Muhammad Seorang Nabi Bukan Penguasa – Kisah Sang Rasul

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Bab 10:

MUḤAMMAD SEORANG NABI BUKAN PENGUASA

 

Dewasa kini banyak kita melihat kelompok yang menulis tentang Islam, Nabi s.a.w., para sahabat, dan ahl-ul-bait. Di antara mereka banyak penulis handal yang pintar mencari ketenaran melalui buku-bukunya akan tetapi apa yang mereka tulis jauh dari pemahaman Islam yang sebenarnya, serta sangat bertentangan dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah dan Rasūl-Nya, secara ringkas ada dua jenis tulisan mereka:

1). Tulisan yang secara terang-terangan mengekspresikan kebencian mereka terhadap syariat Islam, yang ingin mengoyahkan kesucian syariat Islam di hati seorang muslim.

2). Tulisan yang menyejukkan para pembaca dan pemula yang masih terbatas keilmuan mereka untuk mengkaji sumber-sumber ilmu Islam dengan benar dan bersih, maka para penulis ini berusaha agar mengumpulkan tulisan yang menggambarkan tentang keluhuran Islam, akan tetapi menyelipkan di antara tulisan itu keraguan-keraguan terhadap keyakinan pembaca dan syariat agama mereka, seraya mereka menunjukkan amanat dan keikhlasan dalam pembahasan tersebut.

Sedikit kami simpulkan perkataan Syaikh-ul-Islām Syaikh Mushthafā Shabrī rhm. berikut:

“Bahwa hal yang paling jelas dari para penulis itu adalah mereka mengingkari mu‘jizat yang ada, dan menganggapnya sebagai hal mustahil, serta mereka berusaha menggantikan maqam kenabian Nabi Muḥammad s.a.w. dengan kecerdasan sebagai pusat perhatian, dan mereka menulis bahwa kecerdasan mengantikan kenabian, maka sesuai dengan penelitian mereka bahwa kecerdasan melebihi kenabian karena mereka tidak meyakini kenabian seperti mana keyakinan mereka terhadap kecerdasan.

Jikalau tidak, maka hal apa yang telah mendorong mereka untuk melupakan kenabiannya dan mengangkat kecerdasannnya, kalau bukan karena kecerdasan lebih utama, lebih tinggi daripada kenabian dan lebih selamat dari keraguan menurut mereka.

Barang siapa yang mensifati Nabi s.a.w. dengan kekuasaan, kehebatan atau kecerdasan maka orang tersebut termasuk orang yang salah nan lupa dan musuh yang merayu ingin menyimpangkan pemikiran manusia dari kenabian dan risalahnya serta ingin memutuskan hubungannya dengan Allah s.w.t.

Seandainya mereka menyamakan antara kenabian dan kecerdasan, seraya berpendapat bahwa kecerdasan adalah mu‘jizat alami bagi kenabian, ini adalah dalil yang jelas bahwa mereka berusaha untuk melupakan kenabian dan menggantikannya dengan kecerdasan.”

Dan Syaikh Mushthafā Shabrī juga berkata: “Semisal kecerdasan yang dibuat untuk mengalihkan pemikiran manusia dari kenabian adalah kepemimpinan, kepahlawanan dan hal lainnya dari sebutan serta sifat-sifat yang dimaksudkan untuk menghilangkan perkara-perkara ghaib. Maka lenyaplah kenabian dan tersisa kecerdasaan, terwujudlah dari sini perkataan seorang orientalis Barat (Musytasyriq) pengarang buku “The Hero As a Prophet” (Muḥammad seorang pahlawan dalam wujud Nabi).”

Jelaslah apa yang disampaikan oleh ‘ulamā’ Syaikh-ul-Islām Syaikh Mushthafā Shabrī rhm. bahwa sesungguhnya barang siapa yang mensifati Nabi s.a.w. dengan kekuasaan, kehebatan atau kecerdasan maka orang tersebut termasuk orang yang salah nan lupa dan musuh yang merayu ingin menyimpangkan pemikiran manusia dari kenabian dan risalahnya serta ingin memutuskan hubungannya dengan Allah s.w.t.

Ketauhilah berapa banyak pemimpin, berapa banyak orang pintar, dan berapa banyak orang hebat akan tetapi dari mana kepintaran atau kepemimpanan itu membuat seseorang itu menjadi nabi atau rasūl?” (11)

Diceritakan bahwa seorang perempuan Yahudi menghadiahkan kepada Nabi s.a.w. daging kambing yang dibakar dan makanan yang telah diberi racun yang sangat mematikan, dan ia pun memperbanyak racun tersebut di bagian paha kambing (dzirā‘) yang diberikan.

Karena sebelumnya ia mendapat kabar bahwa Nabi s.a.w. sangat menyukai bagian paha kambing, ketika Nabi s.a.w. dan para sahabat memakan makanan itu Nabi s.a.w. mengangkat bagian tersebut dan mengambil suapan yang ada di mulutnya seraya tidak menelannya, dan Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya makanan ini memberitahuku bahwa ia beracun.

Dan tidak ada yang menelan makanan tersebut kecuali Bisyr ibn Barrā’, lalu Nabi s.a.w. memanggil wanita Yahudi itu dan ia mengaku perbuatannya. Maka Nabi s.a.w. bertanya kepadanya:

“Apa yang membuatmu melakukan perbuatan ini?”

Lalu wanita itu menjawab:

“Sesungguhnya engkau sudah mendapatkan dari kaumku apa yang bukan menjadi rahasia lagi, maka aku katakan kepada mereka (kaum Yahudi): “Seandainya ia (Nabi s.a.w.) seorang raja, maka aku telah berhasil menjauhkan manusia darinya, akan tetapi jika ia seorang Nabi, maka racun itu tidak akan berimbas kepadanya.”

Setelah mendengarkan ucapan wanita itu, Nabi s.a.w. pun memerintahkan kepada para sahabat:

“Makanlah dengan nama Allah (Bismillāh).”

Dan Nabi s.a.w. memaafkan wanita tersebut, dan para sahabat memakan makanan yang telah diracuni itu tanpa berimbas terhadap mereka sedikitpun kecuali Bisyr ibn Barrā’, ia meninggal karena makanan beracun yang telah ia telan. (22).

Catatan:

  1. 1). Ringkasan dari “Qabasat min Nūr-in-Nubuwwah”, hlm. 89-91.
  2. 2). Ringkasan dari “Ḥadā’iq-ul-Anwāri wa Mathāli‘-ul-Asrār”, hlm. 339-340.

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *