Perang Fijar – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص)
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
Oleh: Muhammad Husain Haekal

 
Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

12. Perang Fijār

Kalau Muḥammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abū Thālib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Makkah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijār. Dan Perang Fijār itulah di antaranya yang telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan kabilah-kabilah ‘Arab. Dinamakan al-Fijār (4) ini karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di ‘Ukkāzh, yang terletak antara Thā’if dengan Nakhlah dan antara Majannā dengan Dzū-l-Majāz, tidak jauh dari ‘Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka‘bah. Pekan ‘Ukkāzh adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan ‘Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa‘īdah) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang Yahudi, Nashrānī dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan suci.

Akan tetapi Barrādz bin Qais dari kabilah Kinānah tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh ‘Urwah ar-Raḥḥāl bin ‘Utbah dari kabilah Hawāzin. Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu‘mān bin al-Mundzir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Ḥirā’ ke ‘Ukkāzh membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barrādz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinānah. Demikian juga ‘Urwah lalu tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Ḥijāz.

Adapun pilihan Nu‘mān terhadap ‘Urwah (Hawāzin) ini telah menimbulkan kejengkelan Barrādz (Kinānah), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barrādz memberitahukan kepada Basyar bin Abī Ḥāzim, bahwa pihak Hawāzin akan menuntut balas kepada Quraisy. Pihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawāzin memberi peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di ‘Ukkāzh.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawāzin. Nama Barrādz ini kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muḥammad pada waktu Perang Fijār itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muḥammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawāzin lalu diberikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasūlullāh menyebutkan tentang Perang Fijār itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”

Sesudah Perang Fijār Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Makkah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hāsyim dan ‘Abd-ul-Muththalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang ‘Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin ‘Abd-ul-Muththalib di rumah ‘Abdullāh bin Jud‘ān diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hāsyim, Zuhrah dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai orang itu tertolong. Muḥammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf-ul-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud‘ān itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”

Seperti kita lihat, Perang Fijār itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat ‘Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.

Adakah juga Muḥammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muḥammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Makkah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Makkah semua memanggilnya al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *