)

Musibah yang telah menimpa kaum Muslimīn dalam Perang Uhud ini menjadi pelajaran penting dan mengingatkan tentang dua perkara yang mereka tinggalkan sehingga mereka tertimpa musibah yang berat ini, yaitu:

Pertama: menaati perintah Rasūlullāh s.a.w. Beliau s.a.w. telah berpesan kepada pasukan pemanah: “Jangan pernah meninggalkan posisi kalian meskipun kita menang ataupun kalah.” Namun, mereka tidak mengindahkan perintah Beliau s.a.w. dan turun meninggalkan posisinya.

Kedua: seyogianya semua ‘amal perbuatan itu didasari karena Allah dan jangan sekali-kali waktu melaksanakannya karena melirik kepada keduniawian karena perkara duniawi itu sebagian besar menjadi penyebab timbulnya malapetaka yang besar. Dan mereka yang meninggalkan posisinya itu ternyata karena tergiur dengan perkara duniawi sehingga mereka asyik mengumpulkan ghanīmah. Hal ini berakibat mereka terkena ‘adzāb Allah.

Sehubungan dengan hal ini, Allah menurunkan firman-Nya dalam surah Āli ‘Imrān secara rinci:

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan idzin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasūl) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 152) (663)

Penyebab datangnya musibah tersebut adalah perselisihan; maka sudah seharusnya bersatu, kelemahan; maka sudah semestinya taat kepada pemimpin. Akhirnya, kita memohon kepada Allah s.w.t. agar diberikan taufīq dan bimbingan dalam segala hal.

Catatan:

  1. 64). HR. Muslim (1791).
  2. 65). Shaḥīḥ-us-Sīrat-in-Nabawiyyah, hlm. 294
  3. 66). As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām (3/185), dan al-Maghāzī, al-Waqidī (1/221-222)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *