Pengertian Ijza’ (Mencukupi) – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Pengertian Ijzā’ (Mencukupi)

 

(وَ إِذَا فُعِلَ) بِالنِّدَاءِ لِلْمَفْعُوْلِ أَيِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ (يَخْرُجُ الْمَأْمُوْرُ عَنِ الْعُهْدَةِ أَيْ عُهْدَةِ الْأَمْرِ وَ يَتَّصِفُ الْفِعْلُ بِالْإِجْزَاءِ.

Pada saat perbuatan yang diperintahkan sudah dilaksanakan, maka orang yang diperintah dinyatakan lepas dari tuntutan, serta perbuatan yang telah dilakukan dikategorikan ijzā’ (mencukupi).

Penjelasan:

Dilaksanakannya perbuatan yang diperintahkan (مَأْمُوْرٌ بِهِ) sesuai dengan ketentuan syara‘ melepaskan seseorang dari tuntutan amr. Artinya, melakukan perbuatan tersebut menetapkan status ijzā’ (mencukupi). Pendapat rājiḥ (unggul) ini berpijak dari pengertian ijzā’ yang didefinisikan dengan (الْكِفَايَةُ فِيْ سُقُوْطِ الطَّلَبِ) “mencukupi dalam melepaskan tuntutan”. Karena seandainya amr masih tetap mengikat perbuatan yang dikerjakan setelah perbuatan tersebut terlaksana, maka hal tersebut sama halnya menuntut sesuatu yang sudah berhasil ditunaikan.

Menurut sebagian pendapat, melakukan perbuatan tersebut tidak menetapkan ijzā’. Versi ini berpijak pada pendapat bahwa ijzā’ adalah (اِسْقَاطُ الْقَضَاءِ) “menggugurkan tuntutan qadhā’). Karena bisa jadi perbuatan yang telah dikerjakan masih belum melepaskan seseorang dari tuntutan qadhā’ atau masih butuh dikerjakan untuk kedua kalinya. Seperti shalat dari seseorang yang menyangka suci, namun kemudian terbukti nyata telah berhadats. (271).

Pertanyaan:

Apa ma‘na pengertian bahwa ijzā’ adalah (الْكِفَايَةُ فِيْ سُقُوْطِ الطَّلَبِ) “mencukupi dalam melepaskan tuntutan”?

Jawab:

Ma‘nanya, khithāb yang pada awalnya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, apabila dikerjakan sesuai dengan cara dan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithāb tersebut dari dirinya.

Referensi:

الْإِجْزَاءُ هُوَ الْاِكْتِفَاءُ بِالْفِعْلِ فِيْ سُقُوْطِ الْأَمْرِ وَ مَعْنَاهُ أَنَّ الْخِطَابَ مُتَعَلِّقٌ بِفِعْلِهِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ فَإِذَا أَتَى الْمُكَلَّفَ بِهِ عَلَى ذلِكَ الْوَجْهِ انْقَطَعَ عَنْهُ تَعَلُّقُ الْخِطَابِ وَ هذَا هُوَ عَلَى مَذْهَبِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ (الْبَحْرُ الْمُحِيْطُ الْجُزْءُ الْأَوَّلُ صـــ 255).

Al-Ijzā’ adalah mencukupinya melakukan perbuatan yang dituntut untuk melepaskan amr. Artinya, sesungguhnya khithāb berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, sehingga apabila mukallaf melakukannya sesuai dengan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithāb tersebut dari dirinya. Ini adalah pendapat ‘ulamā’ Mutakallimīn.” (al-Baḥr-ul-Muḥīth juz 1, hal. 255).

Catatan:

  1. 27). An-Nafaḥāt, hal. 58.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *