Hati Senang

Orang yang Paling Berhak Menjadi Imam dalam Shalat Jenazah – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah


Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Bab: Orang yang Paling Berhak Menjadi Imām dalam Shalat Jenazah.

 

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang orang yang lebih berhak menjadi imām dalam shalat jenazah atas mayat.

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Penguasa lebih berhak daripada wali, kemudian baru wali.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila wali (dari pihak keluarga mayat) hadir sementara penguasa tidak hadir, maka dia sebaiknya meminta penghulu kampung yang hadir agar menjadi imām, tapi tidak perlu memaksanya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata dalam Qaul Jadīd-nya: “Wali lebih berhak daripada penguasa.”

Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah orang yang diberi wasiat (pengampu), kemudian penguasa, kemudian wali.” (675[efn_note]675). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/353), al-Hidāyah (1/98), al-‘Uddah (1/15), dan at-Talqīn (146).[/efn_note]).

 

  1. Mereka sepakat bahwa mayat boleh dishalati di dalam masjid meskipun makruh. Demikian menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik. Sementara menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad, hukumnya dibolehkan dan tidak makruh. (676[efn_note]676). Lih. al-Mabsūth (2/109), al-Muhadzdzab (1/245), at-Taḥqīq (4/245), dan al-Muhallā (5/162).[/efn_note]).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang menshalati mayat yang tidak ada di tempat (shalat ghaib) dengan niat.

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak sah.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya sah.” (677[efn_note]677). Lih. al-Majmū‘ (5/211), at-Taḥqīq (4/251), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/338), dan al-Muhallā (5/169).[/efn_note]).

 

  1. Mereka sepakat bahwa orang yang bunuh diri dan orang yang melakukan ghulūl (mencuri ghanīmah sebelum dibagikan) tetap dishalati kaum muslimin selain pemimpin (imām) mereka. (678[efn_note]678). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (70), al-Mudawwanah (1/307).[/efn_note]).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah imām boleh menshalati dua orang ini (orang yang bunuh diri dan melakukan ghulūl)?

Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia boleh menshalati keduanya.”

Mālik berkata: “Orang yang bunuh diri atau dibunuh karena hukuman Ḥadd tidak boleh dishalati oleh imām.”

Aḥmad berkata: “Imām tidak boleh menshalati orang yang melakukan ghulūl dan orang yang bunuh diri.” (679[efn_note]679). Lih. at-Taḥqīq (4/262), al-Majmū‘ (5/230), al-Mughnī (2/418), Raḥmat-ul-Ummah (70).[/efn_note]).

 

  1. Mereka sepakat bahwa di antara syarat sahnya shalat jenazah adalah thahārah (suci dari hadats kecil dan besar) dan menutup aurat. (680[efn_note]680). Lih. al-Majmū‘ (5/180), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/348), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/444).[/efn_note]).

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.