Perang Khandaq (Ahzab) – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Perang Khandaq (Aḥzāb) (851)

Para pembesar Bani Nadhīr belum merasa puas setelah mereka diusir dari tempat tinggalnya yang kini diduduki kaum Muslimīn. Maka, segolongan dari mereka berangkat ke Makkah guna menemui pemimpin kabilah Quraisy dan menganjurkan mereka supaya memerangi Rasūlullāh. Mereka bersedia membantu dalam hal ini dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Ternyata, permintaan Bani Nadhīr ini mendapat sambutan hangat dari pihak Quraisy. Kemudian Bani Nadhīr mendatangi Bani Ghathafān dan menganjurkan kaum lelakinya untuk mau memerangi Rasūlullāh. Mereka memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersedia berperang bersama mereka. Permintaan Bani Nadhīr itu mendapat sambutan yang hangat pula dari orang Ghathafān ini.

Orang-orang Quraisy mempersiapkan bala tentaranya yang langsung dipimpin oleh Abū Sufyān sendiri. Sebagai pemegang panji peperangan ialah ‘Utsmān bin Thalḥah bin Abī Thalḥah al-‘Abdarī. Jumlah mereka empat ribu orang. Dari pasukan itu terdapat tiga ratus pasukan berkuda dan seribu pasukan berunta. Bani Ghathafān mempersiapkan pula bala pasukannya yang dipimpin oleh ‘Uyainah bin Ḥishn. ‘Uyainah bin Ḥishn ini, seperti pada penjelasan yang lalu, pernah mendapat kebaikan dari Rasūlullāh s.a.w., tetapi ternyata kini ia membalas kebaikan Rasūlullāh s.a.w. dengan kekufuran. Dahulu, Rasūlullāh s.a.w. pernah memberikan kepadanya sebidang tanah untuk gembalaan ternaknya, dan setelah ternaknya subur dan gemuk-gemuk serta bertambah banyak, kini ia memimpin bala tentaranya untuk memerangi orang yang pernah berbuat baik terhadapnya; air susu dibalas dengan air tuba. ‘Uyainah pada saat itu membawa seribu pasukan berkuda.

Bani Murrah juga ikut ambil bagian dalam penyerbuan ini. Mereka mempersiapkan bala tentaranya yang berjumlah empat ratus orang di bawah pimpinan al-Ḥārits bin ‘Auf al-Murrī. Bani Asyja’ telah mempersiapkan bala tentaranya pula di bawah pimpinan Abū Mas‘ūd bin Rukhailah. Bani Salīm tidak ketinggalan, mereka mempersiapkan bala tentaranya di bawah pimpinan Sufyān bin ‘Abd-isy-Syams, jumlah mereka tujuh ratus orang. Bani Asad pun telah mempersiapkan bala tentaranya ada sepuluh ribu pasukan, yang semuanya berada di bawah komando tertinggi Abū Sufyān.

Setelah berita tentang persiapan pasukan musuh yang akan menyerang kaum Muslimīn ini sampai kepada Rasūlullāh s.a.w., Beliau segera bermusyāwarah dengan para shahabat tentang apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslimīn dalam menghadapi mereka: apakah tetap berada di Madīnah atau keluar untuk menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya itu. Maka tampilah shahabat Salmān al-Fārisī mengusulkan kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya membuat parit. Pekerjaan ini belum pernah dikenal orang-orang ‘Arab dalam peperangan mereka.

Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kaum Muslimīn supaya membuat parit itu, lalu mereka mulai menggali parit di sebelah utara kota Madīnah, mulai dari bagian timur sampai ke bagian barat, sebab arah inilah yang tidak terbentengi karena berada di belakang kota Madīnah. Adapun batas-batas kota Madīnah yang lain semuanya terbentengi oleh rumah-rumah dan pohon-pohon kurma, sehingga tidak mungkin bagi musuh mengadakan penyerangan dari arah itu.

Kaum Muslimīn melakukan kerja berat yang amat melelahkan dalam upaya menggali parit ini karena keadaan penghidupan mereka masih sederhana sekali sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melakukan pekerjaan seberat itu. Rasūlullāh s.a.w. sendiri ikut terjun memindahkan tanah seraya melantunkan syair yang telah dikatakan Ibnu Rawāḥah.

Beliau s.a.w. melantunkan:

Ya Allah, andai bukan karena Engkau, kami tidak akan mendapatkan petunjuk
Dan tidak akan menunaikan zakat, dan juga tidak akan shalat
Kami mohon dengan sangat turunkanlah ketenangan di hati kami
Dan teguhkanlah kaki-kaki kami saat menghadapi musuh
Orang-orang musyrik telah melampuai batas terhadap kami
Bilamana mereka menghendaki fitnah (peperangan) maka kami mempertahankan diri. (862)

Kemudian pasukan kaum Muslimīn bermarkas di sebelah utara Madīnah, sedangkan bagian belakang mereka terlindungi oleh Bukit Sila’ yang letaknya memanjang di Madīnah. Jumlah mereka semua hanya tiga ribu pasukan. Panji peperangan kaum Muhājirīn pada saat itu berada di tangan Zaid bin Ḥāritsah, sedangkan panji peperangan orang-orang Anshār dipegang oleh Sa‘ad bin ‘Ubādah. Bala tentara kaum Quraisy bermarkas di arah Gunung Uhud. Orang-orang musyrik sangat terkejut dengan keberadaan benteng parit itu karena orang-orang ‘Arab sebelum itu tidak mengenalnya sehingga peperangan di antara mereka dengan kaum Muslimīn dilakukan dengan saling memanah.

Tatkala perang panah telah berlangsung cukup lama, ada segolongan pasukan kaum musyrikīn yang merasa bosan. Akhirnya, sebagian pasukan berkuda mereka melompati parit, lalu berhadap-hadapan dengan kaum Muslimīn. Di antara mereka yang melakukan hal tersebut ialah ‘Ikrimah bin Abī Jahal dan ‘Amr bin (‘Abdi) Wudd. Shahabat ‘Alī bin Abī Thālib r.a. mengahadapi ‘Amr bin (‘Abdi) Wudd dan dapat membunuhnya, sedangkan teman-temannya lari ketakutan.

Pada saat itu, Naufal bin ‘Abdullāh jatuh ke parit sehingga lehernya patah, dan Shahabat Sa‘ad bin Mu‘ādz r.a. terkena panah musuh sehingga urat lengannya putus. Kecamuk peperangan dan panah ini berlangsung sehari penuh sehingga kaum Muslimīn tidak sempat melakukan shalat pada hari itu, kemudian mereka meng-qadhā’-nya.

Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan supaya parit dijaga pada malam hari. Untuk itu, Rasūlullāh s.a.w. menunjuk orang-orang yang akan menjaganya agar jangan sampai musuh menyerbu pada malam hari. Rasūlullāh s.a.w. sendiri ikut berjaga pada salah satu pos sekalipun malam sangat dingin. Beliau selalu menyampaikan berita gembira kepada shahabat-shahabatnya bahwa mereka pasti akan mendapat pertolongan dan kemenangan, dan Beliau menjanjikan kebaikan (ghanīmah) kepada mereka. Adapun orang-orang munāfiq mulai menampakkan apa yang terpendam di dalam hati mereka selama ini, setelah melihat keadaan yang sangat kritis ini sehingga mereka mengatakan seperti yang diwahyukan oleh firman-Nya: “Allah dan Rasūl-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 12)

Lalu mereka mengundurkan diri seraya mengatakan bahwa rumah-rumah mereka terbuka, mereka khawatir bila musuh menyerangnya. Perkataan mereka itu diungkapkan oleh firman-Nya:

Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hendak lari.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 13)

Keadaan yang sangat berat dirasakan oleh kaum Muslimīn karena pengepungan ini dibarengi pula dengan kehidupan yang miskin menghimpit orang-orang miskin di Madīnah. Hal yang dirasakan semakin menambah berat keadaan kaum Muslimīn ialah adanya berita yang sampai kepada mereka bahwa orang Yahūdī yang hidup bersama mereka di kota Madīnah (873), kini bersiap-siap membatalkan perjanjiannya dengan kaum Muslimīn. (884) Hal itu bermula ketika Ḥuyaiy bin Akhthab, pemimpin Bani Nadhīr, yang telah terusir bersama kaumnya, datang menemui Ka‘ab bin As‘ad al-Qurazhī, pemimpin Bani Quraizhah. Ia menghasut supaya mau membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimīn. Ia terus-menerus membujuk sehingga Ka‘ab mau memerangi kaum Muslimīn.

Ketika berita ini sampai kepada Rasūlullāh s.a.w., Beliau mengutus Maslamah bin Aslam bersama dua ratus orang pasukan, dan Zaid bin Ḥāritsah bersama dengan tiga ratus pasukan guna menjaga kota Madīnah karena khawatir akan keselamatan kaum wanita dan anak-anak. Rasūlullāh s.a.w. juga mengutus az-Zubair bin al-‘Awwām untuk memastikan kebenaran berita itu. Tatkala az-Zubair menemui Bani Quraizhah, ia menjumpai mereka dalam keadaan marah. Pada muka mereka tampak maksud-maksud jahat, kemudian di hadapannya mereka menghina Rasūlullāh s.a.w. Lalu az-Zubair bin al-‘Awwām segera kembali dan memberitahukan hal itu kepada Rasūlullāh s.a.w.

Pada saat itulah kaum Muslimīn merasa gentar dan terguncang keras hatinya setelah mendengar berita tersebut karena musuh datang menyerang mereka dari atas dan dari bawah mereka. Pendangan kaum Muslimīn tidak tetap lagi dan hati mereka menyesak naik ke tenggorokan serta mereka mulai menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Melihat kesempatan itu, orang-orang munāfiq mulai angkat bicara sekendak hati mereka. Pada saat itu, Rasūlullāh s.a.w. bermaksud mengirimkan utusan kepada ‘Uyainah bin Ḥishn untuk menyampaikan pesannya bahwa Beliau hendak berdamai dan bersedia memberikan kepada ‘Uyainah sepertiga dari hasil kurma Madīnah dengan syarat ia menarik pasukannya (Ghathafan). Namun, orang Anshār menolak usulan itu seraya mengatakan: “Orang Ghathafān belum pernah memperoleh sedikit pun kurma kami sewaktu kami masih kafir. Lalu, apakah setelah kami masuk Islām, orang Ghathafān diperbolehkan merasakannya bersama kami?”

Tipu Muslihat dalam Perang

Nu‘aim beranjak dari hadapan Rasūlullāh s.a.w. dan langsung menuju Bani Quraizhah yang telah merusak perjanjiannya dengan kaum Muslimīn.

Tatkala Bani Quraizhah melihat kedatangannya, mereka memuliakannya karena mengingat persahabatannya yang terjalin dengan mereka. Nu‘aim berkata: “Hai Bani Quraizhah, kalian tentu sudah mengetahui kecintaanku kepada kalian dan kekhawatiranku atas keselamatan kalian. Sesungguhnya aku akan bercerita kepada kalian, tetapi kumohon supaya kalian merahasiakannya.”

Mereka menjawab: “Ya.”

Lalu Nu‘aim berkata kepada mereka: “Kalian tentu sudah menyaksikan sendiri apa yang menimpa Bani Qainuqā‘ dan Bani Nadhīr. Mereka telah diusir dan harta benda serta rumah-rumah mereka telah diambil alih. Apabila melihat ada kesempatan, mereka akan segera memanfaatkannya, dan apabila tidak maka mereka akan kembali ke negeri mereka masing-masing. Adapun kalian akan tetap hidup bersama lelaki itu – maksudnya Rasūlullāh s.a.w. – sedangkan kalian tidak akan mampu memeranginya sendiri. Untuk itu, aku sarankan kepada kalian sebaiknya jangan ikut campur dalam perang ini sampai kalian dapat memastikan kaum Quraisy dan Ghathafān tidak akan meninggalkan kalian dan pulang ke negeri mereka. Caranya adalah mengambil jaminan tujuh puluh tokoh dari mereka.” (895)

Ternyata, mereka menyambut baik dan menerima usulan Nu‘aim itu.

Kemudian Nu‘aim beranjak pergi meninggalkan mereka dan menuju kaum Quraisy, lalu berkumpul dengan para pemimpinnya. Ia mengatakan kepada mereka: “kalian tentu sudah mengetahui kecintaanku kepada kalian. Sekarang aku akan membicarakan sesuatu yang penting kepada kalian, tapi kalian harus merahasiakan bahwa itu dariku.”

Mereka menjawab: “Kami bersedia melakukannya.”

Lalu Nu‘aim berkata: “Sesungguhnya Bani Quraizhah telah menyesali apa yang telah mereka lakukan terhadap Muḥammad (membatalkan perjanjian), dan sekarang mereka khawatir kalian akan pulang (ke Makkah) dan meninggalkan mereka bersamanya (Muḥammad). Lalu mereka berkata kepadanya (Muḥammad s.a.w.): ‘Setujukah engkau bila kami mengambil beberapa tokoh mereka dan menyerahkannya kepadamu, dan engkau kembalikan tangan kami yang telah engkau hancurkan-maksud mereka adalah Bani Nadhīr.’ Lalu ia (Muḥammad s.a.w.) menyetujuinya. Nah, sekarang mereka mengirim utusan kepada kalian, maka hati-hatilah dan jangan menyebutkan sedikit pun dari apa yang kukatakan kepada kalian.”

