Para Wali Allah – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

23

Para Wali Allah

 

Allah s.w.t. berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak pula bersedih. Yaitu, mereka yang beriman dan bertakwa. Ada kabar gembira untuk mereka di dunia maupun di akhirat. Tak ada perubahan pada kalimat-kalimat (janji dan ketetapan) Allah. Yang demikian itulah kemenangan yang agung.” (Yūnus [10]: 62-64).

Yang disebut wali Allah adalah mereka yang berlari membawa qalbu dan tekad mereka dari dunia menuju tempat yang suci. Mereka duduk di atas hamparan karpet kesukacitaan jiwa (al-uns), memakai baju taqwā, menahan diri dari syahwat dunia, bersikap zuhud terhadap kenikmatan yang ada di dalamnya, menjauh dari keindahan lahiriahnya, setiap hari berpuasa dari yang ḥarām, menghindar dari dosa, menjauhi perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, merasa cukup dengan yang ḥalāl dan baik, menjaga diri dari yang makrūh dan mubāḥ, serta mengerjakan ‘amal ketaatan kepada Allah dengan tekad tulus hati nan bersih suci, dan niat yang ikhlas sehingga mereka pun bisa berdialog kepada Allah, berhadap-hadapan dengan-Nya, duduk bersama-Nya, menyaksikan-Nya, serta merasakan kelembutan-Nya.

Karena jarak antara para wali Allah dan sahabat Nabi begitu jauh, Allah pun memberikan berbagai karāmah kepada para wali tersebut. Itu untuk menutupi kekurangan mereka yang tak bisa mengikuti Rasūl s.a.w. secara sempurna sebagaimana layaknya sahabat. Ada yang bertanya, mengapa para sahabat memiliki karāmah sedang para wali Allah tidak? Jawabannya, karena para sahabat r.a. memiliki karāmah yang lebih besar dan lebih agung. Yaitu, mereka bisa menyertai Rasūl s.a.w., bisa mengorbankan harta dan jiwa dalam rangka membela dakwah beliau dan dalam rangka menyebarkan risālah beliau. Adakah karāmah yang lebih besar dari itu?

Jika engkau menyaksikan seorang wali Allah, jangan sampai keagungannya menghalangimu untuk duduk sopan di hadapannya dan berusahalah mendapat keberkahan dengannya. Ketahuilah bahwa langit dan bumi juga bersikap baik terhadap wali Allah sebagaimana sikap manusia terhadap mereka.

Kebiasaan manusia adalah banyak bicara dan tidak suka diam. Padahal, seandainya engkau mau mendekat kepada Allah secara tulus dan jujur, pasti engkau akan senantiasa mendengar pembicaraan-Nya baik di pasar, rumah, masjid, dan pada saat menyendiri. Namun, siapa yang sadar ia akan menyaksikan. Siapa yang tidur telinga qalbunya takkan mendengar dan mata bāthinnya takkan menyaksikan apa-apa. Sebab, hijab maksiat membungkusnya.

Seandainya manusia bisa menangkap cahaya petunjuk, pastilah ia mendatangi Allah dalam setiap keadaan. Ia hanya akan duduk di hadapan-Nya dan tak perlu lagi meminta fatwā dari orang lain. Sebab, Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada seorang penanya: “Mintalah fatwā kepada qalbumu meskipun orang telah memberikan fatwā kepadamu.” Sebab, lintasan firasat ilahiah datang dari Allah. Firasat tersebut sesuai dengan syarī‘at. Sebab, ia merupakan ilham Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang saleh dan benar dalam ibadah. Bisa jadi fatwa sang mufti itu yang salah, sementara kalbu tidak salah. Tentu saja firasat ilahiah tersebut hanya diberikan kepada kalbu yang suci yang terhiasi dengan cahaya iman dan ‘ilm-ul-yaqīn. Kalaupun ada yang mau memberikan fatwā, maka itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar ‘ālim. Dan yang disebut ‘ālim adalah orang yang qalbunya tidak lalai dari Allah.

Janganlah engkau duduk bersama orang yang sering mengancam wali Allah dan dengan orang yang senang kalau mereka dikritik. Sebab, dengan begitu kedudukanmu akan jatuh dalam pandangan Allah dan engkau akan mendapat murka-Nya.

Berusahalah untuk tidak mengejek seseorang, menentangnya, membandingkan antara keadaanmu dan keadaannya, serta menyamakan ‘amalmu dengan amalnya. Tetapi, kembalikanlah pada al-Qur’ān dan Sunnah. Mereka adalah orang-orang yang telah duduk bersama Allah dengan benar-benar tulus, ikhlas, disertai kedekatan (murāqabah). Mereka serahkan kendali mereka kepada Allah dan mereka campakkan diri mereka secara pasrah di hadapan-Nya. Mereka tak mau membela diri karena malu kepada Tuhan. Oleh karena itu, Dialah yang akan memerangi setiap orang yang memerangi mereka dan Dialah yang akan mengalahkan setiap orang yang mengalahkan mereka.

