Pengertian Sifat Ma’ani – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

39. PENGERTIAN SIFAT MA‘ĀNĪ

(تَنْبِيْهٌ) مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْقُدْرَةِ وَ الْإِرَادَةِ وَ الْعِلْمِ وَ الْحَيَاةِ وَ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ وَ الْكَلَامِ يُسَمَّى صِفَاتِ الْمَعَانِيْ مِنْ إِضَافَةِ الْعَامِّ لِلْخَاصِّ أَوِ الْإِضَافَةِ الْبَيَانِيَّةِ.

(PERINGATAN): Apa yang terdahulu berupa qudrat, irādat, ‘ilmu, ḥayat, sama‘, bashar, dan kalām dinamakan dengan sifat-sifat Ma‘ānī (صِفَاتِ الْمَعَانِيْ) dan pada mengidhāfahkan yang umum pada yang khusus atau daripada idhāfah bayāniyyah.

 

Sifat Ma‘ānī adalah:

كُلُّ صِفَةٍ مَوْجُوْدَةٍ قَائِمَةٍ بِمَوْجُوْدٍ أَوْجَبَتْ لَهُ حُكْمًا.

Setiap sifat maujūdah yang berdiri dengan sesuatu yang maujūd yang mewajibkan satu hukum bagi yang maujūd itu.”

 

Maksud daripada “berdirinya sifat-sifat itu dengan sesuatu yang maujūd” adalah bersifatnya sesuatu yang maujūd itu dengannya atau taḥaqquq (kepastian) wujūd sifat-sifat itu dengannya (sesuatu yang maujūd) karena tidak didapatkan sifat-sifat itu kecuali pada dzāt dan tidak berdiri sifat-sifat itu dengan sendirinya.

Dan maksud daripada “mewajibkannya sifat-sifat itu akan hukum” bahwa lazim daripada berdirinya sifat-sifat itu dengan dzāt tetapnya hukum-hukum sifat itu bagi dzāt tersebut. Maka keadaan qudrat yang berdiri dengan dzat melazimkan keadaan dzat itu jadi berkuasa. Dan begitulah seterusnya hingga akhir sifat yang tujuh itu.

40. SIFAT MA‘ĀNĪ BUKAN DZĀT DAN BUKAN PULA LAIN DARI DZĀT.

Perlu diketahui bahwa Ahl-us-Sunnah mencegah pada sifat-sifat ma‘ānī itu bahwa dia adalah dzāt itu sendiri (‘ain dzāt) atau dia adalah lain daripada dzāt. Maka sifat-sifat ma‘ānī itu adalah: (لَا هِيَ هِيَ وَ لَا هِيَ عَيْرُهَا) “Bukanlah dia itu dzāt dan bukan pula dia lain daripada dzāt”.

Tidaklah dikatakan: Bagaimana ini sedangkan antara PENAFIAN “DZĀT ITU SENDIRI” (نَفْيُ الْعَيْنِيَّةِ) dan “PENAFIAN LAIN DARIPADA DZĀT” (نَفْيُ الْغَيْرِيَّةِ) terdapat tanāqud (pertentangan) karena nafy-ul-‘ainiyyah menuntut kelaziman tetapnya ghairiyyah dan nafy-ul-ghairiyyah menuntut kelaziman tetapnya ‘ainiyyah.

Sebabnya tidak dikatakan seperti itu: Karena kita berpendapat bahwa nafy-ul-‘ainiyyah tidak menuntut kelaziman tetapnya ghairiyyah yang telah diistilahkan oleh para Mutakallimun ya‘ni “bahwa ada dua sesuatu dengan sekira mungkin memisahkan keduanya” karena mungkin saja ternafi ‘ainiyyah, sedangkan adanya dua sesuatu itu sebagai dua sesuatu yang tidak mungkin memisahkan keduanya.

Dan karena nafy-ul-ghairiyyah yang tersebut itu tidak menuntut kelaziman tetapnya ‘ainiyyah karena mungkin saja ternafi ghairiyyah yang tersebut itu sedangkan adanya dua sesuatu itu sebagai dua sesuatu yang tidak mungkin memisahkan keduanya. Dengan uraian itu dapatlah kita mengetahui bahwa perkataan mereka dengan (bukan dzāt itu sendiri) berma‘na bahwa: Bukanlah hakekat sifat-sifat itu sebagai hakekat dzāt. Maka bersatunya (sifat-sifat dan dzāt) itu adalah mustaḥīl.

Sedangkan perkataan mereka dengan (لَيْسَتْ عَيْنًا) “bukan lain dari dzāt” berma‘na bahwa: Bukanlah sifat-sifat itu bersama dzāt adalah sebagai dua sesuatu yang mungkin memisahkan keduanya.

41. SIFAT-SIFAT MA‘NAWIYYAH

وَ مَا بَعْدَهَا وَ هُوَ كَوْنُهُ تَعَالَى قَادِرًا ….. إلخ تُسَمَّى صِفَاتٍ مَعْنَوِيَّةٍ نِسْبَةٌ لِلْمَعَانِيْ لِأَنَّهَا تُلَازِمُهَا فِي الْقَدِيْمِ وَ تَتْشَأُ عَنْهَا فِي الْحَادِثِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ.

Dan apa yang sesudahnya ya‘ni keadaan Allah s.w.t. berkuasa hingga akhirnya dinamakan dengan sifat-sifat ma‘nawiyyah ya‘ni nisbah kepada ma‘ānī karena dia melazimi sifat-sifat ma‘ānī itu pada yang qadīm dan dia (sifat ma‘nawiyyah) timbul dari sifat ma‘ānī pada yang baru berdasarkan apa yang telah terdahulu.”

Peng‘ibaratan dengan (وَ تَتْشَأُ عَنْهَا فِي الْحَادِثِ) = “dan dia (sifat ma‘nawiyyah) timbul daripadanya (sifat ma‘ānī) pada yang baru” dapat menimbulkan dugaan bahwa sifat-sifat ma‘nawiyyah itu tidak dengan ciptaan Allah sebagaimana dia adalah madzhabnya Mu‘tazilah. Maka yang lebih utama adalah meng‘ibaratkan dengan (لِأَنَّهَا تُلَازِمُهَا فِي الْقَدِيْمِ وَ الْحَادِثِ) “karena dia (sifat-sifat ma‘nawiyyah) itu melaziminya (sifat-sifat ma‘ānī) pada yang qadīm dan baru.”

Akan tetapi pada yang qadīm tidak dikatakan bahwa sifat-sifat ma‘ānī itu sebagai ‘illat bagi sifat-sifat ma‘nawiyyah melainkan yang seperti itu hanya dikatakan pada yang baru.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *