Tidak lama setelah Rasūlullāh s.a.w. sampai di Madīnah, datanglah Kurzu bin Jābir al-Fihrī menyerang dan merampok hewan ternak milik penduduk Madīnah, kemudian ia lari bersama kawan-kawannya. Maka Rasūlullāh s.a.w. keluar mengejarnya. Sebelum itu, beliau menunjuk Zaid bin Ḥāritsah al-Anshārī untuk memimpin Madīnah. adapun pemegang panji perangnya adalah ‘Alī bin Abī Thālib r.a. Rasūlullāh s.a.w. terus melakukan pengejaran hingga sampai di daerah Safawān. (282) Rupanya Kurzu telah lari jauh sehingga Rasūlullāh s.a.w. tidak mengalami peperangan. Peperangan ini dinamakan Perang Badar Pertama.
Pada bulan Rajab tahun (kedua) itu Rasūlullāh s.a.w. mengirim sariyyah yang personelnya terdiri atas delapan orang di bawah pimpinan ‘Abdullāh bin Jaḥsy. Rasūlullāh s.a.w. memberinya sepucuk surat yang disegel. Surat itu tidak boleh dibuka sebelum ia meninggalkan Madīnah selama dua hari. Setelah berjalan selama dua hari. ‘Abdullāh bin Jaḥsy membuka surat tersebut dan langsung membacanya. Bunyi surat itu adalah sebagai berikut:
Bilamana engkau membaca suratku ini, berangkatlah terus sampai engkau mencapai Nakhlah. Engkau harus berkemah di situ, kemudian intailah dari tempat itu gerak-gerik orang-orang Quraisy. Setelah itu, engkau beritahukan kepada kami mengenai keadaan mereka.
Kali ini sengaja Rasūlullāh s.a.w. tidak memberitahukan kepada mereka tentang tujuannya ketika masih berada di Madīnah karena Rasūlullāh s.a.w. khawatir bila berita ini tersiar, musuh-musuh Islām yang terdiri atas kaum munāfiqīn atau orang-orang Yahūdī akan menyampaikannya kepada kaum Musyrikīn Quraisy. Apabila berita itu bocor, keadaannya akan menjadi berbalik, yaitu orang-orang Quraisy akan menunggu kedatangan mereka. Alasan lainnya, jumlah personel kaum Muslimīn yang dikirimkan pada saat itu sangat sedikit dan tidak akan mampu mengadakan perlawanan.
Shahabat ‘Abdullāh bin Jaḥsy meneruskan perjalanannya, tetapi di tengah jalan Sa‘ad bin Abī Waqqāsh dan ‘Utbah bin Ghazwān tertinggal karena keduanya sibuk mencari unta mereka yang hilang. Sementara itu, pasukan yang lainnya terus berjalan hingga sampai di daerah Nakhlah. Ternyata tidak lama kemudian lewatlah iring-iringan kafilah Quraisy menuju Makkah. Dalam kafilah tersebut terdapat ‘Amru bin al-Ḥadhramī, ‘Utsmān bin ‘Abdullāh bin al-Mughīrah dan saudara laki-lakinya, serta al-Ḥakam bin Kaisān. Kaum Muslimīn sepakat untuk menyerang mereka dan merampas semua barang yang mereka bawa itu. Penyerangan itu bertepatan dengan akhir bulan Rajab. Mereka berhasil membunuh ‘Amru bin al-Ḥadhramī, dan menawan ‘Utsmān, serta al-Ḥakam. Sementara Naufal sempat melarikan diri. Setelah itu, mereka menggiring iringan-iringan kafilah itu, yang kini telah dikuasai kaum Muslimīn. Ini merupakan ghanīmah pertama bagi kaum Muslimīn yang diambil dari musuh-musuh mereka, kaum musyrikīn Quraisy.
Kaum Muslimīn kembali ke Madīnah, dan orang-orang musyrik yang mengejar mereka tidak dapat menyusulnya. Setelah mereka tiba di Madīnah, tersiar berita bahwa mereka telah melakukan peperangan dalam bulan-bulan Ḥarām. Orang Quraisy mencela perbuatan kaum Muslimīn demikian pula orang Yahūdī. Mereka pun ditegur dengan keras oleh kaum Muslimīn sendiri sehingga Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada jamā‘ah kaum Muslimīn yang ikut berperang: “Aku tidak memerintahkan kalian untuk melakukan peperangan dalam bulan-bulan Ḥarām.” Akhirnya, mereka menyesali perbuatan itu. Namun, kemudian Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ وَ صَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ وَ كُفْرٌ بِهِ وَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ إِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللهِ وَ الْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan haram, katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid-il-Ḥarām dan mengusir penduduknya dari sekitarnya itu lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh’.” (QS. al-Baqarah [2]: 217)
Dengan turunnya ayat ini legalah hati kaum Muslimīn yang terlibat dalam peperangan tersebut.
Lalu kaum musyrikīn meminta untuk menebus kedua orang yang ditawan oleh kaum Muslimīn, tetapi Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “(Tunggu) Sampai Sa‘ad dan ‘Utbah pulang.” Setelah keduanya pulang dengan selamat, barulah Rasūlullāh s.a.w. menerima tebusan mereka untuk membebaskan dua orang tawanannya. Sementara al-Ḥakam bin Kaisān, salah seorang yang tertawan, masuk Islām dan menjalankan Islāmnya dengan baik bersama kaum Muslimīn lainnya. Adapun ‘Utsmān, tawanan yang lainnya, pulang ke Makkah dan tetap kafir.
Selama lima belas bulan tinggal di Madīnah, dalam shalatnya Rasūlullāh s.a.w. menghadap ke arah Bait-ul-Maqdis. Padahal Beliau sendiri sangat menginginkan supaya qiblat shalatnya menghadap Ka‘bah. Karena itu, Beliau sering berdoa memohon kepada Allah s.w.t. untuk hal tersebut. Pada suatu hari, ketika Rasūlullāh s.a.w. sedang shalat, turunlah wahyu kepadanya yang memerintahkan agar mengalihkan qiblat ke Ka‘bah. Seketika itu juga Rasūlullāh s.a.w. berpaling ke arah qiblat (Ka‘bah) dan orang-orang yang ma’mūm kepada Beliau pada saat itu turut berpaling pula.
Ternyata kejadian ini menyebabkan berpalingnya kaum Muslimīn yang masih lemah imannya; mereka murtad dan kembali ke agamanya semula.
Sementara itu, kaum Yahūdī melancarkan kecaman keras terhadap Islām karena perpindahan arah qiblat ini. Mereka tidak menyadari bahwa hanya milik Allah s.w.t. timur dan barat itu. Dia-lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
Pada bulan Sya‘bān tahun ini juga Allah s.w.t. mewajibkan ibadah puasa Ramadhān kepada umat Islām. Sebelumnya, puasa yang biasa dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. adalah tiga hari pada setiap bulannya. Puasa merupakan salah satu pilar agama Islām dan kewajiban yang membuat tatanan Islām berjalan dengan sempurna, karena watak manusia cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak menghiraukan kebutuhan-kebutuhan kaum yang lemah dan miskin. Dengan ibadah puasa, ditanamkan dalam diri mereka rasa solidaritas. Membuatnya turut merasakan keadaan orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka karena tidak mempunyai kemampuan yang memadai. Tiada hal lain yang lebih pedih dan lebih berpengaruh terhadap diri seseorang dengan lapar dan dahaga. Sebab, dengan lapar dan dahaga, hati mereka menjadi lunak dan melatih perilaku mereka, sehingga mereka ringan untuk mengeluarkan sedekah.
Oleh karena itu, setelah berpuasa (Ramadhān) Allah Yang Maha Bijaksana mewajibkan zakat fithri. Maka dapat kita lihat kaum Muslimīn menunaikannya dengan murah hati dan penuh kecintaan.
Pada tahun itu juga diwajibkan mengeluarkan zakat māl. Zakat itu merupakan satu-satunya sistem yang dengannya kaum fakir dan miskin dapat makan dari harta saudara-saudara mereka yang kaya tanpa merugikan mereka. Apabila jumlah uang yang dimiliki oleh seorang Muslim mencapai sepuluh dinar atau dua ratus dirham, dan telah genap satu tahun masa kepemilikannya, maka orang yang bersangkutan diwajibkan menunaikan zakat māl sebanyak dua setengah persen. Apabila lebih, diperhitungkan sesuai dengan kelebihannya. Apabila harta yang dimiliki berupa kambing, maka harus mencapai empat puluh ekor, dan jika unta harus mencapai lima ekor. Setelah masa kepemilikannya genap satu tahun, maka diwajibkan baginya mengeluarkan zakat māl yang dimilikinya itu. Yaitu sebanyak yang telah ditentukan oleh syarī‘at. Demikian pula harta berupa barang dagangan dan hasil pertanian, diwajibkan mengeluarkan zakat sesuai ketentuan syarī‘at.
Kemudian harta zakat itu dikumpulkan oleh imam, dan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu kaum fakir miskin dan golongan lainnya seperti disebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para mualaf yang dibujuk hatinya; untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketentuan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60)
Orang yang cerdik dan berakal serta jauh dari fanatisme niscaya akan menilai pada awal perhatiannya bahwa sistem ini, disamping tidak menimbulkan mudarat kepada orang-orang kaya, dapat pula meringankan tekanan musibah yang menimpa kaum fakir miskin. Musibah-musibah tersebut seringkali mendorong kebanyakan kaum fakir miskin di berbagai bangsa menentang tatanan negara mereka, kemudian mendorong mereka untuk menciptakan prinsip yang justru menghancurkan pembangunan dan merusak stabilitas keamanan, seperti apa yang biasa dilakukan oleh golongan kaum sosialis dan golongan lainnya.