(وَ الْأَحْكَامُ) الْمُرَادَةُ فِيْمَا ذُكِرَ (سَبْعَةٌ: الْوَاجِبُ وَ الْمَنْدُوْبُ وَ الْمُبَاحُ وَ الْمَحْظُوْرُ وَ الْمَكْرُوْهُ وَ الصَّحِيْحُ وَ الْبَاطِلُ).
فَالْفِقْهُ الْعِلْمُ بِالْوَاجِبِ وَ الْمَنْدُوْبِ إِلَى أَخِرِ السَّبْعَةِ أَيْ بِأَنَّ هذَا الْفِعْلَ وَاجِبٌ وَ هذَا مَنْدُوْبٌ وَ هذَا مُبَاحٌ وَ هكَذَا إِلَى أَخِرِ السَّبْعَةِ.
Dan hukum yang dimaksud pada keterangan yang telah lewat ada tujuh macam, wājib, mandūb (sunnah), mubāḥ, maḥzhūr (ḥarām), makrūh, sah, dan batal.
Maka yang dinamakan fiqh ialah pengetahuan tentang hukum wājib, sunnah, sampai ketujuh hukum di atas. Artinya bahwa pekerjaan ini hukumnya wājib, mandūb (sunnah), dan pekerjaan ini mubāḥ sampai akhir ke tujuh hukum di atas.
Hukum ialah khithab Allah s.w.t. yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Terbagi menjadi dua:
Hukum taklīfī ialah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik bersifat tuntutan, atau bersifat memilih (mengerjakan atau meninggalkan). Kemudian diperinci sebagai berikut:
Hukum Wadh‘ī ialah khithab Allah s.w.t. yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, māni‘ (pencegah), shaḥīḥ (sah) atau fāsid (rusak).