(lanjutan)
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah, dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan primer dan sekunder.
Ketiga model kemaslahatan ini merupakan ruh yang terdapat dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Tetapi yang perlu mendapat penekanan dari ketiga model kemaslahatan, yaitu kemaslahatan primer. Karena kemaslahatan primer menjadi kebutuhan mendasar setiap manusia untuk meneguhkan dimensi kemanusiaannya. Jika nilai-nilai tersebut dilanggar maka bisa dipastikan hak-haknya akan hilang dan identitas kemanusiaannya akan sirna, baik disebabkan kekuasaan politik maupun kekuasaan agamawan. Karena itu nilai-nilai tersebut sejatinya harus menjadi pijakan keberagamaan sehingga pandangan keagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu kemanusiaan seperti kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak reproduksi, hak hidup, hak atas kepemilikan harta benda.
Bukan hanya itu, Imam al-Syathiby menyebutkan bahwa kemaslahatan harus memperhatikan tradisi dan kesepakatan kebanyakan masyarakat (adat-istiadat). Bahkan kemaslahatan yang berkaitan dengan syariat Islam dan masalah-masalah ketuhanan pun harus memperhatikan tradisi dan adat. Karena pada hakikatnya antara kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi tidak bertentangan. Keduanya ibarat dua sisi dari mata uang logam dan saling menyempurnakan.
5. Semua makhluk adalah mulia (muhtaram). Siapapun dilarang mengeksploitasi semua jenis makhluk yang menyebabkan kehidupannya terganggu.
Dalam fiqh terdapat ketentuan dasar bahwa semua makhluk mempunyai status hukum muhtaram, bukan dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya (kepriadaannya). Jika makhluk hidup, maka siapapun terlarang membunuhnya. Jika makhluk tak bernyawa, maka siapapun terlarang merusak binasakannya. Dengan kata lain, semua makhluk harus dilindungi hak kepri-adaannya (hak hidupnya).
Demi menjaga kemuliaan suatu makhluk, dalam kitab l’anah al-Thalibin dinyatakan bahwa Jika ada seekor binatang yang berada dalam keadaan terancam pembunuhan oleh seseorang yang berbuat sewenang-wenang (tidak dibenarkan secara hukum) atau binatang tersebut dalam keadaan nyaris tenggelam, maka menjadi keharusan bagi siapapun yang melihatnya untuk tertindak membebaskan (menyelamatkan) binatang tersebut. Dalam rangka penyelamatan binatang tersebut, bila diperlukan harus menunda pelaksanaan ibadat (shalatnya) meski sudah tiba waktunya, atau membatalkan shalatnya apabila ia sedang melaksanakannya.1
Dalam hubungan dengan status muhtaram yang melekat pada hewan ditemukan ketentuan fiqh bahwa bagi siapa pun yang mempunyai binatang piaraan berkewajiban menyediakan makanan dan minuman atau jika tidak, ia harus membiarkan binatang tersebut merumput dan mendatangi sumber air agar kebutuhan makan dan minumnya terpenuhi, tetapi jika ternyata belum mencukupi juga-karena misalnya kekeringan-maka pemilik binatang tersebut berkewajiban menambahkan penyediaan makanan dan minuman sampai kebutuhan binatang itu terpenuhi.2
Ketentuan ini didasarkan atas keterangan sunnah yang memberitakan bahwa seseorang perempuan terhukum dalam neraka karena seekor kucing yang diikatnya tidak dibiarkan makan dan tidak pula dilepaskan (dibebaskan) agar dapat mencari makanan sendiri. 3
Ketentuan lebih lanjut dari kasus tersebut adalah jika pemilik binatang itu mengabaikan kewajibannya sebagaimana tersebut di atas maka ia harus dipaksa (secara hukum) untuk menjual binatang tersebut kepada orang lain atau dicukupi kebutuhan makan dan minumnya atau binatang itu disembelih untuk dimakan. Jika binatang itu bukan hewan potong, maka pemilik binatang harus memilih dua alternatif, yakni menjualnya atau mencukupi kebutuhan makan minumnya.
Ketentuan lain sebagai bentuk perlindungan terhadap kemuliaan binatang dinyatakan dalam kitab Mughni al-Muhtaj bahwa pemilik hewan perahan dilarang memerah air susu hewan tersebut apabila mengancam keselamatan atau membuat penderitaan bagi anak hewan tersebut. Yang dibenarkan adalah mengambil sisa air susu dari kebutuhan anak hewan tersebut. Islam menganjurkan apabila memerah hewan perahan hendaknya air susu hewan tidak dikuras habis tetapi harus disisakan untuk kebutuhan anak hewan yang bersangkutan. Juga diingatkan kepada pemerah susu hewan, sebelum memerah hendaknya memotong kuku jari-jari tangannya terlebih dahulu agar tidak menyakiti atau melukai susu hewan tersebut.4
Penyikapan hal yang sama juga harus dilakukan pada semua makhluk, termasuk hewan lebah penghasil madu. Masih dijelaskan oleh Syaikh Muhammad asy-Syarbini al-Khatib, bahwa bagi peternakan lebah penghasil madu ketika memetik madu dari sarang lebah dilarang menguras seluruh madu yang dihasilkan oleh lebah tersebut, tetapi harus disisakan sebagian untuk kebutuhan lebah-lebah tersebut. Imam Rofi’i memberikan penjelasan tambahan, jika kehabisan makanan maka kapan saja untuk memenuhi kebutuhan lebah-lebah itu si peternak berkewajiban memanggang ayam dan menggantungkannya di sisi sarangnya agar menjadi makanan lebah itu.
Demikian pula halnya dengan ulat penghasil sutera yang hidupnya dari daun pohon murbei. Peternak ulat sutera berkewajiban menyediakan makanan secukupnya bagi ulat-ulat peliharaannya tersebut dengan menyediakan daun-daun murbei yang cukup.5
Ini adalah mutiara ajaran fiqh tentang penghargaan terhadap kehidupan makhluk dan perlindungannya. Tidak seorangpun berhak membunuh sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang sah), menyakiti, dan menyiksa binatang/hewan. Manusia boleh memperoleh manfaat dan menikmati binatang/hewan tersebut tetapi harus dengan cara yang baik dan memuliakan kepriadaan binatang/hewan tersebut. Siapa pun dilarang mengeksploitasi kemanfaatan binatang/hewan jika berakibat pada kepunahan, kematian, dan terganggunya sistem kehidupannya.
Binatang-binatang buas atau liar sekalipun tidak dibenarkan dibunuh selama tidak menyerang dan membahayakan jiwa seseorang. Dalam keadaan normal-dalam arti tidak terganggu keberadaannya, atau dalam keadaan terpenuhi sistem kehidupannya-binatang buas atau liar pada dasarnya tidak akan menyerang atau mengganggu siapa pun. Binatang ini akan menyerang sebagai bentuk pertahanan diri dan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.6
Binatang buas, sebagaimana juga makhluk-makhluk lainnya, pada dasarnya memiliki fungsi dan peran yang sama dalam menjaga keseimbangan dan kelanjutan hidup keseluruhan alam ini. Ia menjadi bagian dari mata rantai ekosistem kehidupan semesta.
Lebih dari itu, Islam mengajarkan tidak boleh memperlakukan secara semena-mena sekalipun terhadap makhluk yang tak bernyawa, yakni benda-benda alam bukan manusia atau hewan. Sebagaimana makhluk lainnya, benda-benda alam yang tak bernyawa ini juga memiliki status hukum muhtaram. Menurut ketentuan fiqh, sang pemilik benda-benda berkewajiban membiayai perawatan atas benda-benda miliknya itu. Kewajiban ini disebut nafaqat al-milk, yang biasa diuraikan dalam bab an-nafaqat pada setiap kitab fiqh. Demikian gambaran sepintas tentang status hukum muhtaram yang melekat pada setiap jenis makhluk, dalam pandangan ilmu fiqh.
(bersambung)