وَ الْمُسْتَحِيْلُ هُوَ الَّذِيْ لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ أَيْ لَا يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُجُوْدِهِ.
“Dan mustaḥīl itu adalah sesuatu yang tidak didapatkan pada akal akan wujudnya, artinya akal tidak membenarkan perihal wujudnya (sesuatu itu).”
فَإِذَا قَالَ قَائِلٌ إِنَّ الْجِرْمَ الْفُلَانِيَّ خَالِ عَنِ الْحَرَكَةِ وَ السُّكُوْنِ مَعًا لَا يُصَدِّقُ عَقْلُكَ بِذلِكَ لِأَنَّ خُلُوَّهُ عَنِ الْحَرَكَةِ وَ السُّكُوْنِ مُسْتَحِيْلٌ لَا يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُقُوْعِه وَ وُجُوْدِهِ.
“Maka jika seseorang berkata: Sesungguhnya jirim fulānī itu sunyi (kosong) dari gerakan dan diam secara bersamaan, tidaklah akal anda membenarkan yang demikian itu karena kosongnya dari gerakan dan diam adalah mustaḥīl (dalam arti) akal tidak membenarkan perihal terjadinya dan wujudnya (jirim yang seperti itu).”
Perkataan Mushannif dengan jirim fulānī adalah satu kināyah (sindiran) terhadap nama jirim yang tertentu. Jadi maksud dari Mushannif bukan menyebut lafal fulānī itu sendirit melainkan fulānī adalah satu sindiran bagi jirim yang tertentu seperti batu atau tembok.
Pada ibarat itu, Mushannif menerangkan bahwa jika ada orang yang berkata perihal tembok umpamanya, di mana dikatakan bahwa tembok itu kosong dari gerakan dan diam secara bersamaan artinya tembok itu dalam satu waktu tidak bergerak dan tidak pula diam, maka tentunya hal tersebut adalah mustaḥīl di mana akal tidak bisa membenarkan keberadaan tembok (jirim) yang seperti itu. Karena tembok kalau tidak diam maka dia bergerak dan kalau tidak bergerak maka dia diam. Tidaklah mungkin ada tembok yang dalam satu waktu tidak bergerak dan tidak pula diam. Karena itulah Mushannif mengkaitkan ibaratnya dengan kata-kata (مَعًا) “secara bersamaan”. Karena kalau tidak dikaitkan seperti itu dalam arti Mushannif mengatakan bahwa jirim fulānī itu kosong dari gerakan atau kosong dari diam, maka tentunya akal dapat membenarkan yang demikian karena jirim fulānī yang seperti itu tidak mustaḥīl.
وَ الْجَائِزُ هُوَ الَّذِيْ يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُجُوْدِهِ تَارَةً وَ بِعَدَمِهِ أُخْرَى كَوُجُوْدِ وَلَدٍ لِزَيْدٍ فَإِذَا قَالَ قَائِلٌ إِنَّ زَيْدَا لَهُ وَلَدٌ جَوَّزَ عَقْلُكَ صِدْقَ ذلِكَ وَ إِذَا قَالَ إِنَّ زَيْدًا لَا وَلَدَ لَهُ جَوَّزَ عَقْلُكَ صِدْقَ ذلِكَ.
“Dan jā’iz itu adalah sesuatu, yang dibenarkan oleh akal dengan wujudnya satu saat dan dengan ketiadaannya pada saat yang lain seperti adanya anak bagi si Zaid. Maka jika seseorang berkata: Sesungguhnya Zaid mempunyai seorang anak, maka akal anda tentu membolehkan kebenaran yang demikian. Dan jika dia berkata: Sesungguhnya Zaid tidak mempunyai seorang anak, maka akal andapun tentu membolehkan kebenaran yang demikian.”
فَوُجُوْدُ وَلَدٍ لِزَيْدٍ وَ عَدَمُهُ جَائِزٌ يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُجُوْدِهِ وَ عَدَمِهِ.
“Maka adanya anak bagi si Zaid dan ketiadaannya adalah jā’iz (dalam arti) akal membenarkan perihal adanya dan ketiadaannya.”
فَهذِهِ الْأَقْسَامُ الثَّلَاثَةُ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهَا فَهْمُ الْعَقَائِدِ فَتَكُوْنُ هذِهِ الثَّلَاثَةُ وَاجِبَةً عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى لِأَنَّ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ الْوَاجِبُ يَكُوْنُ وَاجِبًا.
“Maka bagian-bagian yang tiga ini tergantung atasnya pemahaman ‘aqīdah-‘aqīdah itu maka jadilah yang tiga itu wājib atas setiap mukallaf dari laki-laki dan perempuan karena apa-apa yang tergantung atasnya perkara wājib maka jadilah ia wājib juga.”
Maksudnya, bahwa kalau pemahaman perkara yang wājib ya‘ni ‘aqīdah-‘aqīdah yang 50 itu tergantung pada pemahaman mengenai yang tiga tersebut ya‘ni WĀJIB, MUSTAḤĪL dan JĀ’IZ maka jadilah pemahaman mengenai apa itu wājib, mustaḥīl dan jā’iz terhukum wājib juga karena sesuatu yang perkara wājib tergantung atasnya maka sesuatu itupun menjadi wājib.”