Bab: Orang yang Paling Berhak Menjadi Imām dalam Shalat Jenazah.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang orang yang lebih berhak menjadi imām dalam shalat jenazah atas mayat.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Penguasa lebih berhak daripada wali, kemudian baru wali.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila wali (dari pihak keluarga mayat) hadir sementara penguasa tidak hadir, maka dia sebaiknya meminta penghulu kampung yang hadir agar menjadi imām, tapi tidak perlu memaksanya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam Qaul Jadīd-nya: “Wali lebih berhak daripada penguasa.”
Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah orang yang diberi wasiat (pengampu), kemudian penguasa, kemudian wali.” (6751).
- Mereka sepakat bahwa mayat boleh dishalati di dalam masjid meskipun makruh. Demikian menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik. Sementara menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad, hukumnya dibolehkan dan tidak makruh. (6762).
- Mereka berbeda pendapat tentang menshalati mayat yang tidak ada di tempat (shalat ghaib) dengan niat.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak sah.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya sah.” (6773).
- Mereka sepakat bahwa orang yang bunuh diri dan orang yang melakukan ghulūl (mencuri ghanīmah sebelum dibagikan) tetap dishalati kaum muslimin selain pemimpin (imām) mereka. (6784).
- Mereka berbeda pendapat, apakah imām boleh menshalati dua orang ini (orang yang bunuh diri dan melakukan ghulūl)?
Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia boleh menshalati keduanya.”
Mālik berkata: “Orang yang bunuh diri atau dibunuh karena hukuman Ḥadd tidak boleh dishalati oleh imām.”
Aḥmad berkata: “Imām tidak boleh menshalati orang yang melakukan ghulūl dan orang yang bunuh diri.” (6795).
- Mereka sepakat bahwa di antara syarat sahnya shalat jenazah adalah thahārah (suci dari hadats kecil dan besar) dan menutup aurat. (6806).
Catatan:
- 675). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/353), al-Hidāyah (1/98), al-‘Uddah (1/15), dan at-Talqīn (146).
- 676). Lih. al-Mabsūth (2/109), al-Muhadzdzab (1/245), at-Taḥqīq (4/245), dan al-Muhallā (5/162).
- 677). Lih. al-Majmū‘ (5/211), at-Taḥqīq (4/251), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/338), dan al-Muhallā (5/169).
- 678). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (70), al-Mudawwanah (1/307).
- 679). Lih. at-Taḥqīq (4/262), al-Majmū‘ (5/230), al-Mughnī (2/418), Raḥmat-ul-Ummah (70).
- 680). Lih. al-Majmū‘ (5/180), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/348), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/444).
Komentar
Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?