Hati Senang

Nasab Serta Kelahiran dan Masa Kecil Nabi Muhammad s.a.w. – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN   Judul Asli: Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek   Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil Penerbit: UMMUL QURA   (Diketik oleh: Zulfa)

BAB I

NASAB NABI MUḤAMMAD S.A.W.
KELAHIRAN DAN PERTUMBUHAN BELIAU

PASAL 1

KELAHIRAN DAN MASA KECIL BELIAU S.A.W.

Silsilah Nasab Beliau s.a.w.

Beliau adalah baginda termulia yang dengan kehadirannya, kedudukan umat manusia pun menjadi mulia. Nama Beliau adalah (Muḥammad bin ‘Abdullāh) dari istri (‘Abdullāh) yang bernama Āminah binti Wahb az-Zuhriyyah (11) al-Qurasyiyyah.

(Ibnu ‘Abd-il-Muththalib) dari istri yang bernama Fāthimah binti ‘Amru al-Makhzūmiyyah (22) ‘al-Qurasyiyyah. ‘Abd-ul-Muththalib merupakan tokoh yang dihormati oleh suku Quraisy. Mereka meminta pendapatnya dalam berbagai permasalahan yang mereka hadapi dan juga mendahulukannya dalam berbagai persoalan.

(Ibnu Hāsyim) dari istri yang bernama Salmā binti ‘Amru an-Najjāriyyah al-Khazrajiyyah.(33)

(Ibnu ‘Abdi Manāf) dari istri yang bernama ‘Ātikah binti Murrah as-Salmiyyah (44).

(Ibnu Qushay) dari istri yang bernama Ḥubay binti Ḥulail al-Khuzā‘iyyah (55). Pada masa jahiliah, Qushay menjabat sebagai Ḥijābat-ul-Bait, (66) pemberian air minum kepada jamā‘ah haji (Siqāyah), memberi makan (yang diberi nama rifādah), Nadwah; yaitu majelis syura yang segala perkara tidak akan diselesaikan kecuali di rumahnya, dan Liwā’ (panji perang); tidak ada yang berhak untuk memanggul panji perang kecuali beliau.

Ketika ajalnya telah dekat, ia mewariskannya ke tangan salah satu putranya, ‘Abd-ud-Dār. Namun, Bani ‘Abdi Manāf sepakat untuk tidak membiarkan keturunan pamannya, yakni ‘Abd-ud-Dār mengambil alih jabatan mulia ini. Dan hampir saja terjadi perang saudara seandainya masalah ini tidak dilerai oleh para tokoh dari kedua belah pihak. Maka mereka menyerahkan kepada Bani ‘Abdi Manāf jabatan Siqāyah dan Rifādah. Secara turun-temurun, mereka memegang jabatan itu hingga berakhir di tangan ‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib, kemudian keturunan beliau setelahnya.

Adapun urusan ḥijābah, jabatan ini tetap diberikan kepada Bani ‘Abd-ud-Dār. Hal ini juga dikukuhkan oleh syarī‘at Islam hingga terus berlanjut sampai hari ini. Mereka ialah keturunan Syaibah bin ‘Utsmān bin Abī Thalḥah bin ‘Abd-il-‘Uzzā bin ‘Utsmān bin ‘Abd-ud-Dār.

Adapun Al-Liwā’, jabatan ini terus berada di tangan mereka hingga Islam datang menghapusnya dan menyerahkannya kepada para khalifah kaum Muslimin, di mana jabatan ini diberikan kepada siapa saja yang dianggap layak untuk memikulnya. Sebagaimana pula An-Nadwah.

Dan Qushay adalah (Ibnu Kilāb) dari istri yang bernama Fāthimah binti Sa‘d, ia merupakan orang Yamān dari suku Uzdi Syanū’ah.

(bin Murrah) dari istri yang bernama Hindun binti Sarīr, dari keturunan Fihr bin Mālik.

(bin Ka‘ab) dari istri yang bernama Waḥsyiyah binti Syaibān, dari Bani Fihr juga.

(bin Luay) dari istri yang bernama Ummu Ka‘ab Māriyah binti Ka‘ab dari keturunan Qudhā‘ah.

(bin Ghālib) dari istri yang bernama Ummu Luay Salmā binti ‘Amru al-Khuzā‘ī.

(bin Fihr) dari istri yang bernama Ummu Ghālib Lailā binti Sa‘ad dari keturunan Hudzail. Dan Fihr ialah Quraisy menurut pendapat mayoritas ahli sejarah, dan Quraisy itu memiliki 12 Qabīlah, yaitu Bani ‘Abdu Manāf, Bani ‘Abd-ud-Dār bin Qushay, Bani Asad bin ‘Abd-il-‘Uzzā bin Qushay, Bani Zuhrah bin Kilāb, Bani Makhzūm bin Yaqzhah bin Murrah, Bani ‘Adī bin Ka‘ab, Bani Sahl bin ‘Amru bin Hushaish bin Ka‘ab, Bani ‘Āmir bin Luay, Bani Taim bin Ghālib dan Bani Ḥārits bin Fihr. Adapun mereka yang tinggal bermukim di Makkah maka ia disebut Quraisy al-Baththāḥ, sedangkan yang tinggal diluar Makkah maka ia disebut Quraisy azh-Zhawāhir.

(bin Mālik) dari istri yang bernama Jandalah binti Ḥārits dari keturunan Jurhum.

(bin Nadhar) dari istri yang bernama ‘Ātikah binti ‘Adwān dari keturunan Qais ‘Aylān.

(bin Kinānah) dari istri yang bernama Barrah binti Murr bin ‘Idd.

(bin Khuzaimah) dari istri ‘Awānah binti Sa‘d dari keturunan Qais ‘Aylān.

(bin Mudrikah) dari istri yang bernama Salmā binti Aslam dari keturunan Qudhā’ah.

(bin Ilyās) dari istri yang bernama Khindif yang sering dijadikan teladan dalam hal kemuliaan dan kekuatan.

(bin Mudhar) dari istri yang bernama ar-Rubāb binti Jandah bin Ma‘ad.

(bin Nizāz) dari istri yang bernama Saudah binti ‘Ak.

(bin Ma‘ad) dari istri yang bernama Mu‘ānah binti Jausyam, dari keturunan Jurhum.

(bin ‘Adnān) (77)

 

Inilah nasab Beliau s.a.w. yang disepakati keshaḥīḥannya oleh para ‘ulamā’ sejarah dan hadits. Adapun nasab yang menyebutkan lebih dari itu maka tidak shaḥīḥ. Jadi, ulama menyepakati bahwa nasab Rasūlullāh itu berakhir pada Ismā‘īl bin Ibrāhīm, Bapak bangsa ‘Arab al-Musta‘ribah (88).

Nasab Beliau s.a.w. sangatlah mulia, sebagaimana yang kita lihat. Nasab terdiri atas kakek moyang dan nenek moyang yang suci. Begilah Nabi s.a.w. berpindah dari sulbi-sulbi mereka ke rahim-rahim mereka. Hingga Allah memilih beliau sebagai al-Hādī (pembawa petunjuk) dan al-Mahdī (yang diberi petunjuk) dari nasab bangsa ‘Arab yang paling tengah. Beliau adalah berasal dari keturunan Quraisy yang menempati posisi utama dalam hal kemuliaan dan kehormatan di kalangan bangsa ‘Arab sehingga kita tidak mendapati dalam silsilah ayah dari kakek moyangnya kecuali semuanya adalah orang-orang mulia. Tidak ada dari mereka orang yang hina. Bahkan, mereka semuanya adalah para pemimpin dari komandan. Begitu pula (nasab) ibu dari kakek moyangnya, semuanya adalah berasal dari orang-orang terpandang di kabilahnya. Tidak diragukan lagi memang begitu bahwa kemuliaan nasab dan kesucian kelahiran merupakan syarat dari kenabian. Dan semua akad yang mengikat kakek dan nenek moyang Beliau adalah bersifat syar‘ī menurut adat dan tradisi bangsa ‘Arab. Selain itu, tidak ada satu pun dari nasab Beliau s.a.w. yang terkontaminasi dengan nasab zina jahiliah (99) Bahkan, Allah telah menyucikannya dari semua itu. Segala puji hanyalah milik Allah.

Pernikahan ‘Abdullāh dengan Āminah dan Masa Kehamilannya

Abdullāh bin ‘Abd-il-Muththalib merupakan anak kesayangan dari ‘Abd-ul-Muththalib. Ia menikahi Āminah binti Wahb bin ‘Abdi Manāf bin Zuhrah bin Kilāb. Sementara umur beliau ketika itu 18 tahun. Āminah merupakan perempuan Quraisy yang paling mulia baik secara nasab maupun kedudukan. Setelah ‘Abdullāh menikahinya, kemudian Āminah mengandung Rasūlullāh s.a.w.

Setelah Āminah mengandung selama dua bulan, meninggallah sang suami, ‘Abdullāh. Ia dimakamkan di Madinah bersama paman-pamannya dari Bani ‘Adī bin Najjār. Sebelumnya, ‘Abdullāh melakukan perjalanan dagang ke Syām, kemudian wafat di Madīnah dalam perjalanan pulangnya.

Setelah masa kehamilannya selesai, Āminah pun melahirkan putranya. Seluruh isi alam pun bersuka cita atas kelahiran bayi yang mulia ini, yang kelak akan menghembuskan ke seluruh penjurunya angina budi pekerti dan menyempurnakan akhlāq-akhlāq mulia. Maḥmūd Bāsyā al-Falakī r.h. (1010) menetapkan bahwa peristiwa ini terjadi pada pagi hari Senin, 9 Rabī‘-ul-Awwal, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. bertepatan juga dengan satu tahun setelah peristiwa penyerangan Pasukan Gajah. (1111)

Proses kelahiran beliau adalah di rumah Abū Thālib, di pemukiman Bani Hāsyim. Orang yang menjadi bidan dalam proses penyalinannya ialah Ummu ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, ketika Beliau lahir, ibunya mengirimnya kepada kakeknya untuk memberinya kabar gembira, lalu kakeknya pun menciumnya dan memberinya nama Muḥammad. Nama ini belum banyak dipakai oleh bangsa ‘Arab sebelumnya, tapi Allah berkehendak untuk mewujudkan ketetapan-Nya yang juga tercantum di dalam kitab-kitab yang dibawa oleh para nabi sebelumnya seperti Taurāt dan Injīil. Allah memberikan ilham kepada sang kakek untuk memberikan nama itu sebagai bentuk pelaksanaan ketetapan-Nya (1212). Ia s.a.w. diasuh oleh Ummu Aimān Barakah al-Ḥabasyiyah, budak ayahnya, ‘Abdullāh. Sementara yang pertama kali menyusuinya adalah Tsuwaibah, budak pamannya, Abū Lahab.

Penyusuan

Sudah menjadi adat di kalangan bangsa ‘Arab bahwa mereka biasa mencarikan ibu susu dari tempat-tempat pedesaan untuk bayi-bayi mereka agar kelak anak-anak mereka memiliki sifat-sifat mulia. Mereka berkata: “Orang yang dididik di kota biasanya otaknya tumpul dan bertekad lemah.” Maka datanglah para wanita dari Bani Sa‘ad bin Bakar meminta anak-anak untuk mereka susui. Adapun wanita yang menyusui Beliau s.a.w. adalah Ḥalīmah binti Abī Dzuaib as-Sa‘diyyah, suaminya bernama Abū Kabsyah. Abū Kabsyah inilah orang yang dijadikan kaum Quraisy untuk disambungkan nasab Nabi kepadanya ketika mereka ingin menghina Nabi. Kaum kafir Quraisy biasa berkata: “Inilah anak Abū Kabsyah yang mengaku diajak bicara dari langit.”

Berkah meliputi keluarga yang menyusui Nabi tersebut selama keberadaan Beliau s.a.w., yaitu empat tahun (1313) lebih.

