Para ‘ulamā’ raḥimahumullāh menyatakan bahwa dalam hal ini ada perincian:
Maka pahamilah itu.
‘Ulamā’ – semoga Allah memberi manfaat lantaran mereka – menyebutkan bahwa nadzar bagi para wali dan ‘ulama’ itu boleh dan benar, jika orang yang bernadzar bermaksud (agar manfaat nadzarnya) tertuju pada penduduk setempat yang merupakan anak-cucu wali-wali itu atau kaum fakir yang berada di sekitar maqam mereka. Atau bermaksud membangun maqam mereka, sebab ini dapat menghidupkan ziarah kubur yang dianjurkan syariat. Dibenarkan pula jika ia bernadzar secara mutlak (tak terkait dengan keberadaan para wali tersebut), tiada maksud apapun dari nadzarnya, dan (manfaat) nadzarnya diarahkan untuk kemaslahatan yang telah disebut di atas.
Berbeda dengan jika dimaksudkan untuk mengagungkan kuburan dan mendekatkan diri kepada ahli kubur, atau nadzar yang dimaksudkan demi si ahli kubur, ini tak dibenarkan karena ini dilarang. Yang lazim diketahui, hal yang sedemikian ini tidak dimaksud oleh seorang pun yang melakukan nadzar.
Ketahuilah, bahwasanya itu tidak dimaksudkan oleh kaum muslimin selain sedekah atas nama mereka dan memberikan pahalanya kepada arwah mereka. Setiap muslim yang menyembelih hewan untuk nabi atau wali, atau bernadzar sesuatu untuknya, maka itu tidak dimaksudkannya selain untuk bersedekah atas namanya dan memberikan pahalanya kepadanya. Dengan demikian, itu termasuk dalam kategori hadiah orang hidup bagi orang mati yang diperintahkan berdasarkan syariat. Ahl-us-Sunnah dan ‘ulamā’ umat ini sepakat bahwa sedekah orang-orang yang hidup bermanfaat bagi orang-orang yang mati serta sampai kepada mereka.
Dalilnya adalah sejumlah hadits shaḥīḥ. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abū Hurairah r.a., seseorang bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Ayahku wafat namun belum sempat menyampaikan wasiat, apakah berguna bila aku bersedekah atas namanya?”
Beliau menjawab: “Iya.” (11)
Dari Sa‘ad r.a., bahwasanya ia bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Nabiyullāh, ibuku telah terluputkan (wafat tanpa sempat berwasiat), dan aku mengetahui bahwa seandainya ia masih hidup, ia akan bersedekah. Apakah jika aku bersedekah atas namanya maka itu berguna baginya?”
Beliau menjawab: “Iya.”
Dalam riwayat lain dinyatakan, ia bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Sedekah apa yang paling berguna, wahai Rasūlullāh?”
Beliau menjawah: “Air”.
Lalu ia menggali sumur dan berkata: “Ini untuk Ummu Sa‘ad.” (22).
Dinyatakan dalam riwayat bahwa Nabi s.a.w. diberi seekor domba saat ‘Īd-ul-Adhḥā.
Beliau pun menyembelihnya dan bersabda:
بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ هذَا عَنِّيْ وَ عَمَّنْ لَمْ يُصِحِّ مِنْ أُمَّتِيْ.
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dariku dan dari orang yang tak berkurban di antara umatku.” (33).
Ini merupakan dalil bahwa manfaat diperoleh orang-orang hidup dan orang-orang mati di antara umat beliau dari qurban beliau s.a.w. Jika tidak demikian, maka (ucapan) itu tiada gunanya.