Hakikat & Majaz – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Pembagian Kalām.

 

(وَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ يَنْقَسِمُ إِلَى حَقِيْقَةٍ وَ مَجَازٍ فَالْحَقِيْقَةُ مَا بَقِيَ فِي الْاِسْتِعْمَالِ عَلَى مَوْضُوْعِهِ وَ قِيْلَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيْمَا اصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُخَاطَبَةِ) وَ إِنْ لَمْ يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ كَالصَّلَاةِ فِي الْهَيْئَةِ الْمَخْصُوْصَةِ، فَإِنَّهُ لَمْ يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ اللُّغَوِيِّ وَ هُوَ الدُّعَاءُ بِخَيْرٍ، وَ الدَّابَّةِ لِذَاتِ الْأَرْبَعِ كَالْحِمَارِ فَإِنَّهُ لَمْ يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ وَ هُوَ كُلُّ مَا يَدُبُّ عَلَى الْأَرْضِ.

Dari sisi lain kalam terbagi menjadi hakikat dan majaz. Hakikat adalah lafazh yang dalam penggunaannya sesuai ma‘na asal lughat. Menurut pendapat lain, hakikat ialah lafazh yang digunakan pada arti yang diistilahkan perbincangan (141), walaupun tidak bergeser dari arti asal (arti lughat). Seperti lafazh shalat, digunakan untuk (hakikat syar‘ī) berupa ‘ibadah dengan tata cara tertentu. Penggunaan ini sudah tidak menetapi arti asal lughat, ya‘ni berdoa dengan kebaikan.

Contoh lain kata ad-dābbah, digunakan untuk (hakikat ‘urfi) berupa binatang berkaki empat. Penggunaan ini sudah tidak menetapi ma‘na asal lughat, ya‘ni setiap binatang melata di atas bumi.

Penjelasan:

Mengenai definisi hakikat, terdapat dua pendapat.

  1. Pendapat pertama, hakikat adalah lafazh yang digunakan sesuai ma‘na asal lughatnya, contoh:
  • Lafazh (أَسَدٌ) digunakan untuk ma‘na hewan buas.
  • Lafazh (الصَّلَاةُ) digunakan untuk ma‘na berdoa kebaikan
  • Lafazh (الدَّابَّةُ) digunakan untuk ma‘na setiap binatang melata di muka bumi.
  1. Pendapat kedua, hakikat adalah lafazh yang digunakan dalam ma‘na yang dijadikan istilah perbincangan (istilah at-takhāthub), meskipun telah keluar dari ma‘na lughatnya. Contoh:
  • Lafazh (الصَّلَاةُ) digunakan untuk ma‘na ‘ibādah dengan tatacara tertentu oleh kelompok fuqahā’.
  • Lafazh (الدَّابَّةُ) digunakan untuk ma‘na hewan berkaki empat seperti kambing kelompok ‘urf (manusia umum).

Meskipun kedua ma‘na di atas telah keluar dari ma‘na lughatnya.

 

(وَ الْمَجَازُ مَا تُجُوِّزَ) أَيْ تُعُدِّيَ بِهِ (عَنْ مَوْضُوْعِهِ) وَ هذَا عَلَى الْمَعْنَى الْأَوَّلِ لِلْحَقِيْقَةِ، وَ عَلَى الثَّانِيْ: هُوَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيْ غَيْرِ مَا اُصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُخَاطِبَةِ.

Majaz adalah suatu lafazh yang keluar dari ma‘na asalnya. Pengertian ini apabila berdasarkan ma‘na hakikat yang pertama.

Jika memandang arti hakikat yang kedua, maka definisi majaz adalah suatu lafazh yang digunakan di selain ma‘na yang dibuat istilah oleh mukhāthibīn.

Penjelasan:

Dua pendapat mengenai pengertian hakikat, mempengaruhi definisi dari majaz. Berpijak dari pendapat pertama, majaz ialah:

مَا تُجُوِّزَ عَنْ مَوْضُوْعِهِ

“Lafazh yang digunakan pada selain arti lughatnya.”

Contoh, lafazh (الصَّلَاةُ) dianggap majaz, apabila ahli lughat menggunakannya untuk ma‘na ‘ibādah dengan tatacara tertentu, karena ma‘na asal lughatnya adalah berdoa.

Berpijak dari pendapat kedua, majaz ialah:

مَا اسْتُعْمِلَ فِيْ غَيْرِ مَا اُصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُخَاطِبَةِ.

Lafazh yang digunakan untuk menunjukkan arti selain ma‘na yang dibuat istilah dari perbincangan.”

Contoh:

  • Lafazh (الصَّلَاةُ) dianggap majaz apabila golongan ahli fiqh menggunakannya untuk ma‘na doa. Karena ma‘na asal yang dibuat oleh mereka adalah ‘ibādah dengan tatacara tertentu.
  • Lafazh (الدَّابَّةُ) dianggap majaz apabila golongan ahli ‘urfi menggunakannya untuk ma‘na binatang yang melata di muka bumi. Karena ma‘na asal yang dibuat oleh mereka adalah hewan berkaki empat.

Dalam majaz diharuskan memenuhi dua persyaratan, adanya ‘alāqah dan qarīnah. ‘Alāqah adalah sesuatu yang menghubungkan antara ma‘na pertama dan ma‘na kedua yang digunakan, sehingga dengan perantara ini hati berpindah menuju ma‘na kedua. Dan qarīnah adalah sesuatu yang berbarengan yang menunjukkan pada ma‘na yang dimaksud dan memastikan bukan ma‘na pertama yang dikehendaki. Persyaratan adanya qarīnah ini menurut ‘ulamā’ yang melarang penggunaan ma‘na hakikat dan majaz secara bersamaan. (152).

Dari pengertian majaz di atas, disimpulkan bahwa dalam majaz disyaratkan terlebih dahulu harus ada wadh‘u (penetapan lafazh untuk sebuah ma‘na) atas ma‘na pertama, namun tidak disyaratkan terlebih dahulu ada isti‘māl (penggunaan ma‘na).

Catatan:

Menurut pendapat Ashaḥḥ, ketika sebuah lafazh mashdar digunakan dalam ma‘na aslinya, maka lafazh yang musytaq (tercetak) dari mashdar tersebut sah dibuat majaz, meskipun mashdar tersebut tidak terpakai pada musytaq lahu (perkara yang dibuatkan lafazh musytaq). Contoh, lafazh (الرَّحْمنُ) tercetak dari mashdar (رَحْمَةٌ), dan mashdar ini terpakai dalam ma‘na aslinya, ya‘ni kelembutan hati. Namun ma‘na ini tidak sah dipakai dalam musytaq lahu (perkara yang dibuatkan lafazh musytaq), yaitu Allah s.w.t., karena muḥāl (tidak diterima akal). Sehingga pembuatan majaz dalam (الرَّحْمنُ) dianggap sudah sah. (163).

Pertanyaan:

Apa faktor dan alasan perpindahan hakikat menuju majaz?

Jawab:

Faktor-faktornnya adalah sebagai berikut:

  1. Lafazh dari ma‘na hakikat berat pengucapannya. Contoh lafazh (خَنْفِقِيْق) yang berarti marabahaya, dipindah menjadi lafazh (مَوْتٌ).
  2. Kurang enak didengar, misalnya lafazh (خِرَاءَةٌ), artinya kotoran yang diganti dengan lafazh (غَائِطٌ), arti hakikatnya dataran rendah.
  3. Ketidaktahuan baik dari mutakallim atau mukhāthab atas ma‘na hakikat, bukan ma‘na majaz-nya.
  4. Karena nilai sastra yang terkandung. Contoh, lafazh (زَيْدٌ أَسَدٌ) “Zaid seperti singa) dalam keberaniannya. Ini memiliki nilai sastra lebih tinggi dibandingkan lafazh (زَيْدٌ شُجَاعٌ).
  5. Maka majaz lebih dikenal daripada ma‘na hakikatnya. Dan lain-lain.

Referensi:

وَ إِنَّمَا يُعْدِلُ عَنِ الْحَقِيْقَةِ إِلَى الْمَجَازِ لِثِقَلِ الْحَقِيْقَةِ عَلَى اللِّسَانِ كَالْخَنْفِقِيْقِ اِسْمٌ لِلدَّاهِيَةِ يُعْدِلُ عَنْهُ إِلَى الْمَوْتِ مَثَلًا أَوْ بَشَاعَتِهَا كَالْخِرَاءَةِ يُعْدِلُ عَنْهَا إلَى الْغَائِطِ وَ حَقِيْقَتُهُ الْمَكَانُ الْمُنْخَفِضُ أَوْ جَهْلِ الْمُتَكَلِّمِ أَوِ الْمُخَاطَبِ بِهَا دُوْنَ الْمَجَازِ أَوْ بَلَاغَتِهِ نَحْوُ زَيْدٌ أَسَدٌ فَإِنَّهُ أَبْلَغُ مِنْ شُجَاعٍ أَوْ شُهْرَتِهِ دُوْنَ الْحَقِيْقَةِ أَوْ غَيْرُ ذلِكَ. (النَّفَحَاتُ صــــ 49)

Sesungguhnya berpindah dari hakikat menuju majaz, karena lafazh dari ma‘na hakikat berat pengucapannya. Contoh lafazh (خَنْفِقِيْق) yang berarti marabahaya, dipindah menjadi lafazh (مَوْتٌ). Atau kurang enak didengar, misalnya lafazh (خِرَاءَةٌ), artinya kotoran yang diganti dengan lafazh (غَائِطٌ), arti hakikatnya dataran rendah. Atau ketidaktahuan baik dari mutakallim atau mukhathab atas ma‘na hakikat, bukan ma‘na majaz-nya. Atau karena nilai sastra yang tinggi. Contoh, lafazh (زَيْدٌ أَسَدٌ) “Zaid seperti singa) dalam keberaniannya. Bahasa ini memiliki nilai sastra lebih tinggi dibandingkan lafazh (زَيْدٌ شُجَاعٌ). Atau ma‘na majaz lebih dikenal daripada ma‘na hakikatnya. Atau faktor yang lain.”

Catatan:

  1. 14). Istilah perbincangan (istilah at-takhāthub) memuat hakikat lughat, syar‘i dan ‘urfi.
  2. 15). Ghāyat-ul-Wushūl, hal. 48, dan Syarḥ-ul-Kawākib-is-Sāthi‘, vol. I, hal. 124.
  3. 16). An-Nafaḥāt, hal. 42.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *