Ya, oleh karena itu, Nabi s.a.w. menganjurkan ziarah kepada orang-orang yang sudah mati dan memberi salam kepada mereka dengan bentuk ungkapan kepada pihak kedua. Saat berziarah ke makam Baqī‘, Nabi s.a.w. mengucapkan:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ، أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَ نَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ.
“Keselamatan bagi kalian di persemayaman kaum mu’minin. Sesungguhnya kami in syā’ Allāh akan menyusul kalian. Kalian adalah pendahulu bagi kami, dan kami akan mengikuti kalian kemudian.” (11).
Sungguh jauh kemungkinannya Nabi s.a.w. memberi salam kepada kaum yang tidak mendengar dan tidak pula berfirkir.
Ya, Ibnu Abid-Dunyā meriwayatkan dalam Kitāb-ul-Qubūr dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ، فَيَجْلِسُ عِنْدَهُ، إِلَّا اسْتَأْنَسَ بِهِ وَ رُدَّتْ عَلَيْهِ رُوْحُهُ حَتَّى يَقُوْمَ مِن عِنْدِهِ.
“Tidaklah seseorang menziarahi kubur saudaranya lantas duduk di sisinya kecuali ia merasa nyaman dengannya dan rūḥnya dikembalikan kepadanya hingga ia bangkit dari sisinya.” (22)
Nabi s.a.w. bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيْهِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، إِلَّا رُدَّتْ عَلَيْهِ رُوْحُهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
“Tidaklah seseorang melewati kubur saudaranya yang dikenalnya di dunia lantas memberi salam kepadanya, melainkan rūḥnya dikembalikan kepadanya hingga membalas salamnya.” (33).
Dalam Zād-ul-Ma‘ād, Ibnu Qayyim mengatakan dalam bahasan tentang keistimewaan-keistimewaan hari Jum‘at: “Bahwasanya arwāḥ orang-orang yang mati mendekat di kubur mereka dan dipertemukan pada hari Jum‘at. Mereka pun mengetahui orang-orang yang menziarahi mereka dan orang yang melewati mereka, memberi salam kepada mereka, dan menemui mereka pada hari itu, lebih dari pengetahuan terhadap mereka di hari-hari yang lain.
Ibnu Qayyim juga menyebutkan dari Sufyān ats-Tsaurī, ia mengatakan: “Disampaikan kepadaku dari adh-Dhaḥḥāk, ia mengatakan: “Siapa yang berziarah kubur pada hari Sabtu sebelum terbit matahari, maka mayit mengetahui ziarahnya”.”
Saat adh-Dhaḥḥāk ditanya: “Kenapa demikian?”
Ia menjawab: “Karena kedudukan hari Jum‘at”.” (44).
Dalam kitab ar-Rūḥ, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang kafir yang mati hatinya, maka kamu tak mampu membuatnya dapat mendengar dengan pendengaran yang bermanfaat. Seperti halnya orang-orang yang berada di dalam kubur, kamu tidak mampu membuat mereka dapat mendengar dengan pendengaran yang bermanfaat.
Maksud firman Allah s.w.t. di atas tidak berarti bahwa orang-orang yang berada di dalam kubur tidak dapat mendengar sesuatu sama sekali.
Betapa tidak demikian, padahal Nabi s.a.w. memberitahukan, mereka mendengar suara sandal orang-orang yang mengiring jenazah. Beliau juga memberitahukan, orang-orang yang terbunuh pada Perang Badar mendengar perkataan dan pernyataan beliau. Beliau juga menganjurkan salam kepada mereka (yang sudah wafat) dengan bentuk ungkapan pada orang kedua; yang dapat didengar. Beliau juga memberitahukan bahwa orang yang memberi salam kepada saudaranya yang mu’min (yang sudah wafat), maka saudaranya itu menjawab salamnya?!
Ayat itu memiliki arah makna yang selaras dengan firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَ لَا تُسْمِعُ الصَّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ.
“Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang.” (QS. an-Naml: 80).
Demikian penjelasan Ibnu Qayyim secara ringkas. (55).