Peristiwa Pembelahan Dada (1414) (1515)

Ketika Beliau s.a.w. masih hidup bersama keluarga Bani Sa‘ad itu, terjadilah peristiwa pembelahan dada dan pengeluaran sifat syaithāniyyah dari diri beliau. Hal ini membuat Ḥalīmah khawatir dan akhirnya ia mengembalikannya ke pangkuan ibunya. Ḥalīmah bercerita: “Ketika ia bersama saudara-saudaranya sedang berada di sekitar Bahm (1616) (anak-anak domba) milik kami di belakang rumah, tiba-tiba saudaranya datang sambil berlari, lalu berkata kepadaku dan ayahnya: “Itu, saudaraku dari Quraisy, ia diambil oleh dua orang yang mengenakan baju serba putih, lalu dua orang itu menidurkannya terlentang dan membelah perutnya lalu memasukkan kedua tanggannya ke dalam perut saudaraku itu”. Lalu aku dan ayahnya pun bergegas menuju ke tempat itu dan kami dapati wajahnya berwarna seperti warna tanah, kemudiaan aku dan ayahnya memeluknya dan kami tanyakan keadaannya: “Apa yang terjadi padamu, wahai anakku sayang?” Ia menjawab: “Ada dua orang mendatangiku dan keduanya mengenakan pakaian putih, lalu salah satu dari keduanya berkata kepada yang lainnya: “Benarkah itu anaknya?” Lalu yang satu lagi menjawab: “Ya, benar.” Kemudian keduanya langsung mengambilku lalu membaringkanku dan membelah perutku. Lalu keduanya mengambil sesuatu dari dalam perutku, lalu membuangnya, tapi aku tidak tahu apa itu”.”

Wafatnya Āminah, Pengasuh ‘Abd-ul-Muththalib dan Abū Thālib

Setelah Beliau s.a.w. diambil oleh ibundanya, ibundanya mengajak Muḥammad kecil ke Madīnah untuk menziarahi paman-paman ayahnya, Bani ‘Adī bin Najjār. Dalam perjalanan pulang, ajal pun menjemput ibunda Beliau s.a.w. Ia wafat di Abwā’. (1717) Setelah itu, Beliau s.a.w. diasuh oleh Ummu Aimān dan yang menanggung hidupnya adalah kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib. Ia memberikan kasih sayang kepada Muḥammad kecil yang tidak ia berikan kepada anak-anaknya sendiri. Sebab, pada diri Muḥammad kecil tampak hal-hal yang menunjukkan bahwa kelak anak ini akan memikul urusan yang besar. Ia pun sangat memuliakannya.

Namun tidak lama kemudian ‘Abd-ul-Muththalib meninggal dunia, ketika Nabi s.a.w. berusia delapan tahun. Maka pamannya, Abū Thālib-lah yang menanggung hidup Beliau. ia juga sangat sayang kepada Nabi s.a.w. Pada saat itu Abū Thālib adalah orang yang sedikit hartanya, tetapi Allah menjadikan harta yang sedikit itu penuh berkah. Ketika Nabi s.a.w. berada dalam tanggungan pamannya itu, beliau merupakan teladan dalam hal qanā‘ah dan jauh dari sifat hura-hura yang biasa dilakukan oleh anak-anak sebayanya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Aimān yang mengasuhnya. Biasanya ketika tiba waktu makan, anak-anak yang lain saling berebut makanan yang terhidang, tapi Beliau s.a.w. tetap tenang dan merasa cukup dengan apa yang Allah mudahkan untuknya. (1818)

Catatan:

  1. 1). Dari Bani Zuhrah bin Kilāb, dari suku Quraisy.
  2. 2). Dari bani Makhzūm, dari Yaqzhah bin Murrah, dari suku Quraisy.
  3. 3). Dari Bani Najjār dari suku Khazraj, Khazraj ialah salah satu dari dua kabilah yang tinggal di Madīnah. Mereka ialah Aus dan Khazraj, keduanya bersaudara, lalu Rasūlullāh s.a.w. pun menamai mereka dengan kaum Anshār.
  4. 4). Dari Bani Salīm bin Manshūr, salah satu dari kabilah Qais ‘Ailān bin Mudhar.
  5. 5). Dari Bani Khuzā‘ah bin ‘Amru salah satu dari kabilah Qam‘ah bin Ilyās bin Mudhar. Merekalah suku yang turun-temurun memegang urusan Ka‘bah sebelum Quraisy.
  6. 6). Majelis yang mengurus urusan keamanan rumah suci Ka‘bah dan memelihara kuncinya-edt.
  7. 7). Bisa dilihat dalam riwayat Imām al-Bukhārī (3851), dan Imām al-Baghawī berkata dalam Syarḥu Sunnah (13/193): riwayat yang menyebutkan nasab sampai di atas ‘Adnān adalah tidak shaḥīḥ. Lihat juga dalam kitab Zād-ul-Ma‘ād (1/71).
  8. 8). Bangsa ‘Arab terbagi menjadi tiga garis keturunan, yaitu al-Ba‘īdah, al-Qahthaniyyah dan al-Musta‘ribah. Al-Musta‘ribah adalah orang ‘Arab yang garis keturunannya dari Ismā‘īl bin Ibrāhīm a.s.
  9. 9). HR al-Baihaqī (7/190), juga disebutkan oleh al-Baghawī dalam Syarḥ-us-Sunnah-nya (3/171), Thabrānī (10/399), lihat juga dalam Majma‘-uz-Zawā’id (8/214)
  10. 10). Maḥmūd Bāsyā al-Falakī ialah insinyur matematika dari kalangan ‘ulamā’ Mesir. Ia banyak meninggalkan karya-karya yang menunjukkan keunggulannya dalam bidang matematika, ‘ilmu falak dan geografi. Beliau wafat pada tahun 1885 M./1302 H.
  11. 11). Ia merupakan peristiwa besar yang terjadi di Makkah, hingga hal ini pun dijadikan patokan dalam penanggalan oleh bangsa ‘Arab, sebagaimana adat mereka dan juga bangsa-bangsa lainnya dalam hal menjadikan peristiwa penting sebagai patokan penanggalan. Al-Qur’ān pun telah mengisahkan peristiwa ini dalam surat al-Fīl, yaitu ketika seorang raja dari Ḥabasyah yang menguasai Yamān setelah Hamir – namanya adalah Abrahah al-Ḥabsyī – ia menyerang Makkah dan bermaksud untuk menghancurkan Ka’bah. Ia membawa gajah yang besar yang orang ‘Arab belum pernah melihatnya sebelumnya. Maka untuk memuliakan nabi yang dijanjikan, dan kehendak Allah untuk melindungi rumah-Nya yang mulia, Allah pun menjadikan semua upaya musuh-Nya sia-sia. Dia pun mengirimkan sekumpulan burung Abābīl, yang menghujani mereka dengan batu-batu sijjīl. Hingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat. Allah pun mencukupkan kaum Quraisy dari bersusah payah dalam rangka mengusir mereka.
  12. 12). Nabi juga pernah ditanya mengenai awal mula kelahirannya, lalu beliau s.a.w. pun menjawab; “Saya adalah doanya Nabi Ibrāhīm a.s., dan kabar gembira yang disampaikan ‘Īsā a.s., ibuku melihat cahaya keluar dari dirinya dan menerangi istana-istana di Syām.” (HR. Aḥmad: 5/262, al-Ḥākim: 2/600, Majma‘-uz-Zawā’id: 8/222, ia (al-Haitsami) berkata, “Sanadnya ḥasan, disertai syawāhid yang menguatkannya,” al-Ḥākim berkata: “Sanadnya shaḥīḥ, tapi al-Bukhārī dan Muslim tidak mengeluarkannya”, dan ini disepakati oleh Imām adz-Dzahabī.
  13. 13). Sīrat-ul-Ḥalabiyah.
  14. 14). Lebih baik bila dinamakan: peristiwa pembedahan perut, berdasarkan perkataan ahli sejarah: “Lalu dua orang itu membedah perutnya”, juga sabda Nabi s.a.w.: “Lalu dua orang itu membelah perutku.”
  15. 15). Diriwayatkan oleh Abū Ya‘lā sebagaimana dalam kitab Majma’-uz-Zawā’id (8/221), dan Imām adz-Dzahabī juga berkata dalam kitabnya as-Sīrat-un-Nabawiyyah hlm. 8: “Ini adalah hadits yang sanadnya baik dan disertai dengan syawāhid yang menguatkannya, karenanya hadits ini berkedudukan Ḥasan karena adanya syawāhid tersebut.
  16. 16). Bahm, jamaknya ialah bahmah: yaitu anak domba, baik jantan ataupun betina.
  17. 17). Sebuah desa yang terletak antara Makkah dan Madīnah, tapi lebih dekat ke Madīnah.
  18. 18). Shaḥīḥ-us-Sīrat-in-Nabawiyyah, hlm. 56.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.