Mursyid sebagai Pemandu Jalan – Tugas Mursyid – Unsur-unsur Tarekat – Sabil-us-Salikin (2/2)

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: Unsur-unsur Thariqah - Sabil-us-Salikin

Mi‘rāj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia s.w.t. dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Dalam sejarah Nabi s.a.w. dikenal dua jenis mi‘rāj: Khusus dan umum. Mi‘rāj khusus dialami Nabi s.a.w. pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu. Sedangkan mi‘rāj umum dialami Nabi s.a.w. pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allāh dengan diangkat sebagai Rasūl.

Dalam wacana sufi mi‘rāj umum lebih sering disebut dengan istilah murāqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat surga dan neraka dengan mata kepala (murāqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.

Dalam kitab Shaḥīḥ-nya Imām Muslim memuat bab yang menyinggung soal murāqabah; di dalamnya diriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ḥanzhalah al-Usayyidī, salah seorang sekretaris Rasūlullāh s.a.w., ia berkata bahwa ketika Nabi bercerita tentang Surga dan Neraka, ia dan Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. merasa melihat Surga dan Neraka itu dengan mata kepala mereka, tetapi masing-masing dari mereka banyak yang lupa apa yang mereka lihat, lalu mereka memutuskan untuk menghadap Nabi s.a.w. dan menanyakan hal itu. Dialog antara Ḥanzhalah dan Nabi dapat disimak dari kutipan berikut:

(حَدَّثَنَا يَحْيَى بِنْ يَحْيَى اَلتَّيْمِيِّ و قطن بن نسير و اللفظ ليحيى أخبرنا جعفر بن سليمان عن سعيد بن إياس الجريري عن أبي عثمان النهدي عن حنظلة الأسيدي قال و كان من كتاب رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: لَقِيَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ، فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، مَا تَقُوْلُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَكُوْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم، يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَ الْأَوْلَادَ وَ الضَّيْعَاتِ، فَنَسِيْنَا كَثِيْرًا، قَالَ أَبُوْ بَكْر: فَوَاللهِ، إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَ أَبُوْ بَكْر، حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم)، قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: وَ مَا ذَاكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، نَكُوْنُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَ الْأَوْلَادَ وَ الضَّيْعَاتِ، نَسِيْنَا كَثِيْرًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ عِنْدِيْ، وَ فِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ، وَ فِيْ طُرُقِكُمْ، وَ لكِنْ يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً، وَ سَاعَةً، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. (صحيح مسلم- عبد الباقي، ج 4، ص: 1100)

Aku (Ḥanzhalah) berkata: Ḥanzhalah telah munafik, wahai Rasūlullāh. Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Ada apa?” Aku (Ḥanzhalah) berkata: “Wahai Rasūlullāh, kami pernah berada di hadapanmu mendengarkan engkau bercerita kepada kami tentang surga dan neraka sehingga kami seolah-olah melihat surga dan neraka itu dengan mata kepala. Setelah kami pulang dari hadapanmu, serta bertemu dan bermain-main dengan anak-istri kami dan pergi ke perkarangan kami, kami banyak lupa tentang hal itu. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Demi Dzāt yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian berkekalan dengan apa yang kalian lihat di hadapanku dan berkekalan dalam dzikir, niscaya para malaikat menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan (tharīqah-tharīqah) kalian. Sayangnya, wahai Ḥanzhalah, (murāqabah itu) hanya sesaat dan sesaat (ini diucapkan tiga kali oleh beliau).” (Shaḥīḥ Muslim – ‘Abd-ul-Bāqī, juz 4, halaman:1100, Musnad Aḥmad, juz 4, halaman:346, Sunan-ut-Tirmidzī, juz 4, halaman:666).

Dalam kasus tersebut para sahabat telah mengalami murāqabah dan sekaligus mi‘rāj, karena mi‘rāj pada dasarnya dapat dipahami sebagai naik dan melintasi alam fisik, keluar dari dimensi ruang dan waktu, serta memasuki dan menyaksikan alam metafisik ketuhanan. Pengalaman mi‘rāj para sahabat tersebut terjadi berkat bimbingan Rasūl s.a.w. sebagai pemandu, sebagaimana Rasūl sendiri mengalami mi‘rāj berkat bimbingan Jibrīl a.s. dengan idzin Allāh s.w.t.. Dengan kata lain, mereka dibawa mi‘rāj oleh Nabi s.a.w. sebagaimana Nabi dibawa mi‘rāj oleh Jibrīl a.s. dengan idzin Allāh. (Lalu, bagaimana dengan orang-orang mu’min lain yang tidak bertemu dengan Nabi? Siapa yang akan membawa mereka mi‘rāj?).

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman itu adalah bahwa yang bersangkutan pasti menyadari secara ḥaqq-ul-yaqīn bahwa ungkapan al-Qur’ān innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn (kami milik Allāh dan kepada-Nya kami pulang)

فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْا لِيْ وَ لَا تَكْفُرُوْنِ. (البقرة: ١٥٢)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni‘mat)-Ku.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152).

Ini adalah benar (ḥaqq), dan bahwa mereka ketika hidup di dunia pada hakikatnya sedang berada dalam perjalanan pulang menuju Tuhan, sebuah perjalanan yang sangat sulit dan berliku-liku.

Dengan adanya seorang pemandu, perjalanan itu akan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar sehingga tepat sekali ungkapan Rumi yang dikutip sebelumnya, Barang siapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *