Mengenai tawanan perang, jumlah mereka tujuh puluh orang. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membunuh dua orang di antara mereka yaitu ‘Utbah bin Abī Mu‘aith dan an-Nadhīr bin al-Ḥārits karena keduanya sewaktu di Makkah termasuk orang-orang yang paling keras dalam menghina Rasūlullāh s.a.w. Peristiwa ini berlangsung pada tanggal 17 Ramadhān, bertepatan dengan tanggal turunnya al-Qur’ān; jarak antara turunnya al-Qur’ān dan Perang Badar adalah empat belas tahun Qamariyah.
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar jenazah orang-orang yang terbunuh dari kalangan kaum musyrikīn dibereskan. Jenazah mereka dipindahkan dari tempat kematian mereka yang telah diberitahukan oleh Rasūlullāh s.a.w. sebelum kejadian tersebut, lalu dimasukkan menjadi satu ke dalam sumur tua di Badar. Sebab termasuk sunah Rasūlullāh s.a.w. dalam semua peperangan yang dialaminya, bila beliau menemui jenazah maka beliau memerintahkan agar jenazah itu dikubur tanpa menanyakan apakah jenazah itu mu’min atau kafir. Ketika jenazah ‘Utbah, orang tua Abū Ḥudzaifah, salah seorang yang paling dahulu masuk Islām, dilemparkan ke dalam sumur itu, Rasūlullāh s.a.w. menghampiri anaknya. Beliau menangkap suatu roman dari mukanya maka Beliau bersabda kepadanya: “Barangkali ada sesuatu yang menjadi pikiranmu sehubungan dengan ayahmu itu?”
Abū Ḥudzaifah menjawab: “Tidak demi Allah, hanya saja aku mengetahui bahwa ayahku itu adalah seorang yang kritis, penyantun dan memiliki keutamaan. Aku selalu mengharapkan semoga Allah memberinya petunjuk masuk Islām, tetapi setelah aku melihat kematiannya dalam kekafiran, hal itu membuatku sedih.”
Maka Rasūlullāh s.a.w. mendoakan kebaikan untuk Abū Ḥudzaifah.
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar kendaraannya dipersiapkan. Beliau menaikinya dan berhenti di depan sumur tua tempat jenazah orang-orang musyrik dilemparkan. Di situ Rasūlullāh s.a.w. menyeru mereka dengan nama mereka dan nama ayah-ayah mereka:
“Hai fulan bin fulan, dan hai fulan bin fulan! Bukankah akan menggembirakan andai kalian dahulu taat kepada Allah dan Rasūl-Nya? Sungguh kami telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan Rabb kami. Maka apakah kalian juga telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan Rabb kalian dengan sebenarnya?”
Lalu ‘Umar r.a. bertanya: “Wahai Rasūlullāh, mengapa engkau berbicara pada jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa?”
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Demi Dzāt yang jiwa Muḥammad berada di Tangan-Nya, sungguh mereka dapat mendengarkan apa yang aku katakan, sama dengan kalian.”
‘Ā’isyah r.a. menafsirkan bahwa maksudnya Beliau s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwa apa yang telah aku katakan kepada mereka adalah benar.” Lalu ‘Ā’isyah r.a. membacakan firman-Nya:
“Sesungguhnya engkau tidak dapat membuat orang-orang yang mati itu mendengar.” (QS. an-Naml: 80)
(Maksudnya) Beliau mengatakan: “Mereka mengetahui hal tersebut pada saat mereka menduduki tempatnya di neraka.” (401)
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan utusannya untuk menyampaikan berita gembira. Beliau mengirimkan ‘Abdullāh bin Rawāḥah kepada penduduk daerah ‘Āliyah, (412) dan mengirimkan Zaid bin Ḥāritsah kepada penduduk as-Sāfilah (Yang mendiami dataran rendah kota Madīnah) seraya menaiki unta Rasūlullāh s.a.w. Selama kepergian Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabat ke Badar, orang-orang munāfiq dan orang-orang kafir Yahūdī selalu menakut-nakuti kaum Muslimīn penduduk Madīnah dengan berita yang negatif mengenai Rasūlullāh s.a.w.
Demikianlah kebiasaan musuh; mereka menyiarkan berita yang tidak baik mengenai kaum Muslimīn dengan maksud untuk memfitnah kaum Muslimīn. Namun, tatkala utusan Rasūlullāh s.a.w. datang membawa berita gembira (ya‘ni kemenangan kaum Muslimīn), hal itu membuat gembira penduduk Madīnah. Kedatangan para utusan ini bertepatan dengan waktu mereka selesai menguburkan jenazah Ruqayyah binti Rasūlullāh s.a.w., istri shahabat ‘Utsmān.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. kembali ke Madīnah. Pada saat itu terjadi perselisihan di antara sebagian kaum Muslimīn mengenai pembagian ghanimah. Kaum muda mengatakan: “Kami terjun langsung ke medan perang maka (ghanīmah) itu milik kami semua.” Sementara kaum tua berkata: “Kami membantu kalian maka kami berhak mendapatkannya bersama kalian.” Karena perselisihan ini akan menyebabkan kelemahan dan menanamkan permusuhan serta kebencian yang akan mencerai beraikan persatuan maka untuk memutuskan perselisihan ini Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya, ya‘ni awal Sūrat-ul-Anfāl:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ للهِ وَ الرَّسُوْلِ فَاتَّقُوا اللهَ وَ أَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَ أَطِيْعُوا اللهَ وَ رَسُوْلَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Mereka menanyakan kepadamu (tentang) pembagian harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasūl, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasūl-Nya jika kalian orang-orang yang beriman’.” (QS. al-Anfāl [8]: 1)
Cahaya al-Qur’ān menerangi hati mereka, sehingga mereka menjadi rukun setelah hampir berpecah belah. Akhirnya, mereka mau menyerahkan urusan ghanīmah sepenuhnya kepada Rasūlullāh s.a.w. sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh al-Qur’ān. Lalu Rasūlullāh s.a.w. membaginya secara adil. Bagian untuk pasukan infanteri disamakan antara satu sama lainnya, dan pasukan berkuda disamakan bagiannya dengan pasukan berkuda lainnya.
Rasūlullāh s.a.w. juga memberikan jatah bagian ghanīmah kepada orang-orang yang tidak ikut berperang, tetapi mereka diberi tugas khusus. Mereka yang mendapat bagian jenis ini adalah Abū Lubābah al-Anshārī karena ia diberi tugas menjadi pengganti Rasūlullāh s.a.w. untuk mengurusi penduduk kota Madīnah. Al-Ḥārits bin Abī-l-Hathib mendapat bagian karena Rasūlullāh s.a.w. memberinya tugas sebagai pengganti tugas Rasūlullāh s.a.w. atas Bani ‘Amr bin ‘Auf, yaitu untuk melakukan tugas khusus yang telah diperintahkan oleh Rasūlullāh s.a.w. kepadanya. Al-Ḥārits bin ash-Shummah dan Khawwat bin Jubair mendapat bagian karena kedua kakinya terkilir sewaktu di Rauḥā’ sehingga mereka tidak dapat berjalan. Thalḥah bin ‘Ubaidillāh dan Sa‘id bin Zaid keduanya mendapat bagian karena ditugasi Rasūlullāh s.a.w. untuk menjadi mata-mata yang mengawasi semua gerakan musuh, dan keduanya baru kembali ke Madīnah setelah perang usai. (423) ‘Utsmān bin ‘Affān diberi bagian karena Rasūlullāh s.a.w. menitipkan putrinya, Ruqayyah, yang telah menjadi istri ‘Utsmān, supaya ‘Utsmān merawatnya. (434)
‘Āshim bin ‘Adī mendapat bagian karena Rasūlullāh s.a.w. memberinya tugas sebagai pengganti Rasūlullāh s.a.w. untuk mengatur penduduk Quba dan daerah ‘Āliyah.
Selain itu, Rasūlullāh s.a.w. juga memberikan bagian ghanīmah kepada kaum Muslimīn yang gugur di medan perang. Jumlah mereka ada empat belas orang. Di antara mereka yang gugur ialah ‘Ubaidah bin al-Ḥārits bin ‘Abd-il-Muththalib bin Hāsyim yang terluka sewaktu duel pada permulaan perang. Ia meninggal dunia ketika kaum muslimin dalam perjalanan kembali ke Madīnah dari Badar, dan dimakamkan di ash-Shafra.
Saat mendekati Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. disambut oleh para gadis dari Madīnah yang menabuh Rabana seraya melantunkan:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا | مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ |
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا | مَا دَعَى للهِ دَاعْ |
أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا | جِئْتَ بِالْأَمْرِ الْمُطَاعْ |
Telah terbit purnama
dari Tsaniyāt-il-Wadā‘
Kami wajib bersyukur
atas seruannya mengajak kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami,
sungguh engkau membawa perkara yang ditaati.