Kemudian Nu‘aim pergi menemui Bani Ghathafān dan mengatakan kepada mereka seperti apa yang telah dikatakannya kepada orang Quraisy.

Abū Sufyān mengirimkan utusannya kepada Bani Quraizhah untuk mengajak mereka ikut berperang besok. Namun, Bani Quraizhah menjawab: “Sesungguhnya kami tidak dapat melakukan peperangan pada hari Sabtu. Abū Sufyān mengirim utusan kepada mereka itu pada malam Sabtunya. Apa-apa yang telah menimpa kami tiada lain karena kami melakukan pelanggaran pada hari Sabtu. Selain itu, kami tetap tidak mau ikut berperang sebelum kalian memberikan kepada kami jaminan yang terdiri dari orang-orang kalian sehingga kalian tidak meninggalkan kami dan pulang ke negeri kalian seenaknya sendiri.”

Maka terbuktilah bagi orang Quraisy dan Ghathafān bahwa apa yang dikatakan Nu‘aim benar. Tercerai-berailah hati mereka dan mereka curiga antara satu sama lain. (906)

Sementara itu, Rasūlullāh s.a.w. terus berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah Yang tiada tempat berlindung selain kepada-Nya. Pada saat itu, Rasūlullāh s.a.w. selalu mengucapkan doa berikut ini:

اللهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ، سَرِيْعَ الْحِسَابِ، اهْزِمِ الْأَحْزَابَ، اللهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَ انْصُرْنَا عَلَيْهِمْ.

Ya Allah, Engkau Yang telah menurunkan al-Kitāb; Yang sangat cepat perhitungan-Nya, kalahkanlah golongan-golongan itu. Ya Allah, kalahkanlah mereka, dan tolonglah kami dalam menghadapi mereka.”

Allah s.w.t. mengabulkan doa Rasūlullāh s.a.w. dengan mengirimkan angin yang sangat dingin pada malam yang gelap gulita kepada musuh. Akhirnya, bangsa ‘Arab itu merasa khawatir kalau kaum Yahūdī dan kaum Muslimīn sepakat menyerang mereka pada malam yang gelap itu. Lalu mereka sepakat untuk meninggalkan tempatnya sebelum pagi tiba.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. mendengar suara gaduh di pihak musuh, Beliau berkata kepada para shahabat: “Pasti sedang terjadi sesuatu. Siapakah di antara kalian yang mau melihat keadaan musuh demi kita bersama?” Para shahabat diam semuanya sehingga Rasūlullāh s.a.w. mengulang-ulang perkataannya tiga kali. Di antara para shahabat itu terdapat Ḥudzaifah bin Yamān. Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Engkau telah mendengar perkataanku sejak tadi, tetapi mengapa engkau tidak mau menyahut?

Ḥudzaifah bin Yamān berkata: “Wahai Rasūlullāh, malam ini dingin sekali.”

Rasūlullāh s.a.w. kembali berkata: “Pergilah, dan lihatlah keadaan musuh demi kepentingan kita bersama!

Akhirnya, Ḥudzaifah bin Yamān memberanikan diri memikul tugas itu demi berkhidmat kepada Nabinya sehingga ia dapat melihat keadaan musuh yang sebenarnya. Ternyata, ia melihat bahwa musuh telah bersiap-siap meninggalkan tempat.

Catatan:

  1. 85). Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (4/105), ath-Thabaqāt (2/65-73), Zād-ul-Ma‘ād (2/288).
  2. 86). HR. al-Bukhārī (2837, 3797) dan Muslim (1803).
  3. 87). Tepatnya mereka tinggal di luar Madīnah.
  4. 88). As-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah (2/424), al-Maghāzī, Al-Waqidī (2/457), al-Bidāyatu wan-Nihāyah (4/95).
  5. 89). Dalam Sīratu Ibni Hisyām: “janganlah kalian mau berperang bersama mereka sampai kalian mengambil orang-orang yang terhormat dari kalangan mereka untuk dijadikan jaminan.”
  6. 90). Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (4/113), Dalā’il-un-Nubuwwah, al-Baihaqī (3/445), dan as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah (2/43).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *