Perang Fathu Makkah yang Terbesar – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

BAB IV

PENAKLUKAN DAN PENYEBARAN DAKWAH

PASAL 1

FATḤU MAKKAH

Perang Al-Fatḥ (Makkah) yang Terbesar

Apabila Allah s.w.t. menghendaki suatu perkara, maka Dia mempersiapkan penyebab-penyebabnya dan melenyapkan semua penghalangnya. Rasūlullāh s.a.w. telah mengetahui bahwa bangsa ‘Arab itu tidak dapat dikalahkan kecuali bila orang Quraisy dikalahkan terlebih dahulu. Bangsa Arab tidak akan mau tunduk kecuali jika penduduk Makkah ditundukkan terlebih dahulu. Rasūlullāh s.a.w. selalu mendambakan penaklukkan kota Makkah, tetapi terhambat oleh perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh orang Quraisy sewaktu di Ḥudaibiyah, sedangkan Rasūlullāh s.a.w. adalah pemimpin yang selalu menunaikan janjinya. Namun, apabila Allah s.w.t. menghendaki suatu perkara terjadi maka Dia akan memudahkan penyebab-penyebabnya.

Sebagaimana telah kita ketahui, kabilah Khuzā‘ah telah mengikat perjanjian dengan pihak Rasūlullāh s.a.w., sedangkan kabilah Bakr dengan pihak Quraisy. Di antara kedua kabilah itu terdapat utang darah pada zaman jahiliah. Hal ini menjadi api yang terpendam karena kemunculan Islam. Ketika perjanjian dan gencatan senjata telah disepakati, ada seorang laki-laki dari kabilah Bakr mendendangkan syair yang menghina Rasūlullāh s.a.w. di hadapan seorang laki-laki dari kabilah Khuzā‘ah. Lelaki dari Khuzā‘ah itu pun bangkit dan langsung memukulnya sehingga peristiwa tersebut membangkitkan kembali dendam kesumat yang selama ini terpendam di antara kedua kabilah tersebut. Bani Bakr teringat akan dendamnya sehingga mereka membulatkan tekad untuk membalas kabilah Khuzā‘ah.

Kemudian mereka (kabilah Bakr) meminta bantuan kepada sekutu mereka dari kalangan Quraisy. Kaum Quraisy pun memberikan bantuan kepada mereka secara diam-diam, yaitu berupa peralatan perang berikut prajurit. Kemudian mereka berangkat menyerang kabilah Khuzā‘ah yang hidup aman sehingga terbunuhlah sekitar dua puluh orang dari kabilah Khuzā‘ah.

Ketika sekutu Rasūlullāh s.a.w. melihat kejadian tersebut, mereka segera mengirim utusan di bawah pimpinan ‘Amr bin Sālim al-Khuzā‘ī untuk memberitahukan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang apa yang dilakukan oleh Bani Bakr dan kaum Quraisy terhadap mereka. Ketika para utusan tersebut sampai di hadapan Rasūlullāh s.a.w., dan telah memberitahukan semua kejadian tersebut maka Nabi s.a.w. berkata: “Demi Allah, aku akan mempertahankan diri kalian sebagaimana aku mempertahankan diriku sendiri.

Tatkala Kaum Quraisy menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan itu sama saja dengan merusak perjanjian yang telah mereka sepakati, mereka pun sangat menyesal. Mereka bermaksud mengobati cela ini lalu mereka mengutus pemimpin mereka, yaitu Abū Sufyān bin Ḥarb ke Madīnah guna memperkuat perjanjian dan untuk menambah masa berlakunya. Abū Sufyān menaiki kendaraannya dan langsung menuju Madīnah. Ia menduga bahwa tiada seorang pun yang mendahuluinya.

Ketika sampai di Madīnah ia singgah di tempat Umm-ul-Mu’minīn, Ummu Ḥabībah, putrinya sendiri. Ketika ia bermaksud duduk di permadani tempat duduk Rasūlullāh s.a.w., Ummu Ḥabībah segera melipatnya. Abū Sufyān berkata: “Hai anakku, apakah engkau lebih menyukainya daripada diriku ataukah engkau lebih menyukai diriku daripadanya?”

Ummu Ḥabībah langsung menjawab: “Engkau tidak berhak menduduki permadani Rasūlullāh s.a.w. karena engkau musyrik dan najis.”

Abū Sufyān berkata: “Sungguh engkau ini telah terkena keburukan sesudahku.”

Lalu Abū Sufyān keluar dari rumah Ummu Ḥabībah dan langsung mendatangi Nabi s.a.w. yang berada di Masjid. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu beliau berkata: “Apakah telah terjadi sesuatu?

Abū Sufyān menjawab: “Tidak.”

Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Kami hanya berpegang pada masa perjanjian yang telah lalu.” Artinya beliau tidak akan memperpanjang masa berlakunya.

Selanjutnya, Abū Sufyān bangkit dan berkeliling di antara sesepuh kaum Muhājirīn dari kalangan kabilah Quraisy dengan harapan mereka mau membantu melaksanakan maksudnya. Ternyata, ia tidak mendapatkan pertolongan apa pun dari mereka. Semua shahabat mengatakan perlindungan kami berada di bawah perlindungan Rasūlullāh s.a.w.

Lalu Abū Sufyān kembali kepada kaumnya tanpa membawa hasil apa pun. Akhirnya, mereka menuduh bahwa ia telah berkhianat kepada mereka dan ia telah masuk agama Islam. Maka, Abū Sufyān melakukan penyembahan di hadapan berhala-berhala untuk menyangkal tuduhan itu. Sementara itu, Rasūlullāh s.a.w. mengadakan persiapan untuk melakukan perjalanan. Beliau s.a.w. memerintahkan para shahabat untuk melakukan hal yang sama. Kemudian shahabat Abū Bakar berkata: “Wahai Rasūlullāh, bukankah di antara engkau dan kaum Quraisy terdapat perjanjian gencatan senjata?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya memang benar, tetapi mereka telah berkhianat dan merusaknya.”

Rasūlullāh s.a.w. menyeru kepada bangsa ‘Arab yang berada di sekitar Madīnah: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah hadir di Madīnah pada bulan Ramadhān.” Kemudian datanglah beberapa golongan dari kabilah Aslam. Muzainah, Asyjā‘, dan Juhainah menyambut seruan tersebut.

Rasūlullāh s.a.w. sengaja menyembunyikan berita ini kepada pasukan supaya tidak tersebar sehingga kaum Quraisy mendengar kemudian bersiap-siap untuk berperang, sementara Rasūlullāh s.a.w. tidak menginginkan terjadi peperangan di Makkah. Beliau s.a.w. hanya ingin menundukkan penduduk Makkah tanpa menyentuh kesucian kota itu. Untuk itu, beliau berdoa kepada Allah:

Ya Allah, tutuplah mata-mata dan sembunyikanlah berita-berita dari kaum Quraisy supaya kami dapat mengejutkan mereka di negerinya.”

Namun, Ḥāthib bin Abī Balta‘ah salah seorang shahabat yang ikut dalam Perang Badar, menulis surat kepada orang Quraisy. Isi surat itu memberitahukan kepada mereka tentang sebagian persiapan yang telah dilakukan Rasūlullāh s.a.w. kemudian ia mengirimkannya melalui seseorang hamba sahaya perempuan untuk disampaikan kepada orang Quraisy dengan segera. Ternyata, Allah s.w.t. memberitahukan hal tersebut kepada Rasūl-Nya. Maka beliau langsung memerintahkan shahabat ‘Alī, Zubair, dan Miqdād untuk mengejarnya. Rasūlullāh s.a.w. berpesan kepada mereka: “Berangkatlah sampai di perkebunan Khakh. Sesungguhnya di kebun itu terdapat seorang wanita musāfir yang membawa surat rahasia. Maka, kalian harus mengambil surat itu dari tangannya.” Kemudian mereka berangkat hingga sampai di kebun tersebut. Di sanalah mereka menjumpai seorang wanita lalu mereka berkata kepadanya: “Keluarkanlah surat itu.”

Perempuan itu menjawab: “Saya tidak membawa surat apa-apa.”

Mereka berkata: “Engkau keluarkan itu atau kami tanggalkan pakaianmu!”

Akhirnya, perempuan itu terpaksa mengeluarkan surat tersebut dari dalam bungkusan bajunya.

Kemudian mereka memberikan surat itu kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu menegur Ḥāthib, “Hai Ḥāthib, apa-apaan ini?”

Ḥāthib menjawab: “Wahai Rasūlullāh, jangan tergesa-gesa menjatuhkan sanksi kepada diriku. Sesungguhnya aku adalah sekutu kaum Quraisy, dan aku bukan dari kalangan mereka. Sementara di antara kaum Muhājirīn yang bersamamu itu, mereka mempunyai kerabat yang melindungi keluarga dan harta bendanya. Maka dari itu, jika tidak lagi mempunyai hubungan nasab dengan mereka, aku ingin membantu mereka untuk melindungi kerabatku. Sungguh, aku melakukan itu bukan karena murtad dari agamaku dan bukan pula karena rela dengan kekafiran setelah masuk Islam.”

Setelah mendengar jawaban itu Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Ia berkata jujur kepada kalian.

Namun, ‘Umar berkata: “Wahai Rasūlullāh, idzinkanlah aku memenggal leher si munāfiq ini.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya ia telah mengikuti Perang Badar. Tahukah engkau, Allah s.w.t. telah melihat orang yang mengikuti Perang Badar, lalu Dia berfirman: “Berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian’.” Sehubungan dengan peristiwa ini Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muḥammad) karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasūl dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhāan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muḥammad) kepada mereka karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Mumtaḥanah: 1)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama pasukannya yang berjumlah besar itu pada pertengahan bulan Ramadhān, setelah mengangkat ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm sebagai pengganti beliau di Madīnah. Jumlah pasukan tersebut adalah sepuluh ribu orang. Ketika sampai di al-Abwā’, mereka bertemu dengan dua orang lelaki yang termasuk musuh besar Rasūlullāh s.a.w., yaitu saudara sepupu Rasūlullāh s.a.w. sendiri yang bernama Abū Sufyān bin Ḥārits bin ‘Abd-il-Muththalib. Dia adalah saudara sekandung ‘Ubaidah bin Ḥārits yang telah gugur dalam Perang Badar sebagai syuhadā’. Seorang lagi adalah saudara ipar Rasūlullāh s.a.w. sendiri bernama ‘Abdullāh bin Umayyah bin al-Mughīrah, saudara kandung Ummu Salamah, istri Rasūlullāh s.a.w. Keduanya hendak masuk Islam, lalu beliau s.a.w. menerima mereka dengan baik, dan beliau sangat gembira dengan (keislaman) mereka. Lalu beliau s.a.w. membacakan firman-Nya:

Dia (Yūsuf) berkata: “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yūsuf: 92)

Ketika sampai di al-Kadīd. Rasūlullāh s.a.w. merasakan bahwa berpuasa dirasakan sangat berat oleh kaum Muslimīn. Lalu beliau memerintahkan kaum Muslimīn untuk berbuka dan beliau juga membatalkan puasanya. Di tengah perjalanan, Rasūlullāh s.a.w. berjumpa dengan paman beliau al-‘Abbās, yang dalam perjalanan untuk hijrah ke Madīnah bersama keluarga dan anak-anaknya. Rasūlullāh s.a.w. memerintahkannya kembali ke Makkah bersamanya dan mengirimkan keluarganya ke Madīnah.

Ketika sampai di Marr-uzh-Zhahrān, beliau s.a.w. memerintahkan kaum Muslimīn menyalakan sepuluh ribu obor. Kaum Quraisy pada saat itu telah mendengar berita bahwa Muḥammad bersama pasukan yang amat besar sedang bergerak, tetapi tidak mengetahui secara pasti ke mana arahnya. Mereka mengutus Abū Sufyān bin Ḥarb dan Ḥakīm bin Ḥizām serta Budail bin Warqā’ untuk mencari informasi tentang Rasūlullāh s.a.w. dan pasukannya. Ketiga orang tersebut menyanggupi tugas ini, lalu mereka berjalan hingga sampai di Marr-uzh-Zhahrān. Di tempat itu, mereka dikejutkan dengan banyaknya obor seperti obor ‘Arafah. Abū Sufyān berkata: “Apakah itu? Itu seperti obor ‘Arafah.” Budail bin Warqā’ berkata: “Mungkin itu obor orang Bani ‘Amr.” Namun, Abū Sufyān menyangkal: “Bani ‘Amr tidak sebanyak itu.”

Kemudian mereka dipergoki oleh penjaga Rasūlullāh s.a.w. lalu menangkap mereka dan menghadapkannya kepada Rasūlullāh s.a.w. Abū Sufyān masuk Islam saat itu. Ketika hendak berangkat, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada al-‘Abbās, “Tahanlah Abū Sufyān di bukit sehingga dapat melihat kaum Muslimīn.” Al-‘Abbās pun menahannya. Lalu satu persatu, setiap kabilah berlalu di depan Abū Sufyān. Pada saat itu, Abū Sufyān bertanya-tanya: “Apakah artinya aku dengan mereka?” Ketika satu kabilah Anshār yang dipimpin oleh Sa‘ad bin ‘Ubādah melintas, Sa‘ad berkata: “Hai Abū Sufyān, hari ini adalah hari pertempuran. Pada hari ini Ka‘bah dihalalkan.” Lalu Abū Sufyān berkata: “Hai ‘Abbās, andaikata aku dapat membela tumpah darahku.” Kemudian datang segolongan pasukan yang jumlahnya agak sedikit yang di dalamnya terdapat Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabat, sedangkan orang yang memegang panji adalah Zubair bin al-‘Awwām. Abū Sufyān memberitahukan kepada Rasūlullāh s.a.w. apa yang telah dikatakan Sa‘ad. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sa‘ad bohong, bahkan hari ini adalah hari Allah mengagungkan Ka‘bah. Dan hari ini adalah hari Ka‘bah diberi pakaian.” (11)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar panji-panji ditancapkan di Ḥajūn (22) lalu memerintahkan pula agar Khālid bin Wālid memasuki Makkah dari daerah bawah, yaitu dari Kudan (كُدًى), sedangkan Rasūlullāh s.a.w. sendiri memasukinya dari daerah Kadā’ (كَدَاء). Selanjutnya, penyeru menyerukan: “Barang siapa memasuki rumahnya lalu mengunci pintu maka ia aman; barang siapa memasuki Masjid-il-Ḥarām maka ia aman; dan barangsiapa memasuki rumah Abū Sufyān maka ia aman.” Hal ini merupakan anugerah besar bagi Abū Sufyān yang kini telah masuk Islam. Namun, dikecualikan juga segolongan orang yang dosanya sangat besar dan telah menyakiti Islam serta para pemeluknya dengan tindakan-tindakan melampaui batas. Darah mereka tidak dilindungi—-sekali pun mereka bergantungan pada kain Ka‘bah.

Di antara mereka yang tidak dilindungi adalah ‘Abdullāh bin Sa‘ad bin Abī Sarḥ yang telah masuk Islam dan pernah menjadi juru tulis wahyu Rasūlullāh selama beberapa waktu, tetapi ia murtad dan membuat kebohongan-kebohongan tentang Rasūlullāh s.a.w. Ia pernah mengatakan: “Sesungguhnya Muḥammad pernah memerintahkan kepadaku supaya menuliskan ‘Alīmun Ḥakīm. Lalu aku menuliskannya menjadi Ghafūrun Raḥīm, lalu ia mengatakan: “Semuanya baik”.” (33)

Termasuk yang tidak dilindungi adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahal, Shafwān bin Umayyah, Ḥarb bin al-Aswad, al-Ḥārits bin Hisyam, Zuhair bin Abī Umayyah, Ka‘ab bin Zuhair, Waḥsyī pembunuh shahabat Ḥamzah, Hindun binti ‘Atibah (عتبة) (Istri Abū Sufyān), dan beberapa orang lainnya. Rasūlullāh s.a.w. melarang membunuh selain mereka kecuali orang yang melawan.

Pasukan Khālid bin Walīd disambut oleh orang Quraisy dengan maksud menghalang-halangi mereka masuk. Maka Khālid bertempur melawan mereka sehingga berhasil membunuh 24 orang pihak musuh. Sementara dari pasukannya hanya dua orang yang gugur. Khālid masuk Makkah dari arah ini dengan melalui peperangan terlebih dahulu, dan berhasil mendobraknya. Pasukan Rasūlullāh s.a.w. tidak menemukan hambatan apa pun. Pada saat itu, Rasūlullāh s.a.w. menaiki hewan kendaraannya. Ketika itu, beliau memboncengkan Usāmah bin Zaid. Hal itu terjadi pada pagi hari tanggal 20 Ramadhān. Rasūlullāh s.a.w. terus berjalan hingga sampai di al-Ḥajūn, tempat panji dipancangkan. Di tempat itu telah disediakan pula sebuah kemah untuknya. Di dalam kemah telah ada Ummu Salamah dan Maimūnah, lalu Nabi beristirahat sejenak. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanannya, di sampingnya ada Abū Bakar r.a. yang menjadi teman berbicara, sedangkan Rasūlullāh s.a.w. pada saat itu membacakan surat al-Fatḥ hingga sampai Baitullāh.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. sampai di Ka‘bah, beliau langsung thawaf sebanyak tujuh kali dengan menunggang kendaraannya, dan mencium Ḥajar Aswad hanya dengan perantaraan tongkat bengkoknya. Pada saat itu, di sekeliling Ka‘bah terdapat sekitar 360 berhala. Rasūlullāh s.a.w. menusuk berhala-berhala itu dengan tongkat beliau seraya mengatakan: “Telah datang perkara yang hak, dan lenyaplah yang batil. Kebatilan tidak akan muncul dan tidak akan kembali lagi.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kaum Muslimīn supaya mengeluarkan berhala-berhala itu dari Ka‘bah. Di dalam Ka‘bah terdapat gambar Nabi Ismā‘īl dan Nabi Ibrāhīm: “Semoga Allah s.wt. mela‘nat mereka yang menggambarnya. Sebenarnya mereka telah mengetahui bahwa keduanya tidak pernah memakai azlam (الأزلام) tersebut.

Ini adalah pertama kalinya Ka‘bah disucikan dari penyembahan-penyembahan yang batil itu. Dengan bersihnya Ka‘bah dari hal-hal yang najis seperti itu, maka lenyaplah penyembahan berhala dari kalangan bangsa ‘Arab seluruhnya. Memang masih ada yang tetap melakukannya, tetapi jumlahnya sangat sedikit sehingga boleh dikatakan hampir lenyap.

Catatan:

  1. 1). HR. al-Bukhārī (4280).
  2. 2). Dataran tinggi kota Makkah.
  3. 3). HR. al-Bukhārī (3617) dan Muslim (2781).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *