Tak lama dari keberangkatan kafilah dagang besar menuju Syām yang hendak dicegat Rasūlullāh s.a.w. tetapi belum berhasil, Beliau selalu menunggu dan mengawasi kepulangannya. Maka begitu mendengar kabar kepulangannya, Rasūlullāh s.a.w. menyeru para shahabatnya: “Ini adalah kafilah dagang orang Quraisy. Keluarlah kalian untuk mencegatnya semoga Allah menghadiahkannya kepada kalian sebagai ghanīmah.”
Di antara para shahabat ada yang menyambut seruan itu dan sebagian lainnya berkeberatan karena mengira bahwa Rasūlullāh s.a.w. tidak bermaksud untuk berperang. Sebab, Rasūlullāh s.a.w. menyampaikannya secara langsung, tetapi dengan mengatakan: “Barang siapa yang kendaraannya telah siap, silahkan berangkat bersama kami.” Dengan demikian, Rasūlullāh s.a.w. tidak menunggu lagi orang-orang yang kendaraannya belum siap atau yang tidak memilikinya.
Tepatnya pada tanggal 13 Ramadhān, Rasūlullāh s.a.w. keluar untuk mencegat kafilah tersebut setelah beliau menunjuk ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm memimpin di Madīnah. Pada waktu itu Rasūlullāh s.a.w. disertai 313 orang laki-laki; 240 lebih dari Anshār, sedangkan yang lainnya dari Muhājirīn. Mereka membawa dua ekor kuda dan tujuh puluh ekor unta. Adapun pembawa panji perangnya adalah Mush‘ab bin ‘Umair al-‘Abdarī.
Tatkala Abū Sufyān, pemimpin kafilah tersebut, mengetahui bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah keluar untuk menghadangnya, ia segera menyewa seorang pengendara kuda tercepat untuk menghubungi orang-orang Quraisy dan menyampaikan kabar tersebut kepada mereka. Sewaktu orang Quraisy mendengar kabar tersebut, fanatisme mereka terbakar, dan mereka takut kafilah dagangnya diserang. Maka mereka segera meniup terompet siap berperang sehingga tiada seorang pun dari kalangan orang terhormat mereka yang tertinggal kecuali Abū Lahab bin ‘Abd-il-Muththalib. Ia hanya mengirimkan wakilnya, yaitu al-‘Āsh bin Hisyām bin al-Mughīrah. Sementara Umayyah, ia bermaksud tidak ikut karena telah mendengar berita dari Sa‘ad bin Mu‘ādz ketika umrah tak lama setelah hijrah, seperti yang telah diwirayatkan oleh Imām al-Bukhārī. (322) Sa‘ad bin Mu‘ādz berkata kepadanya: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Mereka (kaum Muslimīn) akan membunuhnya’.” Umayyah bertanya: “Di Mekah?” Mu‘ādz menjawab: “Aku tidak tahu.”
Ternyata berita ini membuatnya ketakutan dan bersumpah tidak akan keluar. Namun, Abū Jahal terus membujuknya sehingga akhirnya ia pun mau keluar dengan maksud akan kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang tidak lama. Hanya saja, kehendak Allah s.w.t. berbeda di atas seluruh kehendak, akhirnya ajal telah menggiringnya kepada kebinasaan meskipun ia tidak berniat untuk ikut berperang.
Allah s.w.t. telah menggariskan bahwa ia harus mati dalam Perang Badar. Demikian pula beberapa orang dari kalangan orang terhormat kaum Quraisy yang bermaksud tetap tinggal di Makkah, tetapi mereka dicela oleh teman-temannya. Pada akhirnya, pasukan Quraisy sepakat untuk keluar bersama. Mereka keluar dengan perasaan segan dan malas. Di barisan depan terdapat perempuan-perempuan biduan yang menyanyikan lagu-lagu bernada menghina kaum Muslimīn. Sehubungan dengan hal ini Allah s.w.t. berfirman:
وَ إِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَ قَالَ لَا غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَ إِنِّيْ جَارٌ لَّكُمْ
“Dan ketika syaithān menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang menentang terhadap kalian hari ini, dan sesungguhnya aku ini adalah pelindung kalian’.” (QS. al-Anfāl [8]: 48)
Allah s.w.t. membuat permisalan pekerjaan setan ini supaya diambil pelajaran oleh orang-orang yang mempunyai akal sesudah mereka, Allah s.w.t. berfirman:
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّيْ بَرِيْءٌ مِّنْكَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“(Bujukan orang-orang munāfiq itu adalah) seperti (bujukan) syaithān ketika dia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu!’ dan tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah. Rabb semesta alam’.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 16)
Demikianlah pekerjaan setan dalam peristiwa tersebut. Kemudian Allah s.w.t. menjelaskan melalui firman-Nya yang lain yaitu:
……فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ قَالَ إِنِّيْ بَرِيْءٌ مِّنْكُمْ إِنِّيْ أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ وَ اللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Maka tatkala kedua pasukan itu telah saling melihat (berhadapan), syaithān itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri daripada kalian; sesungguhnya aku dapat melihat apa yang tidak dapat kalian lihat; sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan Allah sangat keras siksaan-Nya’.” (QS. al-Anfāl [8]: 48)
Jumlah pasukan musyrikīn adalah 950 orang. Di antara mereka terdapat 100 pasukan berkuda dan 700 pasukan berunta.
Rasūlullāh s.a.w. tidak mengetahui sedikit pun apa yang telah dikerjakan oleh kaum musyrikīn karena beliau keluar hanya untuk mencegat kafilah dagang milik orang Quraisy. Oleh sebab itu, Rasūlullāh s.a.w. tidak membuat persiapan yang lengkap untuk menghadapi mereka. Rasūlullāh s.a.w. berkemah di Buyūtu-Suqyā yang terletak di luar kota Madīnah, lalu memeriksa barisan kaum Muslimīn dan menyuruh pulang orang yang tidak mempunyai kemampuan berperang. Kemudian Beliau s.a.w. mengirim dua orang untuk memata-matai kafilah dagang Quraisy itu. Sewaktu Rasūlullāh s.a.w. tiba di Rauḥā’, (333) Beliau mendengar berita tentang pasukan kaum Quraisy yang bermaksud melindungi kafilah dagang mereka dan datang pula dua orang mata-matanya yang membawa berita bahwa kaum Quraisy akan sampai di Badar besok atau lusa.
Setelah mendengar kedua berita tersebut, Rasūlullāh s.a.w. segera mengumpulkan pemimpin pasukannya, lalu berkata kepada mereka:
“Wahai kaum Muslimīn, sesungguhnya Allah s.w.t. telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan, yaitu kafilah atau pasukan.”
Di sini tampak jelas bagi Rasūlullāh s.a.w. bahwa sebagian di antara mereka berkeinginan memilih golongan yang tidak mempunyai kekuatan yaitu kafilah dagang, mereka bermaksud menguasai harta benda yang dibawa oleh kafilah tersebut; dan ternyata jawaban mereka adalah: “Mengapa engkau tidak menyebutkan kepada kami mau berperang sehingga kami membuat persiapan untuk itu?” Hal ini sesuai dengan penjelasan yang telah dikemukakan oleh Allah s.w.t. melalui firman-Nya:
وَ إِذْ يَعِدُكُمُ اللهُ إِحْدَى الطَّائِفَتِيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَ تَوَدُّوْنَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُوْنُ لَكُمْ
“Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepada kalian bahwa salah satu dari kedua golongan (yang kalian hadapi) adalah untuk kalian, sedangkan kalian menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan sajalah untuk kalian.” (QS. al-Anfāl [8]: 7)
Maka berdirilah al-Miqdād bin al-Aswad r.a., lalu ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, teruskanlah langkahmu seperti yang diperintahkan Allah kepadamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Bani Isrā’īl kepada Nabi Mūsā: “Pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. Namun, (kami katakan): “Pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah kalian berdua, demi Allah, seandainya engkau bawa kami ke Birk-ul-Ghimād, niscaya kami akan bertahan bersamamu sehingga engkau mencapainya’.”
Lalu Rasūlullāh s.a.w. mendoakan kebaikan untuk al-Miqdād bin al-Aswad. Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sampaikan saran kalian kepadaku, wahai Muslimīn!” Seruan ini beliau tujukan kepada kaum Anshār. Rasūlullāh s.a.w. mengatakan demikian karena barangkali mereka memahami bahwa Ba‘iat ‘Aqabah tidak mewajibkan mereka membantu Rasūlullāh s.a.w. kecuali bila dia berada di kalangan mereka (Madīnah). Sesungguhnya pada waktu Bai‘at Aqabah itu mereka mengatakan: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kami tidak bertanggung-jawab terhadap dirimu sampai engkau tiba di negeri kami. Apabila engkau telah sampai di sana maka engkau telah berada di dalam perlindungan kami; kami akan membela dirimu sebagaimana kami membela anak-anak dan kaum wanita kami.”
Kemudian berkatalah Sa‘ad bin Mu‘ādz, pemimpin kabilah Aus: “Sepertinya engkau menghendaki kami, wahai Rasūlullāh?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya, benar.” Maka Sa‘ad berkata: “Kami telah beriman kepadamu dan telah mempercayai engkau serta telah memberikan janji-janji kami. Terus lanjutkan langkahmu sebagaimana diperintahkan Allah s.w.t. kepadamu. Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau harus mengarungi laut ini, kemudian engkau mengarunginya, niscaya kami akan ikut mengarunginya bersamamu. Kami tidak benci untuk bertempur melawan musuh-musuh kami besok. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tangguh di medan peperangan dan pantang untuk mundur. Semoga Allah s.w.t. memperlihatkan kepadamu dari kami hal-hal yang akan membuat hatimu senang. Berangkatlah, dengan penuh berkah dari Allah!”
Setelah mendengar jawaban itu, bercahayalah wajah Rasūlullāh s.a.w. karena gembira, lalu beliau bersabda seperti diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī:
أَبْشِرُوْا وَ اللهُ كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى مَصَارِعِ الْقَوْمِ.
“Bergembiralah kalian! Demi Allah, seolah-olah aku melihat tempat kematian kaum (musyrikīn).” (HR. al-Bukhārī) (344)
Pasukan kaum Muslimīn memahami dari sabda Rasūlullāh s.a.w. itu bahwa peperangan pasti terjadi dan kenyataan yang tidak dapat dielakkan.
Sementara itu, ketika Abū Sufyān mengetahui bahwa kaum Muslimīn telah keluar untuk mencegatnya, ia pun tidak melalui jalan yang biasa, tetapi berjalan menyusuri jalan pantai sehingga ia selamat. Ia mengirimkan utusan kepada orang-orang Quraisy untuk memberitakan kepada mereka bahwa ia dan kafilahnya telah selamat, dan menyarankan kepada mereka agar kembali ke Makkah. Namun, Abū Jahal berkata: “kami tidak akan kembali sebelum sampai di Badar, (355) kemudian bermukim di sana selama 3 hari. Kita akan menyembelih unta, membeli makanan, dan meminum khamer, supaya orang-orang ‘Arab mendengar tentang kita, agar mereka tetap selamanya takut kepada kita.” Namun, al-Khannās bin Syuraiq as-Tsaqafī al-‘Adawī berkata kepada Bani Zahrah, sekutu mereka: “Wahai kaum, marilah kita kembali kepada Allah telah menyelamatkan kita semua.” Maka mereka kembali ke Makkah sehingga tidak ada seorang pun baik dari kalangan Bani Zahrah maupun Bani ‘Adawī yang ikut dalam Perang Badar. Kemudian pasukan kaum musyrikīn meneruskan perjalanannya hingga sampai di lembah Badar, lalu mereka turun di pinggir lembah yang jaraknya jauh dari kota Madīnah, yaitu di suatu tempat yang tanahnya lembek.
Sementara pasukan kaum Muslimīn, ketika mendekati Badar, Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Alī bin Abī Thālib dan az-Zubair bin al-‘Awwām untuk menyelidiki keadaan musuh. Di tengah jalan mereka bertemu dengan para pengambil air dari orang Quraisy. Di antara mereka ada dua orang pesuruh dari Ban al-Ḥajjāj dan Bani al-‘Āsh, keduanya dari Bani ash-Sahm. ‘Alī dan az-Zubair menangkap kedua orang pesuruh itu lalu membawa keduanya ke hadapan Rasūlullāh s.a.w. yang pada saat itu sedang shalat. Sebelum kedua pesuruh itu dihadapkan kepada Rasūlullāh s.a.w., ‘Alī dan Zubair menginterogasinya terlebih dahulu. Kedua pesuruh itu ditanyai identitas mereka. Keduanya menjawab: “Kami adalah pengangkut air bagi orang-orang Quraisy. Mereka menyuruh kami mengangkut air minum buat mereka.” ‘Alī dan az-Zubair pun memukul mereka karena menduga bahwa keduanya adalah pesuruh milik Abū Sufyān. Rupanya kedua pesuruh itu dapat membaca apa yang dimaksud oleh ‘Alī dan az-Zubair. Akhirnya, keduanya mengatakan: “Kami adalah orang-orang suruhan Abū Sufyān.” Setelah mendengar jawaban tersebut, ‘Alī dan az-Zubair tidak memukulinya lagi.
Setelah Rasūlullāh s.a.w. selesai dari shalatnya, beliau berkata: “Apabila keduanya berkata jujur maka kalian memukulinya, dan jika keduanya berdusta maka kalian tidak memukulinya. Keduanya telah berkata jujur, demi Allah. Keduanya adalah suruhan Quraisy.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada kedua pesuruh itu: “Beritahukanlah kepadaku tentang keadaan orang Quraisy.”
Keduanya menjawab: “Mereka berada di balik bukit itu.”
Rasūlullāh s.a.w. bertanya lagi: “Berapa orang jumlah mereka?”
Keduanya menjawab: “Kami tidak tahu berapa jumlah mereka?”
Rasūlullāh s.a.w. bertanya lagi: “Berapa ekor mereka menyembelih (unta) setiap harinya?”
Keduanya menjawab: “Kadang dembilan ekor, dan kadang sepuluh ekor.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kalau begitu, jumlah mereka antara sembilan ratus dan seribu orang.”
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepada keduanya tentang pemimpin-pemimpin Quraisy yang berada dalam pasukan tersebut. Kedua pesuruh itu menyebutkan jumlah yang cukup besar dari kalangan mereka. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Inilah Makkah yang telah menghadiahkan para pembesarnya kepada kalian.”
Setelah mendapat informasi lengkap tentang mereka, pasukan kaum Muslimīn bergerak maju hingga mereka turun dan berkemah di tepi lembah Badar yang dekat dengan Madīnah. Tempat kaum Muslimīn berkemah itu jauh dari air, sedangkan tanahnya kering dan tandus. Akhirnya, kaum Muslimīn merasa kehausan. Sementara di antara mereka ada yang ber-ḥadats besar dan ada yang ber-ḥadats kecil. Pada saat itu syaithān membisikkan godaannya kepada mereka. Seandainya bukan karena rahmat Allah, niscaya semangat mereka akan pudar. Sebab syaithān membisikkan kepada mereka bahwa kaum musyrikīn tidak akan mengulur-ngulur waktu sehingga mereka (Muslimīn) akan kehilangan kekuatan karena kehausan. Dengan demikian kaum musyrikīn akan mudah menguasai mereka dan berlaku sesuka hati, terhadap mereka.
Lalu Allah s.w.t. menurunkan hujan buat mereka sehingga lembah tempat mereka berkemah menjadi banyak airnya. Kemudian mereka meminum dari air hujan tersebut dan membuat kolam penampungan air di tepi lembah. Mereka yang ber-ḥadats besar segera mandi dan ber-ḥadats kecil segera berwudhū’, lalu memenuhi kantong air mereka masing-masing. Tanah menjadi padat dan menjadikan pijakan mereka kuat dan teguh. Namun, ketika hujan itu menimpa kaum musyrikīn, tanah tempat berpijak mereka menjadi lumpur sehingga mereka tidak dapat mudah bergerak. Peristiwa ini telah dijelaskan oleh firman-Nya:
…..مِّنْهُ وَ يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَ يُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَ لِيَرْبِطَ عَلَى قُلوْبِكُمْ وَ يُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ
“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan air hujan itu dan menghilangkan dari kalian gangguan-gangguan syaithān dan untuk menguatkan hati kalian dan memperteguh telapak kaki (kalian).” (QS. al-Anfāl [8]: 11)
Sebelumnya, Allah s.w.t. telah memperlihatkan kepada Rasūlullāh s.a.w. dalam mimpinya tentang keadaan musuh-musuhnya, persis seperti apa yang telah disaksikan oleh Rasūlullāh s.a.w. sendiri ketika berhadapan dengan mereka, yaitu jumlah mereka kelihatan sedikit. Hal itu dimaksudkan supaya kaum Muslimīn tidak patah semangat dan karena Allah s.w.t. hendak melaksanakan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam firman-Nya:
إِذْ يُرِيْكَهُمُ اللهُ فِيْ مَنَامِكَ قَلِيْلًا وَ لَوْ أَرَاكَهُمْ كَثِيْرًا لَّفَشِلْتُمْ وَ لَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَ لكِنَّ اللهَ سَلَّمَ إِنَّهُ عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ. وَ إِذْ يُرِيْكُمُوْهُمْ إِذِ الْتَقَيْتُمْ فِيْ أَعْيُنِكُمْ قَلِيْلًا وَ يُقَلِّلُكُمْ فِيْ أَعْيُنِهِمْ لِيَقْضِيَ اللهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُوْلًا وَ إِلَى اللهِ تُرْجَعُ الْأُمُوْرُ
“Yaitu ketika Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak, tentu saja kalian menjadi gentar, dan tentu saja kalian akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kalian berjumpa dengan mereka, berjumlah sedikit pada pandangan mata kalian, dan kalian ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mereka karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Dan hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan.” (QS. al-Anfāl [8]: 43-44)
Kemudian bergeraklah pasukan kaum Muslimīn hingga sampai di suatu tempat yang sangat rendah dari Badar, lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan semua pasukan agar turun. Namun, al-Ḥabbāb bin al-Mundzir al-Anshārī berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apakah tempat ini adalah tempat yang ditentukan oleh waḥyu Allah yang diturunkan-Nya kepadamu sehingga kami tidak boleh menawar-nawarnya lagi, ataukah ia hanya merupakan pendapat dan siasat dalam peperangan? Al-Habbāb bin al-Mundzir terkenal mempunyai pendapat-pendapat yang baik dan jitu. Rasūlullāh s.a.w.: “Tidak, tetapi ia hanyalah pendapat-pendapat belaka dan siasat dalam peperangan.”
Al-Ḥabbāb berkata: “Wahai Rasūlullāh, tempat ini tidak cocok buat kita. Bawalah kita semua ke tempat yang paling rendah di daerah ini karena saya mengetahui tempat yang banyak airnya, kemudian kita akan bermarkas di situ. Setelah itu, kita tutup semua sumur airnya, lalu kita bangun kolam yang besar untuk menampung air sehingga kita memiliki persediaan air yang banyak, sedangkan mereka tidak dapat menemukan air minum.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sungguh, engkau telah menyampaikan pendapat yang tepat.”