Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ صِفْ شَهِيْدَ الْحَرْبِ بِالْحَيَاة | وَ رزْقَهُ مِنْ مُشْتَهَى الْجَنَّاتِ. |
“Sifatilah masih hidup orang yang mati syahīd dalam peperangan. Allah akan memberinya rezeki dengan keni‘matan-keni‘matan surga yang diinginkan.”
Yakinilah wajibnya menyifati orang yang mati syahīd dalam peperangan dengan hidup yang sempurna dan diberi rezeki dengan sebaik-baiknya keni‘matan surga.
Seorang mu’min wajib meyakini bahwa orang yang mati syahīd dalam peperangan itu masih hidup, mereka tidak mati. Allah s.w.t. memberi mereka rezeki berupa buah-buahan surga yang ni‘mat dan sebaik-baik makanan. (2181).
Ma‘na (شَهِيْدَ الْحَرْبِ) di sini adalah syahīd dunia dan akhirat. Mereka adalah orang yang mati karena berperang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan agama Allah s.w.t. Berbeda dengan syahīd dunia, ya‘ni orang yang mati karena berperang melawan orang kafir dengan niat mendapat ghanīmah (harta rampasan perang) atau agar mendapatkan ketenaran, maka mereka tidak akan mendapatkan pahala yang sempurna dan juga tidak sama hukumnya dengan orang yang syahīd akhirat saja. Walaupun di dunia ia dihukumi seperti syahīd dunia-akhirat dari segi tidak dimandikan dan dishalati, tetapi di akhirat tidak dihukumi seperti orang yang syahīd. (2192).
Orang yang syahīd akhirat seperti orang yang mati karena penyakit tha‘un, sakit perut, terbunuh, tenggelam, dan mati saat mencari ‘ilmu. Di akhirat, semuanya dihukumi seperti syahīd yang pertama. Adapun di dunia, dia dihukumi seperti bukan orang yang mati syahīd, maka wajib dimandikan dan dishalati.
Dengan demikian, mati syahīd ada tiga macam: (2203)
Arwah para syuhadā’ yang pertama (syahīd dunia-akhirat) berada di leher burung surga yang bersambung cahaya lentera dengan tempat yang berada di kanan-kiri dan bawahnya. Wallāhu a‘lam.