Allah telah menguji para wali-Nya lewat manusia, terutama lewat orang-orang yang ber‘ilmu. Karenanya, jarang sekali engkau temukan ada orang yang Allah lapangkan dadanya untuk mengakui sosok wali Allah. Justru sebaliknya seringkali ia berkata: “Benar, para wali Allah memang ada. Tapi, di mana mereka?” Ketika disebutkan nama tertentu, dengan serta merta ia menolak keistimewaan yang Allah berikan pada sang wali tersebut. Lidahnya fasih berargumen, tetapi jauh dari kejujuran. Jauhilah orang semacam itu. Dan larilah darinya seperti larinya orang yang dikejar harimau.

Menurut Syaikh Abul-Ḥasan r.a., yang disebut faqīh bukanlah orang yang mata qalbunya tersingkap oleh ḥijāb. Tetapi, yang disebut faqīh adalah yang memahami rahasia penciptaannya. Yaitu, bahwa Allah menciptakannya untuk taat dan mengabdi. Kalau ini sudah dipahami, ia akan bersikap zuhud di dunia, senang kepada akhirat, meninggalkan keinginan nafsu, sibuk dengan Tuhan Pencipta, merenungkan hari akhir, selalu bersiap-siap, berusaha untuk mengumpulkan semua bekal, dan mengingat saat semua manusia dikumpulkan.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dalam pandangan Allah daripada mu’min yang lemah. Dan pada masing-masing ada kebaikan.” (H.R. Muslim). Mu’min yang kuat adalah yang qalbunya disinari oleh cahaya keyakinan.

Dalam al-Qur’ān Allah berfirman: “Dan orang-orang yang lebih dahulu. Merekalah yang paling dahulu. Mereka itu orang yang didekatkan (kepada Allah) dalam surga yang penuh nikmat.” (al-Wāqi‘ah [56]: 10-12). Mereka bersegera menuju Allah dengan membersihkan qalbu dari segala sesuatu selain-Nya. Tak ada yang menghalangi dan menyibukkan mereka dari Allah. Karenanya, merekalah yang lebih dulu bergegas menuju Allah tanpa ada yang merintangi. Yang merintangi manusia untuk bersegera menuju Allah adalah kebergantungan pada makhlūq. Setiap kali qalbunya ingin menuju Allah, ia ditarik oleh sikap kebergantungan tadi. Sehingga ia pun kembali.

Tentu saja Allah takkan menghampiri orang seperti itu. Dalam konteks inilah kita dapat memahami firman Allah yang berbunyi: “Pada hari saat harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang mendatangi Allah dengan qalbu yang bersih.” (asy-Syu‘arā’ [26]: 88-89). Qalbu yang bersih adalah qalbu yang tidak terkait dengan sesuatu selain Allah.

Allah berfirman: “Sesungguhnya kalian datang kepada Kami dalam keadaan sendiri-sendiri sebagaimana Kami ciptakan kalian pertama kalinya. Kalian tinggalkan di belakang kalian apa yang telah Kami kurniakan kepada kalian.” (al-An‘ām [6]: 94). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa engkau tak bisa sampai kepada Allah kecuali kalau engkau datang sendirian tanpa sesuatu selain-Nya.

Allah berfirman: “Bukankah Dia (Allah) mendapatimu dalam keadaan yatim lalu Dia melindungimu.” (adh-Dhuḥā [93]: 6). Artinya, Allah baru akan melindungimu ketika engkau betul-betul merasa yatim dari selain-Nya.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah ganjil. Dia senang kepada yang ganjil.” Maksudnya:

 

Mereka bersegera menuju Allah dengan membersihkan qalbu dari segala sesuatu selain-Nya. Tak ada yang menghalangi dan menyibukkan mereka dari Allah. Karenanya, merekalah yang lebih dulu bergegas menuju Allah tanpa ada yang merintangi.

 

Allah senang kepada qalbu yang bersih dari sesuatu yang bersifat duniawi. Qalbu tersebut hanya untuk Allah dan bersama Allah. Para wali Allah adalah orang-orang yang melihat dan berdialog dengan Allah lewat pandangan iḥsān. Bagaimana mungkin mereka bersandar pada selain Allah setelah menyaksikan keesaan-Nya?

Orang-orang yang paham hanya akan bersandar dan pasrah kepada Allah. Allah pun kemudian membantu mereka, mencukupi kebutuhan mereka, serta melengkapkan segala kerisauan yang ada. Mereka hanya sibuk dengan perintah Allah dan tidak lagi mengurusi apa yang sudah Allah jamin. Mereka sadar bahwa tak mungkin Allah akan membiarkan mereka dan tidak memberi mereka. Mereka hidup dalam kelapangan, berada dalam surga kepasrahan dan nikmatnya penyerahan. Dengan sikap tersebut, Allah angkat derajat mereka dan Allah sempurnakan cahaya mereka.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *