Penyembuhan Cara Sufi – Shalat : Postur Para Nabi – Nasehat Shalat (1/3)

Syakh Ghulam Moinuddin

Judul Asli : The Book of Sufi Healing
Penerjemah : Arif Rakhmat
Penyunting : Ahmad Norma Permata
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta


Para syeikh pada umumnya menyatakan bahwa ada empat tahap praktik untuk menuju penyatuan dengan Allah, yaitu syari’at (hukum), thariqat (jalan), haqiqat (kebenaran) dan ma’rifat (kebahagiaan).

Sarana pertama yang diperlukan adalah mengerjakan dan mengikuti syari’at, hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia, yang pada saatnya akan membawa manusia ke dalam shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Kelompok Sufisme  seringkali menunjuknya sebagai thariqat. Jalan ini akan membawa manusia kepada haqîqat. Mari kita coba untuk mene- rangkan definisi yang rumit ini.

Haqiqat merupakan kebenaran dari seluruh kehidupan, tak dapat diubah-ubah lagi dan bersifat mutlak. Misalnya, ada beberapa orang yang percaya kepada Allah, ada beberapa yang tidak percaya. Kedua masalah ini bisa saja tidak benar. Haqq (kebenaran) dari masalah ini adalah mutlak. Dan kita akan mengalami penyelesaian masalah ini secara jelas pada saat kematian tiba. Seluruh pengetahuan yang tak terlihat termasuk dalam bidang haqiqat. Apabila seseorang mencapai status kemampuan memahami kebenaran ini, maka akan diikuti dengan tahap yang disebut ma’rifat – kebahagian abadi sebagai hamba yang dipilih dan dikasihi oleh Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Kuasa.

Pelaksanaan shalât diperlukan untuk mencapai tahap-tahap perhentian tersebut (yang merupakan hasilnya). Namun demikian, ada kalanya mengucapkan bunyi-bunyi ayat dan berdiri di satu tempat untuk mengerjakan shalat tidak akan menghasilkan pengaruh-pangaruh yang diharapkan. Karena diperlukan adanya beberapa perasaan batin.

Seseorang pertama kali harus mengerjakan shalât dengan penuh perasaan rendah hati, dengan pengakuan yang tulus akan kedudukan yang sangat tergantung dari seorang hamba yang menyembah, dalam hubungan dengan Yang Disembah. Allah telah mengajarkan bahwa kita adalah “sesuatu yang akan dilupakan sampai Aku mengingat engkau.” Tidak ada seorang pun sepanjang sejarah kehidupan dunia yang bertanggung jawab akan konsep hidupnya sendiri. Tidak hanya karena kita ini tidak ada, kita bahkan tidak tahu sama sekali bahwa kita sebenarnya tidak ada.

Kita harus mengeluarkan seluruh hal yang terpikir, yang ada dalam diri kita kecuali pikiran tentang Sang Pencipta Yang Maha Pemurah, karena kita diciptakan untuk menuju kepada-Nya. Seluruh kehidupan duniawi harus dikesampingkan, dengan pemahaman bahwa shalât adalah cara untuk melangkah ke dunia selanjutnya, yang akan mendekatkan diri kepada Allah. Jika pikiran telah terisi dengan bayangan duniawi, maka tidak akan ada tempat untuk mengingat Allah.

Kondisi shalat yang lain adalah bahwa pengertian dari seluruh kata-kata yang diucapkan dalam shalat sebaiknya dipahami selengkap mungkin. Sekalipun kata-kata tersebut diucapkan dalam bahasa Arab, orang harus tahu pengertian terjemahannya dalam bahasanya sendiri dan harus bisa merenungkan pengertian-pengertian ini sedalam dan setulus mungkin.

Telah dijelaskan dalam sebuah Hadits bahwa Allah berkata kepada Musa, “Wahai Musa, apabila engkau ingin mengingat Aku, ingatlah Aku dalam cara tertentu sehingga seluruh anggota badanmu terasa bergetar dan engkau merasa dekat dengan Aku pada saat mengingat itu, serta terasa menyenangkan. Jika engkau berdiri di hadapan-Ku, berdirilah di hadapanku dengan penuh kekhawatiran seperti seorang budak yang paling ..

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *