Pengagungan Terhadap Rasul S.A.W. – Kisah Sang Rasul (2/2)

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Rangkaian Pos: Pengagungan Terhadap Rasul S.A.W. - Kisah Sang Rasul

Dan Baginda Rasūlullāh s.a.w. telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memuji (bershalawat) kepada beliau, yang mana telah diriwayatkan oleh Ka‘ab ibn Ujrah r.a. bahwa para sahabat bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.:

“Wahai Rasūlullāh, kami telah menyampaikan salām kepadamu, bagaimana cara kami bershalawat kepada engkau?”

Maka Rasūlullāh s.a.w. pun bersabda:

قُوْلُوْا: اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

Maka katakanlah: “Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muḥammad dan keluarga Muḥammad sebagaimana shalawat yang engkau limpahkan kepada Ibrāhīm dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mulia, dan limpahkanlah Ya Allah keberkahan kepada Muḥammad dan keluarganya sebagaimana Engkau limpahkan keberkahan kepada Ibrāhīm dan keluarganya di seluruh alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mulia.” (al-Hadits).

Jika kita perhatikan bersama tentang jawaban Baginda Rasūlullāh s.a.w. bahwa kita sebagai umatnya masih belum memenuhi haknya pujian kita kepada Rasūlullāh s.a.w. karena kita mengucapkan:

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muḥammad”.

Yang berarti kita belum bershalawat, akan tetapi kita meminta kepada Allah s.w.t. agar melimpahkan shalawat kepada Rasūlullāh s.a.w., karena hanya Allah-lah yang mengetahui kedudukan nabi dan utusan-Nya.

Dan kalau kita melihat dari sisi retorika dalam firman Allah s.w.t. berikut:

صَلُّوْا عَلَيْهِ

Bershalawatlah kalian kepada Nabi-Nya…….”. (QS. al-Aḥzāb [33]: 56).

Jelas bagi kita bahwa pujian/doa (shalawat) kita kepada Rasūlullāh s.a.w. terhitung sebagai ibadah yang paling diutamakan, yang mana Allah s.w.t. telah memerintahkan dan mensyariatkan di dalam agama sebagai suatu amalan yaitu, shalat dan itu telah jelas kita lihat dari firman Allah s.w.t. tersebut, maka Allah menamakan pujian/doa kita kepada Rasūlullāh s.a.w. sebagai shalat, dan jelas bagi kita juga bahwa dalam pujian kita kepada Rasūlullāh s.a.w. berbagai ganjaran dan balasan sebagaimana shalat yang kita persembahkan kepada Allah s.w.t. diberikan sebaik-baiknya ganjaran dan balasan.

Dan Rasūlullāh s.a.w. telah menganjurkan kepada kita agar bershalawat kepadanya, dikarenakan banyaknya pahala dan kemuliaan yang akan didapat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh sahabat Abū Hurairah r.a. dan ‘Abdullāh ibn ‘Amr r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا.

Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan membalasnya dengan sepuluh shalawat.” (al-Hadits).

Yaitu, Allah s.w.t. akan membalasnya dengan sepuluh kali lipat pujian, dan pujian Allah s.w.t. adalah rahmat, bagaimanakah kasih-sayang Allah yang berlipat-ganda jika kita bayangkan? Karena itu Baginda Rasūlullāh s.a.w. mengelompokkan orang yang lupa untuk mengagungkan beliau sebagai orang-orang yang kikir dan pelit, dan beliau s.a.w. menamakan orang tersebut bakhil (pelit), Baginda Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda berikut:

Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan membalasnya dengan sepuluh shalawat.(al-Hadits).

Orang yang pelit adalah orang yang ketika disebutkan namaku akan tetapi dia tidak bershalawat kepadaku.(HR. at-Tirmidzī dan Ḥākim).

الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

Orang yang pelit adalah orang yang ketika disebutkan namaku akan tetapi dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. at-Tirmidzī dan Ḥākim).

Itu semua dikarenakan dia pelit untuk memuji orang yang telah diutus oleh Allah s.w.t. sebagai penebar kasih-sayang, yang telah dinobatkan sebagai petunjuk keni‘matan abadi, dan pelit terhadap dirinya sendiri ketika menunda sepuluh shalawat Allah s.w.t. yang akan diberikan kepadanya balasan dari satu shalawat yang ia berikan kepada Baginda Rasūlullāh s.a.w. yang mulia. Allahumma shalli wa sallim wa bārik ‘alaih; wa ‘alā ālih.

Dan tentang salam kepada Baginda Rasūlullāh s.a.w. disebutkan oleh Imām an-Nawawī rhm. di dalam kitabnya “al-Adzkar”, beliau meriwayatkan dari ‘Utbi r.a.; bahwasanya beliau pernah berkata:

“Bahwa suatu hari aku duduk di dekat kuburan Baginda Rasūlullāh s.a.w. maka datang seorang A‘rabi (‘Arab pedalaman) mengucapkan “Salam bagimu duhai Rasūlullāh, aku mendengar bahwa Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَآؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muḥammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl pun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”. (QS. an-Nisā’ [4]: 64).

Maka, aku telah datang kepadamu meminta engkau agar memohonkan ampun terhadap diriku, memohonkan syafa‘at kepadaku.”

Kemudian A‘rabi itu melantunkan pujian:

يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ فِي التُّرْبِ أَعْظَمُهُ
فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَ الْأَكَمُ
نَفْسِيْ فِدَاءٌ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ
فِيْهِ الْعَفَافُ وَ فِيْهِ الْجُوْدُ وَ الْكَرَمُ
أَنْتَ الْحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ
عِنْدَ الصِّرَاطِ إِذَا مَا زَلَّتِ الْقَدَمُ.

Wahai sebaik-baiknya orang yang
dikebumikan di lembah ini lagi paling agung.
Maka menjadi harumlah dari pancaran
keharumannya semua lembah
dan pegunungan ini
Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau
menjadi penghuninya
Di dalamnya terdapat
kehormatan, kedermawanan dan kemuliaan
Engkau-lah Nabi yang diharapkan syafa‘atnya
Ketika di shirāth jika kaki ini tak tergelincir kelak.

Kemudian ia pun pergi, ujar ‘Utbi, maka ‘Utbi mengantuk dan tertidur seketika itu ia bermimpi Baginda Rasūlullāh s.a.w., beliau mengucapkan:

Wahai ‘Utbi, susul dan temuilah si A‘rabi dan berikan kabar gembira bahwa Allah s.w.t. sudah mengampuninya.

Dan diriwayatkan oleh Imām Abū Dāūd rhm. di dalam hadits shaḥīḥ bahwa Rasūl s.a.w. bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.

Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sampai aku membalas salamnya.” (HR. Abū Dāūd).

Seandainya kita telah mengetahui keutamaan ini, kita bisa melihat bagaimana kekurangan orang-orang yang telah menyebutkan nama Baginda Rasūlullāh s.a.w. di majelis, di acara umum maupun khusus, dengan namanya saja (Muḥammad) tanpa penghormatan ataupun bacaan shalawat kepadanya, mereka telah lupa bahwa mereka memberikan penghargaan terhadap penyebutan nama manusia lainnya dengan gelar keagungan ataupun sifat lainnya, maka sesungguhnya Baginda Rasūlullāh s.a.w. lebih berhak untuk diagungkan dari seluruh gelar keagungan yang dimiliki manusia, dan tidak sepantasnya di dalam hati seorang mu’min sejati yang lebih agung dan utama setelah Allah s.w.t. selain Baginda Rasūlullāh s.a.w., Allahumma shalli wa sallim wa bārik ‘alaih; wa ‘alā ālih.

Dan dari upaya kita untuk mencapai hak kemuliaan Baginda Rasūlullāh s.a.w. dan pengetahuan kita akan keindahannya adalah memberikan gelar pemimpin (Baginda) kepada beliau, yaitu lafazh “Sayyidinā” serta bershalawat kepada beliau menggunakan lafazh tersebut.

Di dalam setiap penyebutan kita kepada Baginda Rasūlullāh s.a.w. diiringi pujian penghormatan dan kemuliaan, bukti bahwa hati kita diisi dengan keimanan kepadanya, dicucuri dengan kecintaan serta kehormatan kepada Rasūlullāh s.a.w., serta merasuk di dalamnya ma‘na pengagungan terhadap syariat dan hukumnya.

Jika seseorang bergelora dengan peringatan Baginda Rasūl s.a.w. dan pengagungannya, maka tumbuhlah di dalam hatinya benih-benih keimanan serta terpancar dari dirinya cahaya, dan terlihat semangat untuk mempraktikkan syarī‘atnya yang suci serta menghidupkan sunnahnya yang mulia.

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *