Bab: Orang yang Paling Berhak Menjadi Imām dalam Shalat Jenazah.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang orang yang lebih berhak menjadi imām dalam shalat jenazah atas mayat.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Penguasa lebih berhak daripada wali, kemudian baru wali.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila wali (dari pihak keluarga mayat) hadir sementara penguasa tidak hadir, maka dia sebaiknya meminta penghulu kampung yang hadir agar menjadi imām, tapi tidak perlu memaksanya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam Qaul Jadīd-nya: “Wali lebih berhak daripada penguasa.”
Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah orang yang diberi wasiat (pengampu), kemudian penguasa, kemudian wali.” (675).
- Mereka sepakat bahwa mayat boleh dishalati di dalam masjid meskipun makruh. Demikian menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik. Sementara menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad, hukumnya dibolehkan dan tidak makruh. (676).
- Mereka berbeda pendapat tentang menshalati mayat yang tidak ada di tempat (shalat ghaib) dengan niat.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak sah.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya sah.” (677).
- Mereka sepakat bahwa orang yang bunuh diri dan orang yang melakukan ghulūl (mencuri ghanīmah sebelum dibagikan) tetap dishalati kaum muslimin selain pemimpin (imām) mereka. (678).
- Mereka berbeda pendapat, apakah imām boleh menshalati dua orang ini (orang yang bunuh diri dan melakukan ghulūl)?
Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia boleh menshalati keduanya.”
Mālik berkata: “Orang yang bunuh diri atau dibunuh karena hukuman Ḥadd tidak boleh dishalati oleh imām.”
Aḥmad berkata: “Imām tidak boleh menshalati orang yang melakukan ghulūl dan orang yang bunuh diri.” (679).
- Mereka sepakat bahwa di antara syarat sahnya shalat jenazah adalah thahārah (suci dari hadats kecil dan besar) dan menutup aurat. (680).