Perang Hudaibiyah – Nurul Yaqin (1/2)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Perang Ḥudaibiyah

Pada suatu malam, Rasūlullāh s.a.w. bermimpi bahwa Beliau dan para shahabat memasuki Masjid-il-Ḥarām dalam keadaan aman, sebagian menggundul rambut dan sebagian lainnya memendekkannya. Rasūlullāh s.a.w. memberitahukan kepada kaum Muslimīn bahwa Beliau hendak ‘umrah. Beliau juga menyerukan kepada orang-orang ‘Arab Badui yang tinggal di sekitar Madīnah untuk ikut bersama beliau, sebagai tindakan hati-hati karena dikhawatirkan kafir Quraisy akan menolak kedatangan mereka. Namun, orang-orang ‘Arab Badui itu enggan karena mereka telah mengetahui bahwa Rasūl dan kaum Muslimīn tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka untuk selama-lamanya. Mereka berdalih dengan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami maka mohonkanlah ampunan untuk kami.”

Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama kaum Muhājirīn dan Anshār yang berjumlah seribu lima ratus orang. Sebelum itu, Rasūlullāh s.a.w. mengangkat ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm untuk memimpin di Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. kali ini membawa istrinya yang bernama Ummu Salamah. Beliau juga membawa hewan udḥiyah (sembelihan) sebagai pemberitahuan kepada kaumnya bahwa ia datang bukan untuk tujuan berperang. Para shahabat pada saat itu tidak membawa senjata apa-apa selain pedang yang tetap dalam sarungnya karena Rasūlullāh s.a.w. tidak suka membawa pedang terhunus sambil melaksanakan ibadah ‘umrah.

Rasūlullāh s.a.w. berangkat hingga sampai di ‘Usfān (1161). Di tempat itu, Rasūlullāh s.a.w. kedatangan informannya yang mengabarkan bahwa orang-orang Quraisy telah sepakat untuk mencegah kaum Muslimīn memasuki kota Makkah, dan mereka berupaya supaya kaum Muslimīn tidak memasukinya dengan kekerasan. Oleh sebab itu, mereka telah mempersiapkan diri untuk berperang, lalu mereka menyuruh Khālid bin Walīd bersama dua ratus pasukan berkuda untuk menghambat perjalanan kaum Muslimīn. Setelah mendengar berita itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapakah yang dapat memberi petunjuk jalan kepada kami supaya tidak berpapasan dengan mereka?” Seorang lelaki dari kabilah Aslam berkata: “Saya, wahai Rasūlullāh. Maka lelaki itu membawa kaum Muslimīn menempuh jalan yang sulit, lalu ia membawa keluar dari jalan sulit itu menuju suatu jalan yang rata dan mudah ditempuh. Jalan ini menuju ke Makkah dari arah bawah.

Tatkala Khālid mengetahui apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimīn, ia kembali ke Makkah menemui orang-orang Quraisy dan mengabarkan kepada mereka keadaan yang dialaminya. Ketika Rasūlullāh s.a.w. sampai di Tsaniyāt-ul-Mirār (1172), tiba-tiba unta Beliau berhenti dan menderum. Para shahabat menghardiknya agar unta itu bangkit, tetapi unta itu tidak juga mau berdiri. Mereka berkata: “Qashwā (nama unta kendaraan Rasūlullāh s.a.w.) membandel tidak mau menurut.” Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sesungguhnya ia tidak membandel dan hal ini bukan kebiasaannya, tetapi ia ditahan oleh yang menahan gajah (pasukan bergajah). Demi Dzāt yang jiwa Muḥammad berada di tangan-Nya, jika kaum Quraisy mengajakku melakukan sesuatu untuk mengagungkan hal-hal yang terhormat di sisi Allah niscaya akan kupenuhi.” (1183)

Padahal andai kaum Muslimīn mau memerangi musuh-musuh mereka pada saat seperti itu, niscaya mereka akan menang. Namun, rupanya Allah s.w.t. mencegah kaum Muslimīn memerangi orang-orang kafir Quraisy sebagaimana Dia pun mencegah orang-orang Quraisy memerangi kaum Muslimīn, untuk menjaga kesucian Ka‘bah; tidak ternodai oleh peperangan. Allah menghendaki Ka‘bah menjadi tempat suci lagi aman, tempat kaum Muslimīn dari segala penjuru untuk memperkuat sendi-sendi persaudaraan mereka.

Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kaum Muslimīn untuk berhenti di perbatasan Ḥudaibiyah. (1194) di tempat itu, datanglah Budail bin Waraqā’ al-Khuzā‘ī, utusan kaum Quraisy yang menanyakan alasan kedatangan kaum Muslimīn ke Makkah. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memberitahukan maksud kedatangannya. Ketika Budail kembali ke kaum Quraisy dan memberitahukan tujuan Rasūlullāh ke Makkah, mereka tidak mempercayainya karena Budail berasal dari Khuzā‘ah yang berpihak kepada Rasūlullāh seperti yang telah dilakukan oleh kakek-moyangnya. Lalu orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Apakah Muḥammad bermaksud memasuki kota kami bersama bala tentaranya untuk ber‘umrah? Tidakkah Muḥammad mendengar apa yang telah dikatakan oleh orang-orang ‘Arab bahwa Muḥammad ingin memasuki kota kami dengan kekerasan dan antara kami dengan dia telah berlangsung peperangan sekian lamanya? Demi Allah, sedikit pun kami tidak mempercayainya.”

Kemudian mereka mengutus Ḥulais bin ‘Alqamah, pemimpin orang Ḥabasyī sekutu kaum Quraisy. Ketika Rasūlullāh s.a.w. melihat kedatangannya, Beliau berkata, “Dia berasal dari kaum yang mengagungkan hadyu (qurban) maka tampakkanlah hewan qurban itu di hadapannya supaya ia melihatnya.” Kaum Muslimīn melakukan apa yang diperintahkan Rasūlullāh s.a.w., lalu mereka menyambutnya dengan talbiyah. Setelah melihat semua itu, Ḥulais kembali dan mengatakan kepada orang Quraisy: “Maha Suci Allah, tidak layak bila mereka dihalangi. Apakah Lakhm, Judzām dan Ḥimyar diperbolehkan haji, sedangkan cucu ‘Abd-ul-Muththalib sendiri dicegah menziarahi Ka‘bah? Celakalah kaum Quraisy. Demi Rabb Ka‘bah, sungguh mereka datang untuk ber‘umrah.”

Setelah mendengar perkataan Ḥulais, mereka berkata kepadanya: “Duduklah dan tenanglah, sesungguhnya engkau ini orang kampung yang tidak mengenal tipu muslihat.”

Lalu orang Quraisy mengirimkan ‘Urwah bin Mas‘ūd ats-Tsaqafī, pemimpin orang Thā’if. Ia menghadap Rasūlullāh s.a.w. dan berkata: “Wahai Muḥammad, engkau telah mengumpulkan berbagai kabilah kemudian engkau datang kepada kaum dan keluargamu. Hal ini berarti engkau ingin mencerai-beraikan mereka. Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah keluar, mereka berjanji kepada Allah supaya engkau tidak memasuki Makkah dengan cara kekerasan untuk selama-lamanya. Demi Allah, seolah-olah diriku ini membayangkan bahwa mereka akan dapat mengalahkan engkau.”

Mendengar hal itu, shahabat Abū Bakar r.a. berkata: “Kamilah yang akan mengalahkan mereka. Celaka kamu ini!”

Sewaktu berbicara, ‘Urwah selalu mengelus-elus janggut Rasūlullāh s.a.w. (sebagai tanda penghormatan). Sementara itu, al-Mughīrah bin Syu‘bah selalu menahan tangan ‘Urwah ketika hendak mengelus janggut Nabi s.a.w. Kemudian ‘Urwah mengulangi hal itu karena ia telah melihat apa yang dilakukan oleh para shahabat kepada Rasūlullāh s.a.w. Setiap kali Beliau s.a.w. berwudhū’, para shahabat hampir bertengkar untuk memperebutkan air bekas wudhū’nya untuk diusap-usapkan kepada anggota tubuh mereka. Bila mana mereka berbicara kepada Rasūlullāh s.a.w. mereka merendahkan suara serta menundukkan pandangan mereka.

‘Urwah berkata kepada orang-orang Quraisy: “Demi Allah, wahai kaum Quraisy semuanya, aku pernah menemui Kisra di kerajaannya dan Kaisar di dalam kebesarannya. Aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya seperti Muḥammad di tengah para shahabatnya. Aku telah melihat suatu kaum yang tak akan pernah menyerahkannya (kepada musuh) dengan imbalan apa pun. Maka dari itu, pertimbangkanlah kembali pendapat kalian karena sesungguhnya ia menawarkan kepada kalian hal yang masuk akal. Maka kunasihatkan agar kalian menerima tawarannya. Aku sangat khawatir kalian tidak akan menang melawannya.”

Orang-orang Quraisy langsung menjawab: “Jangan bicarakan itu lagi, kami telah sepakat untuk menolak kedatangannya tahun ini, dan ia boleh kemari tahun depan.”

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memilih shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. sebagai utusannya untuk memberitahukan kepada kaum Quraisy maksud kedatangannya. Maka, berangkatlah ‘Utsmān diiringi sepuluh orang lainnya. Sebelum itu, mereka meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk menziarahi kerabat-kerabat mereka. Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan ‘Utsmān untuk mengunjungi golongan lemah dari kaum Muslimīn di Makkah, lalu memberitahukan kepada mereka bahwa Fatḥu Makkah telah dekat masanya dan Allah pasti akan memenangkan agama-Nya.

‘Utsmān memasuki Makkah di bawah perlindungan ‘Abbās bin Sa‘īd al-‘Umawī, lalu menyampaikan pesan yang dibawanya. Kaum Quraisy menjawab: “Sesungguhnya Muḥammad selamanya tidak boleh memasukinya (Makkah) dengan kekerasan terhadap kami.” Lalu mereka meminta supaya ‘Utsmān melakukan Thawāf di Ka‘bah, tapi ‘Utsmān menjawab: “Aku tidak akan melakukan thawāf selagi Rasūlullāh s.a.w. dilarang melakukannya.” Kemudian mereka menahan ‘Utsmān dan tersiarlah kabar bahwa ‘Utsmān mati terbunuh. Ketika Rasūlullāh s.a.w. mendengar kabar itu Beliau bersabda: “Kami tidak akan membiarkan hal itu sebelum membalas mereka melalui peperangan.”

Bai‘at-ur-Ridhwān

Rasūlullāh s.a.w. mengajak orang-orang untuk berbai‘at kepadanya dengan menyatakan kesediaan mereka untuk berperang. Lalu mereka berbaiat di bawah sebuah pohon yang terdapat di tempat itu – pohon itu dinamai Syajarat-ur-Ridhwān – , ya‘ni bai‘at maut. Kemudian kabar tentang bai‘at ini tersebar di kalangan Quraisy dan menyebabkan mereka ketakutan.

Sebelum itu, kaum Quraisy telah mengirim 50 pasukannya di bawah pimpinan Mukarriz bin Ḥafsh, untuk mengintai perkemahan kaum Muslimīn dengan harapan mereka dapat menyerang sebagian kaum Muslimīn ketika dalam kondisi lengah. Namun, mereka malah tertangkap oleh patroli yang diketuai oleh shahabat Muḥammad bin Maslamah. Mukarriz sempat melarikan diri. Setelah kaum Quraisy mengetahui hal itu, mereka mengumpulkan sepasukan tentara dari kalangan mereka untuk menyerbu kaum Muslimīn. Terjadilah pertempuran antara mereka dengan kaum Muslimīn. Hasilnya, 12 orang kaum musyrik tertawan dan dari pihak kaum Muslimīn gugur satu orang.

Catatan:

  1. 116). Jaraknya dua mil dari Makkah.
  2. 117). Nama sebuah lembah yang terletak di Ḥudaibiyah.
  3. 118). Zād-ul-Ma‘ād (3/281).
  4. 119). Nama sebuah sumur di dekat Makkah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *