Pembagian Hukum – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

2. PEMBAGIAN HUKUM

 

Kemudian hukum-hukum itu terbagi menjadi dua:

1. Hukum-hukum Furū‘ (cabang).

Hukum-hukum ini tidak menjadi tetap kecuali pada haknya orang yang telah sampai da‘wah kepadanya ya‘ni da‘wah dari rasūl yang memang diutus kepadanya. Hal ini telah disepakati oleh para ‘ulamā’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qāsim.

2. Hukum-hukum Ushūl (pokok).

Pada hukum-hukum ini telah terjadi khilāf antara ‘ulamā’ dalam hal kecukupan bagi tetapnya hukum-hukum itu dengan seorang rasūl yang mana saja.

Satu pendapat mengatakan bahwa cukuplah dalam hal tetapnya hukum-hukum itu dengan seorang rasūl yang mana saja.

Pendapat ini dikuatkan oleh Imām Nawawī dan sebagian ‘ulamā’ ada yang menisbahkan kepada golongan Māturīdiyyah.

Penisbatan seperti ini melahirkan satu pemahaman bahwa Māturīdiyyah berpendapat: “Bahwa sesungguhnya semua hukum menjadi tetap dengan syara‘.”

Hal ini tentunya bertentangan dengan keterangan terdahulu di mana Māturīdiyyah mengecualikan satu hukum ya‘ni hukum tentang kewajiban ma‘rikat kepada Allah s.w.t. karena hukum ini tetap dengan akal.

Jika sebagian ‘ulamā’ tersebut di dalam penisbahannya tentang pendapat di atas kepada golongan Māturīdiyyah mengecualikan pula hukum yang demikian maka tidaklah ada pertentangan.

Berdasarkan pendapat di atas maka setiap orang yang telah sampai kepadanya dakwah seorang rasūl dari para rasul meskipun Nabi Ādam a.s. maka dia telah dikenai taklīf (pembebanan) dengan iman meskipun rasūl itu tidak diutus kepadanya. Maka barang siapa yang ingkar dan bersikap sombong untuk mengikutinya ia berhak menerima ‘adzab. Adapun orang yang tidak sampai kepadanya da‘wah dengan sebab keberadaannya di ujung negeri yang jauh lagi terasing maka dia dianggar ‘udzur.

Sedangkan satu pendapat lagi mengatakan bahwa tidak cukup dalam hal tetapnya hukum-hukum itu dengan seorang rasūl yang mana saja melainkan dipandang (di-i‘tibār) setiap rasūl itu bersama ummatnya.

Maka Ahl-ul-Fathrah ya‘ni mereka yang tidak berada pada zaman seorang rasul atau berada pada zaman seorang rasūl tetapi rasūl itu tidak diutus untuk mereka, mereka termasuk orang-orang yang selamat meskipun mereka menyembah berhala karena ‘udzurnya mereka itu.

Dan Allah s.w.t. memberikan kepada mereka beberapa tempat dari (جَنَّاتُ الْإِخْتِصَاصِ.) “surga-surga khusus” dan bukan dari (جَنَّاتُ الْأَعْمَالِ.) “surga-surga ‘amal” karena mereka tidak punya ‘amal kebaikan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *