Nasakh-Mansukh – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Nasakh-Mansūkh

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ نَسْخُهُ لِشَرْعِ غَيْرِهِ وَقَعْ حَتْمًا أَذَلَّ اللهُ مَنْ لَهُ مَنَعْ.

Tetapi pe-nasakh-annya untuk syari‘at yang lain wajib terjadi – semoga Allah menghinakan orang yang mencegahnya.”

Pe-nasakh-an dan penyalinan syari‘at Rasūlullāh pada syari‘at yang lain pasti dan wajib terjadi, semoga Allah menghinakan kaum Yahudi dan Nasrani yang mencegah mansūkh-nya syari‘at mereka, yaitu kaum yang meyakini bahwa syari‘at Rasūlullāh tidak menyalin atau menghapus syari‘at yang lain.

Penjelasan

Semua syari‘at bertujuan untuk kemaslahatan manusia, dan setiap kemaslahatan ada aturan dan batasan waktunya (hanya Allah yang mengetahui). Maka, kemaslahatan syari‘at Nabi Mūsā a.s. berlaku sampai diutusnya Nabi ‘Īsā a.s., syari‘at yang tercantum dalam kitab Taurāt diganti dengan kitab Injīl, dan kemaslahatan syari‘at Nabi ‘Īsā a.s. berlaku sampai diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w, syari‘at Injīl diganti dengan al-Qur’ān, dan syari‘at Rasūlullāh kekal sampai hari Kiamat.

وَ نَسْخَ بَعْضِ شَرْعِهِ بِالْبَعَضِ أَجِزْ وَ مَا فِيْ ذَا لَهُ مِنْ غَضِّ.

Dan bolehkanlah terjadinya pe-nasakh-an sebagian syari‘atnya dengan sebagian yang lain. Pada pembolehan ini tidaklah terdapat satu kekurangan baginya.”

Lafazh (نَسْخَ) i‘rāb-nya nashab menjadi maf‘ūl awal dari lafazh (أَجِزْ) yang berupa fi‘il amr.

Wahai mukallaf, yakinilah boleh ter-nasakh-nya sebagian syari‘at Nabi Muḥammad s.a.w. dengan sebagian syari‘at yang lain. Me-nasakh sebagian syari‘at tidak akan menjadikan syari‘at Nabi tidak sempurna dan hina, sehingga tercegah untuk me-nasakh, sama sekali tidak demikian adanya.

Penjelasan

Me-nasakh sebagian ayat al-Qur’ān dengan sebagian ayat lain diperbolehkan. Hal itu tidak menjadikan berkurangnya kesempurnaan atau menjadikannya cacat. Maksudnya, mansukh itu untuk kemaslahatan manusia karena tabiat dan kekuatan manusia tidak kekal. Oleh karena itu, Allah memberikan rahmat-Nya berupa perubahan syari‘at disesuaikan dengan kondisi manusia. (1191).

Kaum Yahudi dna Nasrani memiliki pandangan yang berbeda, mereka berpendapat bahwa kitābullāh adalah kalām Allah Yang Maha Mengetahui sesuatu secara detail, maka boleh jika berubah-ubah, awalnya haram kemudian menjadi halal, atau awalnya halal kemudian menjadi haram. Karena pemahaman inilah mereka tidak mau beriman kepada Nabi Muḥammad.

Adapun contoh ayat yang mansūkh (di-nasakh) dengan ayat lain adalah firman Allah:

وَ الَّذِبْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (QS. al-Baqarah [2]: 240).

Kesimpulan ayat ini, ‘iddah (1202) wanita yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun. Ayat ini di-nasakh (1213) oleh firman Allah:

وَ الّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-‘iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah [2]: 234).

Ayat ini menyebutkan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Maka, sampai hari Kiamat, ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Dan juga contoh-contoh ayat yang lain.

Catatan:

  1. 119). Tuḥfat al-Murīd, hal. 226.
  2. 120). ‘Iddah adalah masa penantian seorang wanita yang ditinggal mati atau diceraikan suaminya atau diwathi syubhat. (Lihat, Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Ḥāsyiyat-ul-Bajūrī, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007, vol. 2, hal. 173).
  3. 121). Nasakh secara bahasa menghilangkan atau memindah. Secara istilah menghilangkan hukum syara‘ dengan dalil syara‘ (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi Syarḥu Jauharat-it-Tauḥīd, tahqiq: Dr, ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2022, hal. 225).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *