(مُقَدِّمَةٌ) اِعْلَمْ أَنَّ فَهْمَ الْعَقَائِدِ الْخَمْسِيْنَ الْآتيَة يَتَوَقَّفُ عَلَى أُمُوْرِ ثَلَاثَةٍ: الْوَاجِبُ وَ الْمُسْتَحِيْلُ وَ الْجَائِزُ.
“(MUQADDIMAH). Ketahuilah bahwa pemahaman ‘aqīdah-‘aqīdah yang 50 berikut ini tergantung atas tiga perkara: WĀJIB, MUSTAḤĪL dan JĀ’IZ.”
Maksudnya: Pemahaman bahwa ‘aqīdah-‘aqīdah itu bersifat wājib tergantung atas pemahaman kita mengenai WĀJIB itu sendiri. Dan pemahaman bahwa sebagian ‘aqīdah-‘aqīdah itu bersifat mustaḥīl tergantung atas pemahaman kita mengenai ma‘na MUSTAḤĪL. Demikian juga pemahaman bahwa sebagian ‘aqīdah-‘aqīdah itu bersifat jā’iz tergantung atas pemahaman kita mengenai JĀ’IZ itu sendiri.
فَالْوَاجِبُ هُوَ الَّذِيْ لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ أَيْ لَا يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِعَدَمِهِ كَالتَّحَيُّزِ لِلْجِرْمِ أَيْ أَخْذِهِ قَدْرًا مِنَ الْفِرَاغِ.
“Maka WĀJIB itu adalah sesuatu yang tidak didapatkan pada akal akan ketiadaannya. Artinya akal tidak membenarkan perihal ketiadaannya seperti Taḥayyuz (occupying space – memenuhi ruangan) bagi jirim (sesuatu yang memiliki massa [Jisim] dan dapat memenuhi suatu ruangan) ya‘ni mengambilnya (jirim) itu akan seukuran dari tempat yang kosong.”
Perkataan Mushannif dengan (لَا يُتَصَوَّرُ) bisa dibaca dengan dua cara: Kalau dibaca dengan dhammah-nya ya‘ni dengan mabnī lil-maf‘ūl maka ma‘nanya adalah (لَا يُدْرِكُ) “tidak didapatkan”. Sedangkan kalau dibaca dengan fatḥah yā’ ya‘ni dengan mabnī lil-fā‘il maka ma‘nanya adalah (لَا يُمْكِنُ) “tidak mungkin”.
Tahayyuz lil-jirmi adalah salah satu misal daripada bagian-bagian yang wājib.
Jirim adalah jauhar (benda) baik dia tunggal (fard) atau bersusun (murakkab). Lain halnya dengan jisim karena dia adalah sesuatu yang tersusun dari dua jauhar fardi berdasarkan pendapat Jumhur Mutakallimīn. Ada yang mengatakan bahwa jisim itu tersusun dari tiga jauhar. Ada pula yang mengatakan 4, 6, 8, 12, 24, 36 dan 48, bahkan ada juga yang mengatakan lebih dari semua itu. Maka ketahuilah bahwa jauhar fardi itu ketika bersendiri tidak dinamakan dengan jisim dan ini tidak ada pertentangan. Hanya saja pertentangan itu terjadi dalam hal penamaan jauhar fardi, dengan yang demikian itu ketika bergabungnya pada jauhar yang lain. Satu pendapat mengatakan bahwa jauhar yang seperti itu tidak juga dinamakan dengan yang demikian (jisim) sebagaimana dikutip dari al-Ghazālī dan dipilih pula oleh SA‘DĪ dan beliau menisbatkannya kepada ‘ulamā’ muḥaqqiqīn. Satu pendapat lagi mengatakan bahwa jauhar tersebut dinamakan dengan yang demikian ya‘ni jisim sebagaimana dikutip dari Imām Ḥaramain dan diutarakan juga oleh Sanūsī dalam Kitab (شَرْحُ الْكُبْرَى) di mana beliau berkata: “Dan mereka tidak mau memberi nama kepada benda yang terkecil (daqīq) dengan jisim ketika bersendirinya. Adapun ketika dia bergabung pada yang lainnya maka mereka menamakan setiap dari kedua benda yang terkecil itu dengan jisim karena hakekat jisim adalah mu’allaf (bersusun) dan setiap satu dari dua jauhar ketika berkumpul bisa dinamakan dengan mu’allaf.”
Pada pernyataan inilah Syaikh ‘Abbās bin Zakarī mengisyaratkan di dalam Arjuzah-nya (syair berbahar rajaz) di mana beliau berkata:
وَ الْجِسْمُ فِيْ مُصْطَلَحِ الْكَلَامِ | أَقَلَّهُ جُزْآنِ بِانْتظَامٍ. |
حَيْثُ تَأَلَّفَ هُمَا جِسْمَانِ | تَأْلِيْفُ ذَيْنِ ذلِكَ تَأْلِيْفَانِ. |
“Dan jisim itu di dalam istilah ‘Ilmu Kalām, sedikitnya adalah dua juz (bagian) dengan beraturan. Sekira bersusun kedua bagian itu maka keduanya adalah jisim (karena) bersusunnya kedua bagian itu menyebabkan terjadinya dua susunan (sedangkan tiap-tiap susunan bisa dinamakan jisim).”
وَ الْجِرْمُ كَالشَّجَرِ وَ الْحَجَرِ فَإِذَا قَالَ لَكَ شَخْصٌ إِنَّ الشَّجَرَةَ لَمْ تَأْخُذْ مَحَلًّا مِنَ الْأَرْضِ مَثَلًا لَا يُصَدِّقُ عَقْلُكَ بِذلِكَ لِأَنَّ أَخْذَهَا مَحَلًّا وَاجِبٌ لَا يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِعَدَمِهِ.
“Dan jirim itu adalah seperti pohon dan batu, maka jika seseorang berkata kepada anda: “Sesungguhnya pohon itu tidak pernah mengambil tempat dari bumi – umpamanya – , tidaklah akal anda membenarkan yang demikian itu karena mengambilnya si pohon akan satu tempat adalah wājib (dalam arti) akal tidak membenarkan ketiadaannya.”
Pengertian jirim di sini adalah pengertian dengan perumpamaan, sedangkan pengertian jirim dengan hakekat sudah terdahulu (disebutkan sebelumnya).