Perang Hudaibiyah – Nurul Yaqin (2/2)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Perjanjian Ḥudaibiyyah

Sejak saat itu, kaum Quraisy mulai takut terhadap kaum Muslimīn. Lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk membicarakan tentang perdamaian. Ketika datang, ia berkata: “Hai Muḥammad, sesungguhnya hal yang baru terjadi bukan buah pikiran orang-orang pandai kami, melainkan tindakan gegabah dari orang-orang bodoh kami. Maka, kami minta supaya engkau mengirimkan orang-orang kami yang telah engkau tawan.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Kami mau melakukannya bilamana kalian juga mengirimkan orang-orang kami yang kalian tawan.” Pada saat itu, mereka langsung melepaskan shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. dan sepuluh orang rekannya.

Selanjutnya, Suhail menawarkan syarat-syarat yang dikehendaki oleh orang-orang Quraisy kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu:

  • Gencatan senjata antara kaum Muslimīn dan orang Quraisy selama sepuluh tahun.
  • Barang siapa yang datang kepada kaum Muslimīn di Madīnah dari kalangan orang Quraisy maka kaum Muslimīn harus mengembalikannya kepada mereka. Barang siapa dari kaum Muslimīn datang kepada orang Quraisy maka orang Quraisy tidak diharuskan mengembalikannya kepada kaum Muslimīn di Madīnah.
  • Hendaknya Nabi kembali tanpa melakukan ‘umrah tahun ini. Ia boleh datang tahun depan bersama para shahabatnya sesudah terlebih dahulu orang-orang Quraisy keluar dari kota Makkah. Nabi boleh bermukim selama tiga hari di Makkah, sedangkan para shahabat tidak diperkenankan membawa senjata apa pun selain pedang yang disarungkan dan busur panah.
  • Barang siapa yang ingin masuk perjanjian dengan Muḥammad, bukan dengan orang Quraisy, ia boleh melakukannya. Dan barang siapa ingin masuk perjanjian dengan orang Quraisy ia boleh melakukannya.

Rasūlullāh s.a.w. menerima semua syarat itu. Adapun tanggapan kaum Muslimīn berbeda, mereka berkata: “Maha Suci Allah bagaimana kami diharuskan untuk mengembalikan kepada mereka orang yang datang dalam keadaan Muslim, dan mereka tidak diharuskan untuk mengembalikan orang datang kepada mereka dalam keadaan murtad.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Barang siapa yang pergi kepada mereka dari kalangan kami niscaya Allah akan menjauhkannya dari rahmat-Nya; barang siapa datang kepada kami dari kalangan mereka, kemudian kami diharuskan untuk mengembalikannya maka kelak Allah akan menunjukkan baginya jalan keluar.”

Persyaratan nomor tiga, yaitu dilarangnya kaum Muslimīn melakukan thawaf di Baitullāh, ini sangat mempengaruhi kaum Muslimīn, karena Rasūlullāh s.a.w. telah memberikan kabar bahwa ia telah bermimpi bahwa mereka memasuki Baitullāh dalam keadaan aman. ‘Umar menanyakan hal tersebut kepada Abū Bakar, Abū Bakar menjawab: “Apakah Rasūl menyebutkan bahwa hal itu terjadi tahun ini?”

Kemudian syarat-syarat perjanjian itu ditulis oleh kedua belah pihak. Sekretaris dari pihak Nabi s.a.w. ialah ‘Alī bin Abī Thālib r.a., lalu Rasūlullāh s.a.w. mendiktekannya: “Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm,” tetapi Suhai memotongnya: “Tulislah bismikallāhumma,” lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan ‘Alī untuk menurutinya. Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Ini adalah perjanjian yang telah disetujui Muḥammad Rasūlullāh.” Suhail memotongnya lagi: “Seandainya kami mengakui engkau utusan Allah niscaya kami tidak akan menentangmu, tulislah Muḥammad bin ‘Abdillāh.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. menyuruh ‘Alī untuk menurutinya, tetapi ‘Alī tidak mau melaksanakannya. Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. sendiri yang menghapusnya dengan tangannya.

Surat perjanjian ini ditulis sebanyak dua lembar. Satu lembar buat orang Quraisy dan yang satu lagi buat kaum Muslimīn.

