Orang yang Paling Berhak Menjadi Imam dalam Shalat Jenazah – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 003 Kitab Jenazah - Fikih Empat Madzhab

Bab: Orang yang Paling Berhak Menjadi Imām dalam Shalat Jenazah.

 

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang orang yang lebih berhak menjadi imām dalam shalat jenazah atas mayat.

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Penguasa lebih berhak daripada wali, kemudian baru wali.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila wali (dari pihak keluarga mayat) hadir sementara penguasa tidak hadir, maka dia sebaiknya meminta penghulu kampung yang hadir agar menjadi imām, tapi tidak perlu memaksanya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata dalam Qaul Jadīd-nya: “Wali lebih berhak daripada penguasa.”

Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah orang yang diberi wasiat (pengampu), kemudian penguasa, kemudian wali.” (6751).

 

  1. Mereka sepakat bahwa mayat boleh dishalati di dalam masjid meskipun makruh. Demikian menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik. Sementara menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad, hukumnya dibolehkan dan tidak makruh. (6762).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang menshalati mayat yang tidak ada di tempat (shalat ghaib) dengan niat.

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak sah.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya sah.” (6773).

 

  1. Mereka sepakat bahwa orang yang bunuh diri dan orang yang melakukan ghulūl (mencuri ghanīmah sebelum dibagikan) tetap dishalati kaum muslimin selain pemimpin (imām) mereka. (6784).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah imām boleh menshalati dua orang ini (orang yang bunuh diri dan melakukan ghulūl)?

Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia boleh menshalati keduanya.”

Mālik berkata: “Orang yang bunuh diri atau dibunuh karena hukuman Ḥadd tidak boleh dishalati oleh imām.”

Aḥmad berkata: “Imām tidak boleh menshalati orang yang melakukan ghulūl dan orang yang bunuh diri.” (6795).

 

  1. Mereka sepakat bahwa di antara syarat sahnya shalat jenazah adalah thahārah (suci dari hadats kecil dan besar) dan menutup aurat. (6806).

Catatan:

  1. 675). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/353), al-Hidāyah (1/98), al-‘Uddah (1/15), dan at-Talqīn (146).
  2. 676). Lih. al-Mabsūth (2/109), al-Muhadzdzab (1/245), at-Taḥqīq (4/245), dan al-Muhallā (5/162).
  3. 677). Lih. al-Majmū‘ (5/211), at-Taḥqīq (4/251), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/338), dan al-Muhallā (5/169).
  4. 678). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (70), al-Mudawwanah (1/307).
  5. 679). Lih. at-Taḥqīq (4/262), al-Majmū‘ (5/230), al-Mughnī (2/418), Raḥmat-ul-Ummah (70).
  6. 680). Lih. al-Majmū‘ (5/180), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/348), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/444).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *