Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa orang Romawi telah mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Madīnah. Pada saat itu, kaum Muslimīn sedang dilanda kesulitan karena paceklik. Cuaca sangat panas saat buah-buahan sudah mulai masak dan orang lebih senang menunggui buah-buahan serta bernaung di bawah pohon-pohonnya yang rindang. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kaum Muslimīn untuk bersiap-siap berperang, padahal sebelum itu Rasūlullāh s.a.w. selalu merahasiakannya jika hendak berperang, supaya beritanya jangan sampai terdengar oleh musuh. Namun, dalam peperangan kali ini, beliau s.a.w. memberitahukan tujuannya kepada mereka, mengingat perjalanan yang sangat jauh dan kuatnya musuh yang akan mereka hadapi supaya mereka mempersiapkan segalanya.
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan utusannya ke Makkah dan kabilah-kabilah ‘Arab untuk menyerukan hal ini kepada mereka. Kemudian beliau s.a.w. menyeru kepada orang-orang kaya supaya menyediakan perlengkapan buat orang-orang yang tidak mampu. Shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. mengeluarkan biaya sebanyak sepuluh ribu dinar, kemudian memberikan tiga ratus ekor unta lengkap dengan pelananya dan lima puluh ekor kuda. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mendoakannya: “Ya Allah, ridhāilah ‘Utsmān karena sesungguhnya aku ridhā kepadanya.” (181)
Shahabat Abū Bakar r.a. mendermakan semua harta miliknya, sebanyak empat ribu dirham. Lalu Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepadanya: “Apakah engkau masih menyisakan untuk keluargamu?” Abū Bakar menjawab: “Aku sisakan buat mereka Allah dan Rasūl-Nya.”
Shahabat ‘Umar waktu itu mendermakan separuh harta miliknya.
Shahabat ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf mendermakan seratus uqiyah emasnya.
Demikian pula shahabat al-‘Abbās dan Thalḥah r.a. mendermakan hartanya yang jumlahnya cukup banyak.
Shahabat ‘Āshim bin ‘Adī r.a. menyedekahkan tujuh puluh wasaq kurma.
Kaum Muslimāt pun turut andil. Mereka memberikan apa yang mampu mereka berikan dari perhiasannya.
Kemudian datanglah tujuh orang miskin dari para shahabat menghadap Rasūlullāh s.a.w. Mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya berkenan mengikutkan mereka dalam perang ini. Namun, Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Aku tidak mendapatkan bekal untuk membawa kalian untuk ikut serta bersama kami.” Lalu mereka pergi, sementara mata mereka basah oleh air mata karena sedih tidak mendapatkan biaya (nafkah) untuk membiayai mereka dalam perang ini. Lalu shahabat ‘Utsmān memberikan bekal kepada tiga orang dari mereka; shahabat al-‘Abbās membekali dua orang; dan Yāmīn bin ‘Amr (192) memberikan perbekalan kepada dua orang lainnya.
Ketika semua pasukan sudah berkumpul dan siap, Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama mereka. Jumlah mereka semuanya ada tiga puluh ribu orang. Rasūlullāh s.a.w. mengangkat shahabat Muḥammad bin Maslamah untuk menjadi pengganti beliau memimpin di Madīnah, dan shahabat ‘Alī bin Abī Thālib untuk menjaga keluarga beliau. Banyak orang dari kalangan munāfiqīn yang tidak mau ikut serta. Pemimpin mereka adalah ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl. ‘Abdullāh bin Ubay berkata: “Muḥammad berangkat untuk berperang melawan orang-orang yang berkulit putih dalam kondisi yang sulit, panas, lagi negeri yang dituju amat jauh. Apakah Muḥammad mengira memerangi orang-orang kulit putih merupakan mainan? Demi Allah, seolah-olah aku melihat para shahabatnya dalam keadaan terbelenggu semua dalam tambang (ditawan musuh).”
Segolongan orang munāfiq berkumpul antara sesama mereka, lalu mereka membuat isu-isu yang tujuannya untuk menakut-nakuti Rasūlullāh dan para shahabat. Isu yang mereka tebarkan akhirnya sampai terdengar oleh Rasūlullāh. Lalu beliau s.a.w. mengutus shahabat ‘Ammār bin Yāsir untuk menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka katakan itu. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bergurau dan tidak sungguhan.”
Selanjutnya, segolongan orang dari kaum munāfiqīn datang menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. Di antara mereka terdapat al-Jadd bin Qais. Mereka datang dengan maksud meminta maaf karena tidak dapat ikut serta bersama Rasūlullāh s.a.w. Mereka berkata: “Wahai Rasūlullāh, idzinkanlah kami tidak ikut, dan janganlah membuat kami terfitnah karena kami tidak tahan bila melihat wanita kulit putih.” Kemudian datang menghadap pula orang-orang ‘Arab untuk meminta idzin tidak ikut. Mereka adalah orang-orang yang berhalangan karena lemah dan ada pula yang karena tidak mampu. Maka Rasūlullāh s.a.w. memberikan idzin kepada mereka untuk tidak ikut. Sehubungan dengan peridzinan ini, Allah s.w.t. menegur Rasūlullāh s.a.w. melalui firman-Nya:
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi idzin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)
Kemudian sehubungan dengan perilaku mereka, Allah s.w.t. menurunkan ayat:
“Sesungguhnya yang akan meminta idzin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.” (At-Taubah: 45)
Kemudian Allah s.w.t. mendustakan dalih mereka itu melalui firman-Nya.
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka mau menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu”.” (At-Taubah: 46)
Agar kaum Muslimīn tidak putus asa karena tidak ikut bergabungnya kaum munāfiqīn, Allah s.w.t. menghibur mereka melalui firman-Nya, yaitu:
“Jika mereka berangkat bersama kalian, niscaya mereka tidak akan menambah kalian selain kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk membuat kekacauan di antara kalian, sedangkan di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zhālim.” (At-Taubah: 47)
Dalam perang ini, ada segerombolan kaum Muslimīn yang agamanya tidak diragukan, yang juga ‘udzur tidak ikut perang. Di antaranya ialah Ka‘ab bin Mālik, Hilāl bin Umayyah, Murārah bin ar-Rabī‘ dan Abū Khaitsamah.
Tatkala Rasūlullāh s.a.w. meninggalkan shahabat ‘Alī, orang-orang munāfiq berkata: “Ternyata Muḥammad sangat berat terhadap ‘Alī sehingga ia meninggalkannya.” Ketika mendengar perkataan mereka itu, ‘Alī bergegas menemui Rasūlullāh dan mengadukan apa yang telah dikatakan oleh orang-orang munafik. Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya:
“Tidakkah engkau rela bila kedudukanmu di sisiku bagaikan Hārūn di sisi Mūsā?” (203)
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membawa pasukannya berjalan. Beliau s.a.w. menyerahkan pimpinan pasukan kepada shahabat Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. Diberikannya tampuk pimpinan pasukan kepada Abū Bakar r.a. dalam perang terakhir yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w., dan dijadikannya ‘Alī sebagai pengganti beliau untuk menjaga keluarga beliau, mengandung hikmah lembut yang dapat dimengerti oleh pembaca.
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. membagi-bagikan panji kepada kabilah. Beliau s.a.w. memberikan panji kaum Muhājirīn kepada Zubair, dan panji kabilah Aus kepada Usaid bin Ḥudhair, panji kabilah Khazraj kepada al-Ḥubbāb bin al-Mundzir.
Ketika pasukan kaum Muslimīn sampai di daerah al-Ḥijr, yaitu tempat kaum Tsamūd, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada para shahabatnya:
“Janganlah kalian memasuki perkampungan orang-orang yang zhālim, kecuali kalian menangis.” (214)
Maksudnya supaya mereka merasa ngeri dan takut kepada siksa Allah s.w.t. Rasūlullāh s.a.w. mengangkat shahabat ‘Abbād bin Bisyr sebagai pengawal dan penjaga pasukan kaum Muslimīn. Ketika mereka sampai di Tabūk —Tabūk merupakan daerah yang sama sekali tidak mempunyai bangunan— Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada Mu‘ādz bin Jabal: “Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat di tempat ini penuh dengan kebun.” Dan memang, pada akhirnya tempat itu persis seperti yang telah dinubuatkan oleh Rasūlullāh s.a.w. (225)
Ketika pasukan kaum Muslimīn sedang beristirahat, tiba-tiba datang menyusul Abū Khaitsamah r.a. Kisah kedatangannya itu bermula ketika pada suatu hari ia bermaksud mendatangi keluarganya. Pada saat itu, hari panas sekali. Ketika ia memasuki kebunnya, tiba-tiba ia mendapati kedua orang istrinya sedang berada di dalam kebun tersebut. Masing-masing telah menggelarkan kemahnya dan telah mendinginkan air serta menyediakan makanan pada hari yang sangat panas itu. Ketika Abū Khaitsamah melihat hal itu, ia pun berkata: “Rasūlullāh s.a.w. sedang kepanasan, sedangkan Abū Khaitsamah berada dalam naungan yang sejuk, air yang telah tersedia, dan wanita yang cantik, ini tidak adil.” Selanjutnya, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memasuki kemah salah seorang dari kalian berdua sebelum aku menyusul Rasūlullāh s.a.w. Maka sediakanlah oleh kalian perbekalan untukku.” Kedua istrinya itu pun segera mengerjakan apa yang telah diperintahkannya. Setelah semuanya siap, Abū Khaitsamah menaiki kendaraannya. Sebelum itu, ia mengambil pedang dan tombaknya, lalu berangkat menyusul Rasūlullāh s.a.w. dan ia dapat menyusulnya ketika Rasūlullāh baru sampai di Tabūk. (236)
Ketika Rasūlullāh s.a.w. sampai di Tabūk, beliau tidak melihat seorang pun dari pasukan musuh. Tidak seperti berita yang beliau dengar sebelumnya. Kemudian beliau bermukim di Tabūk selama beberapa hari. Pada saat itu datanglah Yohanes (يُحَنَّة), pemimpin Ailah, bersama penduduk Jarbā’ (247) dan penduduk Adzruḥ (258) serta penduduk Maqnā menghadap beliau s.a.w.
Yohanes (يُحَنَّة) mengadakan perjanjian damai dengan Rasūlullāh s.a.w. serta menyatakan kesediaannya untuk membayar jizyah, tetapi ia tidak mau masuk Islam. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan surat kepada Yohanes (يُحَنَّة) yang bunyinya seperti berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat jaminan keamanan dari Allah dan Muḥammad sebagai Nabi dan Rasūl-Nya kepada Yohanes serta penduduk Ailah. Perahu-perahu dan kafilah-kafilah mereka, baik di daratan maupun di lautan, berada dalam jaminan keamanan Allah dan Muḥammad, dan ini berlaku pula bagi orang-orang yang bersama mereka terdiri dari penduduk negeri Syām, penduduk Yaman, dan penduduk daerah pesisir. Barang siapa diantara mereka yang menimbulkan suatu hal yang baru, sesungguhnya tidak akan diambil daripadanya apa yang melindungi dirinya karena sesungguhnya ia (jizyah) diambil dari orang-orang secara sukarela. Dan sesungguhnya tidak diperbolehkan mencegah air yang mengalir kepada mereka, dan tidak boleh pula mencegah jalan yang menuju kepada mereka, baik jalan darat maupun laut.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. pun mengirimkan surat kepada penduduk Adzruḥ dan penduduk Jarbā’ yang isinya sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat dari Muḥammad Nabi Allah kepada penduduk Adzruḥ dan penduduk Jarbā’.
Sesungguhnya mereka berada dalam jaminan keamanan dari Allah dan Muḥammad, dan diwajibkan atas mereka membayar seratus dinar pada setiap bulan Rajab, secara penuh dan sukarela. Allah menjamin kaum Muslimīn untuk berlaku baik dan menaati perjanjian ini.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. juga mengadakan perjanjian dengan penduduk Maqnā dengan syarat mereka harus memberikan seperempat dari hasil buah-buahannya.
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. bermusyāwarah dengan para shahabat tentang apakah meneruskan perjalanan melewati Tabūk untuk menuju tempat yang lebih jauh lagi dan masuk ke negeri Syām. Shahabat ‘Umar berkata: “Jika engkau memang mendapat perintah (dari Allah) untuk meneruskan perjalanan maka teruskanlah.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Seandainya aku diperintahkan untuk melakukannya, niscaya aku tidak bermusyāwarah lagi.”
Shahabat ‘Umar berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya orang Romawi itu memiliki jumlah pasukan yang besar sekali, dan di negeri Syām ini tidak ada seorang pun yang memeluk agama Islam, dan sekarang kita telah dekat dengan mereka. Mendekatnya engkau dari mereka akan membuat mereka bersiaga. Menurut pendapatku, lebih baik kita kembali saja untuk tahun ini sehingga menunggu kelanjutannya atau Allah akan menetapkan suatu keputusan.”
Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. menuruti apa yang disarankan oleh shahabat ‘Umar itu. Selanjutnya, beliau s.a.w. memerintahkan segenap pasukan untuk kembali ke Madīnah.
Ketika Rasūlullāh s.a.w. hampir sampai di Madīnah, sampailah berita kepada beliau tentang Masjid Dhirār. Masjid ini telah didirikan oleh sekelompok orang munāfiq untuk menyaingi Masjid Qubā’ dan untuk memecah belah persatuan kaum Muslimīn. Segolongan di antara kaum munāfiqīn itu datang menghadap Rasūlullāh s.a.w. untuk memohon supaya beliau mau shalat di dalam masjid tersebut demi mereka. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menanyakan kepada mereka tentang penyebab dibangunnya masjid tersebut. Mereka bersumpah bahwa mereka membangunnya tak lain karena tujuan yang baik. Namun, Allah menyaksikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berdusta.
Lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan sekelompok shahabat untuk berangkat menuju masjid tersebut, dan mereka diperintahkan untuk merobohkannya. Kemudian mereka melakukan semua yang diperintahkan itu.
Ketika Rasūlullāh s.a.w. berada kembali di Madīnah dan segalanya berjalan lancar, datanglah beberapa golongan dari orang-orang yang tidak ikut berperang meminta maaf kepadanya secara dusta. Rasūlullāh s.a.w. hanya mau menerima alasan lahiriah mereka, dan menyerahkan masalah bāthin mereka kepada Allah s.w.t. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memintakan ampunan buat mereka.