Penyusun Kalam – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

KALĀM DAN PEMBAGIANNYA

Penyusun Kalām

 

(فَأَمَّا أَقْسَامُ الْكَلَامِ فَأَقَلُّ مَا يَتَرَكَّبُ مِنْهُ الْكَلَامُ اسْمَانِ) نَحْوُ زَيْدٌ قَائِمٌ (أَوْ اسْمٌ وَ فِعْلٌ) نَحْوُ قَامَ زَيْدٌ (أَوْ فِعْلٌ وَ حَرْفٌ) نَحْوُ مَا قَامَ، أَثْبَتَهُ بَعْضُهُمْ، وَ لَمْ يَعُدَّ الضَّمِيْرَ فِيْ قَامَ الرَّاجِعَ إِلَى زَيْدٌ مَثَلًا لِعَدَمِ ظُهُوْرِهِ، وَ الْجُمْهُوْرُ عَلَى عَدِّهِ كَلِمَةٌ (أَوْ اسْمٌ وَ حَرْفٌ) وَ ذلِكَ فِي النِّدَاءِ، نَحْوُ يَا زَيْدُ وَ إِنْ كَانَ الْمَعْنَى أَدْعُوْ أَوْ أُنَادِيْ زَيْدًا.

Beberapa pembagian kalām. Batas minimal susunan kalām adakalanya dua isim, contoh (زَيْدٌ قَائِمٌ) atau isim dan fi‘il, contoh (قَامَ زَيْدٌ) atau fi‘il dan ḥurūf, contoh (مَا قَامَ) ditetapkan oleh sebagian ‘ulamā’ dan mereka tidak menghitung dhamir dalam lafazh (قَامَ) yang kembali semisal pada Zaid, karena dhamīr tersebut tidak nampak.

Menurut jumhur, dhamīr tersebut dihitung satu kalimat. Atau isim dan ḥurūf, yang terdapat dalam nidā’, contoh (يَا زَيْدُ), walaupun ma‘nanya adalah “saya menyeru atau memanggil Zaid.”

Penjelasan:

Batas minimal susunan sebuah kalam adalah dua kalimat, ya‘ni:

  1. Terdiri dari dua isim, dapat dipilah dalam empat bentuk:
No. Susunan Contoh
1. Mubtada’ dan khabar (زَيْدٌ قَائِمٌ) “Zaid yang berdiri”
2. Mubtada’ dan fā‘il yang menempati kedudukan khabar. (أَزَيْدٌ قَائِمٌ) “Apakah Zaid berdiri?”
3. Mubtada’ dan nā’ib-ul-fā‘il yang menempati kedudukan khabar. (أَمَضْرُوْبٌ زَيْدَانِ) “Apakah dua Zaid dipukul”
4. Isim fi‘il dan fā‘il (هَيْهَاتَ الْعَقِيْقُ) “Jauh sekali lembah ‘Aqīq”

 

  1. Isim dan fi‘il, contoh: (قَامَ زَيْدٌ) “Zaid berdiri”.
  2. Fi‘il dan ḥurūf, contoh (مَا قَامَ) “Zaid tidak berdiri”
  3. Isim dan ḥurūf, contoh (يَا زَيْدُ) “Wahai Zaid”.

Pertanyaan:

Mengapa dalam lafazh (مَا قَامَ), dhamīr dikatakan sebagai sesuatu yang tidak tampak?

Jawab:

Karena dhamīr merupakan gambaran akal yang keberadaannya tidak bisa dinyatakan dan tidak wujūd dalam kenyataan, sebab tidak berbentuk lafazh dan juga tidak ada lafazh yang dibuat untuknya.

Referensi:

وَ إِنَّمَا لَمْ يُعَدَّ لِعَدَمِ ظُهُوْرِهِ لِأَنَّهُ صُوْرَةٌ عَقْلِيَّةٌ لَا تَحَقُّقَ لَهُ وَ لَا وُجُوْدَ لَهُ فِي الْخَارِجِ إِذْ لَيْسَ بِلَفْظٍ وَ لَا وُضِعَ لَهُ لَفْظٌ. (النَّفَحَاتُ صــــ 37)

Dan sesungguhnya tidak dihitungnya dhamīr karena tidak nampak, karena dhamīr merupakan gambaran akal yang keberadaannya tidak bisa dinyatakan dan tidak wujūd dalam kenyataan, sebab tidak berbentuk lafazh dan juga tidak ada lafazh yang dibuat untuknya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *