(وَ الْأَمْرُ بِإِيْجَادِ الْفِعْلِ أَمْرٌ بِهِ وَ بِمَا لَا يَتِمُّ الْفِعْلُ إِلَّا بِهِ كَأَمْرٍ بِالصَّلَوَاتِ أَمْرٌ بِالطَّهَارَةِ الْمُؤَدِّيَةِ إِلَيْهَا) فَإِنَّ الصَّلَاةَ لَا تَصِحُّ بِدُوْنِهَا.
Perintah untuk merealisasikan sebuah perbuatan merupakan perintah atas perbuatan tersebut, sekaligus atas segala hal yang menjadi penyempurnaannya. Contoh perintah menjalankan shalat adalah sekaligus merupakan perintah melakukan bersuci yang menjadi perantaranya, dikarenakan shalat tidak sah hukumnya tanpa bersuci.
Hal-hal yang menjadi penyempurna sebuah kewājiban, baik berupa sabab (23) atau syarth (syarat) (24) menurut pendapat ashaḥḥ dihukumi wājib dengan dua syarat:
Apakah wājib meninggalkan hal-hal yang mubāḥ (boleh dilakukan) apabila hal itu menjadi penyempurna meninggalkan perbuatan ḥarām?
Jawab:
Wājib. Contoh, air sedikit yang kemasukan najis (262). Memakai keseluruhan air tersebut dihukumi ḥarām, karena meninggalkan pemakaian air secara keseluruhan menjadi satu-satunya cara agar terhindar dari memakai najis. Contoh lain, ketika seorang suami menjumpai istrinya bercampur dengan wanita lain, hingga sulit dibedakan karena kemiripannya. Maka suami ḥarām menyetubuhi keseluruhan wanita tersebut. Karena dengan cara inilah, suami akan terhindar dari menyetubuhi wanita lain yang diḥarāmkan.
Referensi:
(فَلَوْ تَعَذَّرَ تَرْكُ الْمُحَرَّمِ إِلَّا بِتَرْكِ غَيْرِهِ) مِنَ الْجَائِزِ كَمَاءٍ قَلِيْلٍ وَقَعَ فِيْهِ بَوْلٌ (وَجَبَ) تَرْكُ ذلِكَ الْغَيْرِ لِتَوَقُّفِ تَرْكِ الْمُحَرَّمِ الَّذِيْ هُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ (أَوِ اخْتَلَطَتْ) أَيِ اشْتَبَهَتْ (مَنْكُوْحَةٌ) لِرَجُلٍ (بِأَجْنَبِيَّةٍ) مِنْهُ (حُرِّمَتَا) أَيْ حُرِّمَ قُرْبَانُهُمْ عَلَيْهِ (شَرْحُ الْجَلَالِ الْمَحَلِّيِّ عَلَى جَمْعِ الْجَوَامِعِ الْجُزْءُ الْأَوَّلُ صــــ 255)
“Apabila perbuatan ḥarām sulit ditinggalkan kecuali dengan meninggalkan perkara lain dari hal-hal mubāḥ (boleh dikerjakan), seperti air sedikit yang kemasukan air kencing, maka wājib meninggalkan perkara lain tersebut, karena meninggalkan sesautu yang diḥarāmkan yang hukumnya wājib, tergantung dengan ditinggalkannya perkata tersebut. Atau bercampur (menjadi sulit dibedakan) antara istri yang dinikahi dari seorang suami dengan wanita lain, maka keduanya diḥarāmkan bagi suami, artinya ḥarām bagi suami mendekati keduanya.” (Syarḥ-ul-Maḥallī ‘ala Jam‘-il-Jawāmi‘ juz 1, hal. 255).