Setelah penulisan perjanjian selesai, datanglah Abū Jandal bin Suhail yang masih dalam keadaan terbelenggu kepada kaum Muslimīn. Ia termasuk orang Muslim yang tidak boleh melakukan hijrah, lalu melarikan diri ke kubu kaum Muslimīn untuk meminta perlindungan mereka. Namun, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: Bersabarlah dan lakukanlah, demi Allah karena sesungguhnya Allah akan membuatkan jalan keluar dan pemecahannya bagimu dan orang-orang yang bersamamu dari kalangan yang lemah. Sesungguhnya kami telah mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy. Antara kami dan mereka telah terjalin kesepakatan. Untuk itu, kami tidak mau berkhianat terhadap perjanjian yang telah kami setujui bersama.” (1201)

Pada saat itu, kabilah Khuzā‘ah masuk dalam sekutu Rasūlullāh, sedangkan Bani Bakar masuk dalam sekutu kaum Quraisy.

Setelah perkara perjanjian ini selesai, Rasūlullāh memerintahkan para shahabat untuk mencukur rambut mereka dan memotong hewan kurban mereka sebagai pertanda taḥallul (selesai) dari umrah mereka yang tidak jadi itu.

Hal ini mengakibatkan kaum Muslimīn menanggung beban mental yang sangat besar sehingga mereka tidak segera melaksanakan perintah Nabi tersebut. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menemui Umm-ul-Mu’minīn, Ummu Salamah, lalu berkata kepadanya: “Celakalah kaum Muslimīn, kuperintahkan mereka untuk melakukannya tapi mereka tidak mau melakukannya,” Ummu Salamah menjawab: “Maafkanlah mereka, sesungguhnya engkau telah menanggung perkara yang besar dalam perjanjian yang telah engkau lakukan itu. Kaum Muslimīn kembali tanpa melakukan penaklukan. Oleh sebab itu, mereka sedih dan susah. Namun, sebaliknya keluarlah engkau, wahai Rasūlullāh, kemudian berilah contoh apa yang engkau kehendaki itu. Bila mana mereka melihatmu telah melakukannya, niscaya mereka akan mengikutimu.”

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. melangkah menuju hewan kurbannya, lalu menyembelihnya. Sesudah itu, ia meminta pencukur untuk mencukur rambutnya sendiri. Ketika kaum Muslimīn melihat Rasūlullāh s.a.w. melakukan hal tersebut, mereka bergegas menyembelih hewan kurban masing-masing, kemudian mencukur rambut mereka seperti yang telah dilakukan Rasūlullāh s.a.w. Setelah itu, mereka kembali ke Madīnah dan masing-masing pihak memelihara perjanjian tersebut.

Namun, ketika hal itu telah berjalan dengan lancar, tiba-tiba datanglah kepada mereka Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abī Mu‘aith, saudara perempuan seibu shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān, dengan maksud berhijrah, sementara kaum musyrikīn meminta supaya kaum Muslimīn mengembalikannya ke Makkah. Namun, Ummu Kultsum berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya aku ini seorang perempuan, seandainya aku dikembalikan kepada mereka niscaya mereka akan memfitnah agamaku.” Lalu Allah menurunkan ayat:

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mumtahanah: 10)

Ummu Kultsum yang berhijrah itu bersumpah bahwa ia keluar dari Makkah bukan hanya ingin pindah tempat, bukan pula karena benci kepada suami, bukan untuk mencari dunia dan bukan karena senang kepada seorang lelaki dari kaum Muslimīn. Ia keluar hanya untuk tujuan berhijrah karena cintanya kepada Allah dan Rasūl-Nya. Setelah menyatakan sumpahnya, ia tidak dikembalikan, tetapi yang dikembalikan hanyalah yang diberikan oleh suaminya, berupa nafkah dan mahar yang telah diberikan oleh suaminya. Sesudah itu, Ummi Kultsum boleh dinikahi oleh orang Muslim siapa pun yang suka kepadanya. Dalam ayat itu juga terkandung ma‘na bahwa haram mempertahankan istri yang mu’min untuk tetap bersama dengan suami yang kafir, bahkan istri harus dikembalikan kepada keluarganya dan keluarga istri harus membayar kerugian kepada suaminya.

Abū Bashīr yang nama asalnya ‘Utbah bin Usaith ats-Tsaqafī r.a. sempat melarikan diri, lalu menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. Kemudian kaum Quraisy mengirim dua orang untuk mengambilnya kembali, tetapi Abū Bashīr berkata: “Ya Rasūlullāh, tegakah engkau mengembalikan aku kepada orang kafir? Niscaya mereka akan memfitnah agamaku sesudah Allah menyelamatkan diriku dari cengkeraman mereka.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya Allah akan menyediakan jalan keluar untukmu dan kawan-kawanmu yang senasib.

Akhirnya, Abū Bashīr tidak menemukan jalan lain selain menuruti perintah sang Rasūl. Maka ia kembali ke Makkah dengan dikawal oleh dua orang Quraisy. Ketika mereka mendekati Dzul-Ḥulaifah, Abū Bashīr menyerang salah satu di antara kedua temannya itu hingga dapat membunuhnya, sedangkan yang satunya lagi sempat melarikan diri kembali ke Makkah. Abū Bashīr kembali lagi ke Madīnah dan menemui Rasūlullāh s.a.w. lalu berkata: “Wahai Rasūlullāh, aku telah memenuhi janjimu dan sekarang aku telah selamat.” Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Sekarang pergilah ke mana kamu suka, tetapi jangan tinggal di Madīnah.” Lalu Abū Bashīr pergi ke suatu tempat yang terletak di tengah rute perjalanan ke negeri Syām. Jalan itu biasa dilalui oleh kafilah dagang Quraisy.

Selanjutnya, Abū Bashīr bermukim di tempat tersebut dan turut bergabung dengannya segolongan kaum Muslimīn Makkah yang selamat melarikan diri. Abū Jandal pun bergabung dengan mereka. Selain itu, penduduk kampung yang mendiami daerah tersebut ikut bergabung pula bersama mereka. Mereka memutus jalan perdagangan kaum Quraisy sehingga logistik mereka terputus. Oleh sebab itu, kaum Quraisy mengirim utusannya untuk memohon kepada Rasūlullāh s.a.w. agar membatalkan persyaratan yang menyangkut hal ini, dan mereka rela memberikan hak kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk tidak mengembalikan orang-orang Quraisy yang datang kepadanya sebagai Muslim. Rasūlullāh s.a.w. menerima usulan tersebut. Allah s.w.t. melenyapkan kesusahan yang menyangkut syarat ini dari hati kaum Muslimīn, sebab mereka tidak tahan melihat kejadian yang mereka alami di Ḥudaibiyah, yaitu ketika Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan mereka untuk mengembalikan Abū Jandal kepada kaum Quraisy. (1212)

Kini, kaum Muslimīn baru mengetahui bahwa pendapat Rasūlullāh s.a.w. adalah lebih utama dan lebih baik daripada pendapat mereka karena dengan dijalankannya persyaratan ini terciptalah perdamaian antara orang-orang Muslim dan orang-orang kafir. Dengan demikian, orang kafir bergaul dengan kaum Muslimīn. Selanjutnya, sinar Islam sempat menyinari hati mereka sehingga Islam semakin berkembang. Abū Bakar r.a. menanggapi hal ini melalui perkataannya: “Tiada suatu penaklukan pun dalam Islam yang paling besar daripada penakklukan Ḥudaibiyah. Hanya saja, pandangan kaum Muslim pendek, tidak seperti Nabi Muḥammad s.a.w. dan Rabb-nya. Sementara itu, para hamba Allah itu selalu terburu-buru, sedangkan Allah tidak akan tergesa-gesa oleh ketergesaan hamba-Nya hingga perkaranya menjadi seperti yang Dia kehendaki.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. pulang dari Ḥudaibiyah, turunlah surah al-Fatḥ kepada beliau:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (al-Fatḥ: 1)

Peperangan ini dinamakan dengan al-Fatḥ-ul-Mubīn (Kemenangan Nyata) adalah sebagai pembenaran terhadap apa yang telah dikatakan oleh shahabat Abū Bakar ash-Shīddīq r.a. tadi.

Catatan:

  1. 120). HR. al-Bukhārī (3182), dan Muslim (1785).
  2. 121). HR al-Bukhārī (2731, 2732).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *